WORKSHOP SOCIAL MEDIA OLEH AMIC, NTU DAN TANOTO FOUNDATION

Tinggalkan Status Remeh di Media Sosial

Feature | Minggu, 08 Juli 2012 - 08:06 WIB

Tinggalkan Status Remeh di Media Sosial
Salah seorang editor Razor.TV menjelaskan pada peserta workshop cara kerja di studio televisi interaktif berbasis internet ini, Jumat (30/6/2012). (Foto: istimewa)

”Jika tidak menggunakan teknologi, maka teknologi akan meninggalkan Anda di belakang.”

Laporan Firman Agus, Singapura

Baca Juga :Sampaikan Pesan Pemilu Damai ke Nelayan yang Sedang Melaut

Kutipan itu disampaikan Rajnesh D Singh, seorang Regional Director of the Asia-Pacific Regional Bureau pada Internet Society (Isoc), saat memberikan materi dalam workshop social media di kampus Wee Kim Wee School of Communication and Information di Nanyang Technological University (NTU), Singapura akhir bulan lalu. Kalimat sedikit “ancaman” itu diungkapkan Raj untuk menegaskan betapa pentingnya memanfaatkan dan mengikuti teknologi, apalagi dalam dunia media massa.

Social media (media sosial), merupakan tema besar workshop tiga hari dengan tajuk New Media Strategies for News Organisation yang ditaja Asian Media Information and Communication Centre (AMIC) bekerja sama dengan NTU serta disponsori Tanoto Foundation tersebut. Riau Pos tergabung dalam gelombang pertama yang diikuti delapan jurnalis dari Riau dan dua Jakarta pada 27-29 Juni lalu. ‘’Gelombang kedua (pekan lalu, red), khusus diikuti jurnalis dari Jakarta,’’ ujar Pamungkas Trishadiatmoko, Corporate Communication Head, PT RAPP.

Menariknya, apa yang dikatakan Raj tersebut bahwa di bisnis media pun harus berpacu dengan teknologi. Media dan orang-orang di dalamnya yang tidak mampu memanfaatkan teknologi, maka perlahan akan ditinggalkan. Apalagi bagi media konvensional seperti koran cetak (print media), melakukan transformasi dengan berbagai kreasi dengan mengikuti kemajuan teknologi dan media sosial merupakan suatu keharusan.

Kenapa media sosial? Ini merupakan diskusi yang menarik sepanjang tiga hari workshop tersebut. Argumentasi yang mengemuka, bila berkaca ke statistik pertumbuhan media sosial, kawasan Asia paling cepat di dunia. Menurut data Comscore, pada Feburari 2012 penguasaan domain internet di Asia Pasifik mencapai 33 persen. Angka ini mengalahkan Eropa yang 30 persen, Amerika latin 10 persen, Amerika Utara 18 persen, Afrika/Timur Tengah 9 persen.

Lebih spesifik lagi, berkaca pada data Burson-Masteller Asia Pasicic 2011, Indonesia merupakan pengguna facebook terbesar kedua di dunia dengan 38.8 juta akun. Sementara pengguna twitter mencapai 19,5 juta akun atau kelima tertinggi di dunia. Di Singapura masih dikuasai facebook dengan 2,5 juta pengguna, Malaysia dengan 11,1 juta pengguna. Di Vietnam dalam enam bulan terakhir, pengguna facebook tumbuh dua kali lipat. Di negara seperti Jepang, Korea Selatan dan Cina facebook dan twitter memang masih kalah dengan jejaring sosial lokal. Seperti Cina masih didominasi Qzone dengan pengguna 531 juta, Cyworld di Korea 18 juta, Mixi di Jepang yang mencapai 14,5 juta. Sementara secara umum, populasi penggunaan internet di Asia mencapai 1.870.532.000 atau 58 persen dari penduduk Asia yang mencapai 3.879.000.000. Kasus Indonesia, pertumbuhan pengguna internet cukup fantastis dari 2000-2010, yakni mencapai 1.400 persen!

Ini merupakan potensi sekaligus ancaman bagi media konvensional. Mengapa dikatakan ancaman? Memang, belum ada penelitian yang bisa memperkirakan kapan media konvensional akan ditinggalkan bahkan ”mati” seiring serbuan internet dengan media sosial. Karena itu juga sangat bergantung dengan media itu sendiri. Ini bisa berkaca dengan radio. Kejayaan radio terus memudar seiring serbuan televisi dan internet. Namun hingga hari ini, radio masih eksis dengan melakukan berbagai transformasi seperti berganti ke jalur FM untuk kualitas suara yang lebih baik dan melakukan interaksi dengan pendengar memanfaatkan telepon dan media sosial.

Mengapa media sosial? Menurut Keith Lin, salah seorang pemateri yang bekerja sebagai Regional Editorial Lead, MSN,  media sosial saat ini masih sebagai penambah bukan sebagai sumber dari sebuah berita. Namun bukan tidak mungkin suatu saat media sosial itu akan lebih dicari untuk sumber berita. Ini bisa berkaca dengan gempa Jepang beberapa waktu lalu yang informasi awalnya tersebar melalui twitter. ‘’Namun apakah ini menggusur peran media konvensional untuk memperoleh informasi? Waktu yang akan menjawabnya. Karena ketika informasi yang diperlukan orang sudah didapat di media sosial untuk apalagi media lain, itu merupakan tantangan bagi media konvensional seperti media cetak,’’ ujar Keith.

Keith mengakui, untuk mengantisipasi serbuan itu, media konvensional harus memberikan nilai lebih seperti dengan memperkuat konten dengan adanya prediksi ke depan, menambahkan komentar, membuat berita eksklusif dan tentunya memanfaatkan media sosial untuk interaksi dan mengikat pembaca. Kesimpulan diskusi dengan Keith ini adalah adanya kolaborasi antara media sosial dan media konvensional untuk tumbuh bersama dan tidak terjadi saling membunuh (kanibalisme). Pertanyaannya sekarang, bisakah?

STOMP, Tidak untuk Mencari Untung

Koran-koran konvensional mulai melakukan transformasi agar tidak tertinggal dengan media sosial di dunia maya. Namun sejauh ini, “menggandeng” media sosial tersebut lebih untuk membantu media konvensional sebagai induk, bukan untuk menciptakan persaingan. Seperti saat ini, hampir semua koran cetak menelurkan website, e-paper, koran digital dan mengajak interaksi pembaca dengan terhubung ke jejaring sosial seperti facebook dan twitter, termasuk memberikan berita ringkas (breaking news). Sejauh ini umum dilakukan media konvensional untuk mengikat pembacanya sekaligus bersiap bila suatu saat ‘’hijrah’’ ke era digital.

Di sisi lain, kecendrungan media sosial dan internet digunakan kawula muda juga memengaruhi ini. Imej yang anak muda yang energik, atraktif dan mencari eksistensi diri menjadikan media sosial untuk menjaga “keterikatan” tersebut cukup efektif. Apalagi persentase terbesar pengguna media sosial seperti facebook dan twitter merupakan anak muda.

Cara yang digunakan Singapore Press Holding (SPH) cukup jitu, yakni menggarap citizen journalism lewat dunia maya. Holding company yang membawahi koran terbesar di Singapura, The Straits Times dan beberapa media cetak, majalah, website, Razor TV (web-TV) ini menggarap dengan serius citizen journalism dengan situs www.stomp.sg.

Situs interaktif yang menjadikan pembaca sekaligus pembuat berita ini berhasil meraih Asian Digital Media Awards 2011 dan Gold Winner Best Online Media di ajang  IFRA. Konsep citizen journalism di sini, pembaca bisa mengirimkan video, foto dan cerita untuk dimuat di situs tersebut. Ketersediaan aplikasi khusus untuk iPhone dan gadget berbasis Android menjadikan pembaca lebih mudah untuk menjadi ‘’wartawan’’. Setiap orang menemukan hal yang menarik bisa langsung mengambil fotonya atau video, dibuat narasi dan dikirim melalui aplikasi STOMP yang sudah terinstal di iPhone atau Android. Tentunya mereka harus subscribe atau mendaftar terlebih dulu. Teknologi yang dimiliki iPhone dan gadget berbasis Android sangat mendukung untuk itu. ‘’Di Singapura orang lebih suka pakai iPhone dan Android, saya tidak tahu kenapa di Indonesia lebih populer BlackBerry. Yang pasti, berita lokal akan tercover dengan citizen journalism,’’ ujar Felix Soh, Head of Digital Media, Singapore Press Holding.

Situs ini, lanjut Felix, menjadi semacam interaksi bagi mereka untuk menyikapi kondisi lingkungan sosial di Singapura. Sehingga tak heran, stomp-it, sendiri sudah menjadi frase bagi masyarakat Singapura untuk menunjuk sesuatu yang harus disebarluaskan. Rata-rata semua yang diberitakan dibaca ribuan orang dan dikomentari baik melalui situs maupun hubungan media sosial seperti facebook dan twitter.

Salah satu contoh yag diungkapkan Felix adalah saat seorang pelanggan restoran yg merasa tagihannya tidak sesuai dengan yang mereka makan. Si pelanggan memotret receipt bill dan mengirimnya ke redaksi STOMP dan dibumbui sedikit cerita. Dan itu dimuat. Uniknya, si pengelola restoran malah melakukan klarifikasi di media yang sama. “Jadi kalau di sini, STOMP dibalas dengan STOMP,’’ ungkap Felix.

Keberadaan situs interaksi ini untuk mendukung media induknya juga bisa dilihat dari beberapa berita utama di STOMP, juga menjadi cerita utama di koran cetak induk, The Straits Times. Salah satu kasus saat banjir yang melanda kawasan terkenal, Orchad Road beberapa waktu lalu. Salah seorang Stomper (sebutan bagi pengirim ke STOMP) memotret pelayan di sebuah toko sedang menyeberangi genangan banjir dengan menapaki jejeran kursi untuk keluar tokonya (mirip sebuah iklan di Indonesia). Keesokan harinya, foto hasil jepretan kamera iPhone tersebut juga menjadi foto utama halaman satu The Straits Times lengkap dengan beritanya. Di berita juga disebutkan bahwa laporan ini berdasarkan citizen journalims plus dengan nama si pengirim. “Yang jelas ini tidak profitable. Ini dibuat untuk mendukung induknya. Mengikat pembaca muda dengan The Straits Times,’’ ujar pria berkacamatan ini.

 Tak heran, pemilihan kata STOMP untuk nama situs yang secara harfiah berarti ”pijakan” ini juga sebuah akronim dari Straits Times, Online, Media, Print.

Bagaimana dengan akuntabilitas pengirim berita dan pertanggungjawabanny di publik? Felix mengakui tidak semua kiriman dari Stomper yang dimuat. Bahkan ada juga yang mengirim bernada promosi produk dan mengandung konten seksual. Maka itu tidak dimuat. “Yang penting prioritas adalah melihat pelayanan publik dan fenomena sosial yang menjadi perhatian serius pemerintah. Seperti banjir, itu menjadi perhatian serius di sini (Singapura, red),’’ ujarnya.

Bagaimana dengan komplain orang-orang yang diberitakan, Felix mengaku sejauh ini pihaknya belum ada tuntutan hukum, meski diakui komplain ada. Caranya STOMP dijawab dengan STOMP.

“Tapi dalam perjalanan waktu akan terseleksi sendiri, masyarakat akan tahu mana yang bisa jadi STOMP atau tidak,’’ ujarnya.

 Felix mengakui, situs ini bisa berkembang di Singapura dan mendapat tempat dengan baik karena misinya adalah untuk mengkritisi lingkungan sekitar, mengangkat berita lokal dan ajang interaksi warga. Malah ia melihat luas dan jumlah penduduk Indonesia sebagai sesuatu yang potensial untuk dikembangkannya citizen journalism. “Bila ini ada di Indonesia, tentu akan lebih variatif dan menarik karena luas dan banyaknya penduduk Indonesia sehingga banyak fenomena sosial di masyarakat. Tapi sayang, pengguna media sosial di Indonesia lebih banyak untuk update status yang tidak perlu,’’ tegasnya.

Namun, tampaknya apa yang diungkapkan Goh itu pengkajian lebih lanjut. Kasus Prita Mulyasari dengan salah satu rumah sakit beberapa waktu bisa menjadi salah satu contoh, bahwa kondisi lingkungan di Indonesia belum siap seperti di Singapura.

Jadi, mari kita tunggu seiring perjalanan waktu. Apa Indonesia akan terus menjadi pengguna media sosial terbesar, namun lebih banyak digunakan untuk hal-hal sepele dan up date status yang isinya remeh seperti ”lagi makan siang di… ”, ”kangen nich”, ”otw mal” dan lain lain. Atau menjadikan media sosial bagian dari kehidupan untuk mencari standar yang lebih baik.(esi)









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook