PENGRAJIN TENUN SIAK

Diburu Pelanggan, Ditinggal Karyawan

Feature | Minggu, 08 Juli 2012 - 08:30 WIB

Diburu Pelanggan, Ditinggal Karyawan
Syarifuddin sedang menenun di rumah tenun Encik Hasnah, Kamis (5/7/2012). (Foto: fedli azis/riau pos)

Kesabaran dan ketekunan menjadi kunci utama untuk menghasilkan tenunan berkelas dengan kualitas tertinggi. Salah satu tenunan yang diburu banyak pecinta kain tenun Tanah Air dan mancanegara adalah tenun Siak. Bahkan pecinta tenun satu ini hanya berminat pada hasil terbaik meski harganya terbilang mahal.

Laporan FEDLI AZIS, Pekanbaru

Baca Juga :Sampaikan Pesan Pemilu Damai ke Nelayan yang Sedang Melaut

SYARIFUDDIN tampak asyik menikmati pekerjaannya. Anak muda berusia 21 tahun yang akrab disapa Ujang itu, dengan cekatan memasukkan benang emas yang akan menjadi motif untuk menjadikan sebuah kain tenun Siak. Kaki dan tangannya tak henti mengoperasikan alat tenun bukan mesin (ATBM) dalam ruang kerja yang sempit, Kamis (5/7) lalu.

Meski siang itu cukup panas, namun Ujang tidak merasa terganggu karena ruang kerja berupa rumah panggung kayu berada di antara pepohonan nan rindang. Angin tidak mati. Pelan namun pasti masuk melewati pintu dan jendela-jendela sehingga suasana di sana terasa sejuk dan nyaman. Hanya Ujang yang bekerja di salah satu alat tenun dari empat alat yang tersusun di ruang tersebut. Pemuda asal Merbau, Kabupaten Kepulauan Meranti itu sudah bekerja di sana sejak 2010 lalu dan telah menghasilkan banyak kain tenun dengan berbagai motif yang tersedia. Baginya, pekerjaan menenun cukup mengasyikkan, terutama mengerjakan tenunan bermotif padat atau rumit.

‘’Saya selalu ingin mendapatkan hasil yang baik pada tenunan dengan tingkat kerumitan yang tinggi. Sejak awal bekerja di sini saya sudah diajarkan begitu sehingga motif-motif lain menjadi lebih mudah dikerjakan dan cepat pula selesai,’’ ungkap Ujang penuh percaya diri.  

Diceritakannya, tidak banyak orang yang bertahan bekerja sebagai penenun. Di tempatnya bekerja saat ini, di rumah tenun Encik Hasnah, di tepian Sungai Siak hanya tinggal empat orang. Namun hanya dirinya dan Bambang Irawan, si lajang 20 tahun yang tidak terlihat batang hidungnya, siang itu. Mereka bekerja dan tinggal di rumah itu sedang dua pekerja lainnya, menenun di rumah masing-masing yang tidak jauh dari kediaman Encik Hasnah. Kedua ibu rumah tangga (IRT) itu disiapkan mesin dan bahan-bahan tenunan sembari menjalani aktivitas sebagai seorang istri sekaligus ibu bagi anak-anaknya.

Dalam sebulan mereka bisa menghasilkan masing-masing, minimal tiga helai kain tenun dan bahkan lebih. Kondisi ini cukup memprihatinkan sebab pencapaian tidak sebanding dengan permintaan pasar yang semakin hari semakin meningkat.

‘’Beberapa waktu lalu saya melatih tujuh orang calon penenun yang akan bekerja di sini tapi mereka tidak berminat dan kembali ke kampungnya dengan alasan macam-macam,’’ ulas Ujang. ‘’Kalau tidak sabar dan tekun maka pekerjaan ini sangat tidak menyenangkan. Makanya banyak yang gagal dan berhenti sebelum waktunya,’’ tambahnya sembari melepas tawa.

Asal Muasal Tenun Siak

Encik Hasnah, salah seorang pengrajin dan pengembang tenun Siak di Kota Bertuah mengakui, tenun Siak masih menawarkan pesona yang memikat hati. Hasil kerajinan orang Melayu yang terus bertahan hingga hari  ini memberi kesan eksklusif kepada para pemakainya. Bahkan sampai sekarang, perempuan yang telah mendapat banyak penghargaan, baik dalam maupun mancanegara itu sudah menghasilkan lebih dari 70-an motif tenun Siak.

Dikisahkan, orang pertama yang memperkenalkan tenun Siak adalah seorang perajin yang didatangkan dari Kerajaan Terengganu, Malaysia pada masa Kerajaan Siak diperintah oleh Sultan Sayid Ali. Saat itu, seorang perempuan bernama Wan Sitti Binti Wan Karim yang terampil dalam menenun dibawa ke Siak Sri Indrapura dan mengajarkannya dalam lingkungan istana.

Mulanya tenun yang diajarkannya adalah tenun tumpu. Kemudian bertukar dengan menggunakan alat yang dinamakan dengan ‘kik’. Kain yang dihasilkan disebut dengan kain tenun Siak. Kain tenun Siak ini dibuat terbatas bagi kalangan bangsawan saja, terutama sultan dan para keluarga serta para pembesar kerjaan di kalangan Istana Siak. ‘Kik’ sendiri merupakan alat tenun yang sederhana, terbuat dari bahan kayu berukuran sekitar 1 x 2 meter. Sesuai dengan ukuran alatnya, maka kain yang dihasilkan tidaklah lebar, sehingga tidak cukup untuk satu kain sarung. Makanya, harus disambung dua yang disebut dengan kain berkampuh.

Untuk membuat kain tenun diperlukan bahan baku benang, baik benang sutera ataupun benang katun berwarna yang dipadukan dengan benang emas sebagai ornamen (motif) atau hiasan. Karena benang sutera susah didapat, lama kelamaan orang hanya menggunakan benang katun. Pada masa kerajaan, kain tenun Siak merupakan bahan pakaian bagi orang-orang di kalangan kerajaan dalam lingkungan terbatas, yaitu hanya untuk keluarga dan kerabat sultan serta para pembesar kerajaan. Lama-kelamaan masyarakat umum banyak yang pintar bertenun dan berkembanglah tenun Siak sampai keluar negeri Siak. Bertenun dengan menggunakan ‘kik’ ini memakan waktu yang cukup lama. Untuk menghasilkan sehelai kain diperlukan waktu 3-4 pekan.

‘’Saya belajar tenun Siak dengan Mak Cik (bibi, red) saya Rugayah yang saat itu juga sebagai penenun istana. Bahkan dia mengajarkan saya motif siku keluang panji yang merupakan motif terlarang alias khusus untuk motif para sultan dan kerabatnya. Nenek saya juga seorang penenun dan alat tenunnya masih saya simpan hingga hari ini,’’ papar cucu salah seorang pembesar istana Siak yang dimakamkan di komplek perkuburan Masjid Raya Pekanbaru Ahmad Lebay Atan itu meyakinkan.

Beberapa motif yang telah dikembangkan Encik Hasnah antara lain berbagai macam motif pucuk rebung, siku keluang, siku awan, awan berarak, itik pulang petang, bungo bakau dan lainnya. Sedangkan harga yang ditawarkan berkisar Rp800 ribu hingga Rp2 juta bahkan lebih. ‘’Sayang, semakin diburu orang-orang berkantong tebal, semakin sedikit orang yang berminat melakoni hidup sebagai seorang penenun, terutama tenun Siak,’’ jelasnya.

Minim Penenun

Sejak menerima karyawan pada 1996-1997 hingga sekarang sekurang-kurangnya sudah mencapai 50-an orang yang belajar tenun Siak di rumah tenunnya. Namun hanya sedikit yang bertahan dan masih melakoni hidup sebagai penenun dan mulai membuka usaha sendiri. Selebihnya hanya sederetan nama orang-orang yang gagal sebagai penenun saja. Belum lama ini, sedikitnya sekitar 15-an orang yang mau bekerja gagal di tengah jalan dan pulang ke kampung masing-masing tanpa membawa hasil sama sekali.

‘’Kami mengajarkan mereka dengan baik, namun kelihatannya mereka tidak bersungguh-sungguh makanya tidak mendapatkan hasil sama sekali. Saat ini, karyawan tetap saya tinggal empat orang dan saya harap mereka tetap bertahan,’’ ujarnya.

Dikatakannya, ada empat alat yang tidak terpakai dari delapan alat yang kini dimilikinya. Bayangkan saja, jika ada delapan karyawan tetap maka akan semakin banyak permintaan yang bisa disanggupi. Untuk keperluan Pekan Olahraga Nasional (PON) XVIII nanti, Encik Hasnah terpaksa untuk tidak menyanggupinya karena mereka memerlukan 3.000 helai kain tenun Siak. Alhasil, dia hanya mengambil pesanan orang perorang yang memang terus mengalir.

‘’Permintaan banyak tapi tenaga kurang makanya mau tidak mau permintaan besar tidak kami sanggupi. Mudah-mudahan nantinya akan ada yang berminat untuk belajar dan bekerja di sini sehingga tenun Melayu tetap lestari sepanjang masa,’’ harapnya.***









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook