KETIKA RIAU MAKIN PANAS KARENA DEFORESTASI

Nafas Bumi dari Hutan Larangan Rumbio

Feature | Rabu, 07 Maret 2012 - 09:42 WIB

Nafas Bumi dari Hutan Larangan Rumbio
KEMPAS BESAR: Ketua Yayasan Pelopor Sehati, Masriadi saat berfoto dekat salah satu pohon kempas besar di dalam hutan adat larangan Rumbio. foto: MUHAMMAD AMIN/RIAU POS

Laporan MUHAMMAD AMIN, Rumbio

Bumi makin panas sudah menjadi pengetahuan umum. Tapi saat suhu Riau meningkat lebih cepat dari daerah-daerah lain di Indonesia, tentu timbul pertanyaan.

Baca Juga :Sampaikan Pesan Pemilu Damai ke Nelayan yang Sedang Melaut

Laju deforestasi yang nyaris tak terkendali, ternyata jadi salah satu penyebab utamanya. Apa obatnya?

Panas terasa membara di Pekanbaru, Ahad (26/2) siang lalu. Tapi panas membara seakan hapus ketika petang hingga malamnya hujan lebat turun. Petir dan angin kencang pun melanda.

Menurut Kepala Badan Meteorologi dan Geofisika (BMKG) Stasiun Pekanbaru, Philip Mustamu, Riau memang sedang mengalami perubahan musim, dari kering ke hujan.

Sebagai daerah equatorial, puncak hujan terjadi pada Maret-April dan Oktober-November di Riau.

‘’Tapi kadang terjadi pergeseran karena perubahan angin, sinar matahari dan kelembaban. Seperti sekarang, seharusnya sudah musim hujan, namun kadang masih panas, bahkan sangat terik,’’ ujar Philip, Selasa (28/2).

Dia menyebutkan, tren perubahan iklim ini dipengaruhi juga oleh pemanasan global.

Tapi pengaruh lokal dan regional juga sangat besar. Data yang ditunjukkan Philip ternyata cukup mencengangkan. Kecenderungan temperatur di Riau menunjukkan tingkatan panas yang tinggi dan cepat. Pekanbaru, sebagai barometernya mengalami peningkatan temperatur yang mencapai 0,5 hingga 0,7 derajat celcius dalam 30 tahun terakhir (1981-2010).

‘’Ini memang termasuk tinggi jika kita bandingkan dengan daerah atau kota-kota lain. Kota seperti Jakarta itu peningkatannya hanya 0,1 hingga 0,2 derajat celcius,’’ ujar Philip memberi perbandingan.

Diakuinya, secara umum kota-kota lain di Indonesia semakin panas. Akan tetapi Pekanbaru termasuk yang paling tinggi perubahannya. Diduga, deforestasi (pembabatan hutan) yang tak terkendali dalam tiga dasa warsa terakhir menjadi penyebabnya.

Jika kerapatan hutan terjaga di suatu kawasan, ujar Philip, maka dengan sendirinya temperatur akan lebih stabil.

‘’Jakarta itu cenderung lebih stabil karena kawasan tutupannya memang segitu saja. Tentu yang kita hitung dalam tiga puluh tahun terakhir, bukan di zaman Belanda,’’ ujar Philip.

Deforestasi Mengkhawatirkan

Laju pembabatan hutan (deforestasi) di Riau saat ini memang terbilang sangat mengkhawatirkan. Koordinator Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari), Muslim, menyebutkan, saat ini tutupan hutan Riau tinggal 2,4 juta hektare, terdiri dari 1,5 juta hektare hutan gambut, dan 972 ribu hektare non gambut.

Jikalahari menghitung, selama 30 tahun terakhir, terjadi 150 ribu hektare hutan Riau hilang setiap tahunnya. Kecuali tahun ini yang separuhnya terhenti. Laju deforestasi tahun 2011 hanya 86 ribu hektare. Itu pun karena hutan gambut di Pulau Padang belum jadi dibabat.

‘’Kalau jadi, angkanya tetap stabil pada kisaran 150 ribu hektare pertahun,’’ ujarnya.

Pada tahun 1982, tutupan hutan Riau masih 6,4 juta hektare. Hutan Riau musnah 4 juta hektare selama kurun 30 tahun, yakni tersisa 2,4 juta hektare saja tahun 2011. Hasil pemetaan Jikalahari, tahun 1982 hutan Riau masih seluas 6,4 juta hektare. Tahun 1988 menjadi 5,6 juta hektare, tahun 1996 4,1 juta hektare.  

Memasuki tahun 2000 hutan Riau tinggal 3,4 juta hektare atau berkurang 3 juta hektare dari tahun 1980-an. Tahun 2002 menjadi 3,2 juta hektare, dan terus turun hingga tahun 2011 menjadi 2,4 juta hektare.

‘’Perkiraan kita tahun 2015 nanti hutan alam tidak ada lagi. Yang tersisa hanyalah kawasan konservasi. Itu pun sudah mulai rusak,’’ ujar Muslim.

Saat ini memang yang tersisa dari hutan Riau hanyalah kawasan konservasi dan kawasan-kawasan yang segera dihancurkan. Beberapa hutan yang saat ini sudah dibagi-bagi dan siap dihancurkan ada di blok Semenanjung Kampar, blok Kerumutan, blok Giam Siak Kecil, dan blok Senepis.

Selain kawasan konservasi, yang masih bisa diharapkan adalah kawasan lindung dan hutan adat. Kawasan lindung, yang hanya dilindungi daerah pun tak lagi bisa bertahan. Misalnya, hutan lindung Mahato, yang sebagian sudah menjadi kebun sawit.

‘’Harapan kita ada pada hutan adat,’’ ujar Muslim.

Dia juga menyebutkan, laju investasi berbasis lahan di Riau saat ini terbilang sangat tinggi. Padahal dengan kondisi yang ada, seharusnya yang dikejar adalah industri, bukan investasi berbasis lahan, yang biasanya bermuara pada penghancuran hutan.

Sebab, yang dibangun selalu saja hutan tanaman industri dan perkebunan sawit. Jika laju deforestasi ini tidak dihentikan, maka tahun 2015, hanya akan tersisa 600 ribu hektare kawasan konservasi saja di Riau.

Muslim menyebutkan, selain menjaga kawasan konservasi, hutan lindung, yang tak kalah penting adalah hutan adat. Kendati tidak luas, hutan adat memiliki kekuatan tradisi untuk bertahan. Dari beberapa hutan adat yang ada, terutama di Kampar, dua yang terpenting yakni Rumbio dan Buluh Cina.

‘’Tapi hutan adat Rumbio yang paling kuat terjaga, karena hutan adat Buluh Cina juga mulai rusak,’’ ujarnya.

Secercah Harapan dari Rumbio

Dari sedikit tutupan hutan yang masih tersisa di Riau, hutan larangan Rumbio adalah secercah harapan yang tersisa. Hutan larangan Rumbio yang merupakan hutan adat dari Kenegerian Rumbio memang hanya sedikit kawasan dibanding kawasan konservasi lain.

Namun jika dibandingkan kawasan konservasi resmi yang dipelihara pemerintah, seperti cagar alam atau suaka alam, Rumbio bisa dikatakan lebih baik.

Apalagi hutan Rumbio tak dipelihara negara atau pun dalam pengawasan Unesco seperti Cagar Biosfer Giam Siak Kecil-Bukit Batu. Hanya adat Kenegerian Rumbio yang menjaganya.

Dalam peta rencana tata ruang wilayah (RTRW), kawasan hutan Rumbio termasuk dalam areal pemanfaatan langsung (APL). Tidak ada aturan perundangan yang melarang penebangan hutannya.

Akan tetapi hutan adat yang memiliki luas 570 hektare ini relatif terjaga hingga saat ini. Bahkan sejak ratusan tahun lalu, hutan ini nyaris tak tersentuh dan menjadi hutan primer yang asli.

Saat Riau Pos memasuki kawasan hutan larangan Rumbio, Senin (27/2) lalu, nuansa hutan langsung terasa. Areal perbukitan dengan kontur tanah menanjak menjadi salah satu ciri khasnya.

Udara sejuk langsung menyergap. Binatang hutan pun bernyanyi. Nyamuk mengerubung. Dari jalan aspal dan perumahan penduduk, jaraknya hanya sekitar 50 meter, hingga derap kehidupan dan laju kendaraan masih terdengar.

Tapi memasuki hutan adat ini, semuanya berganti alami. Ada beberapa pohon karet di sekelilingnya, namun dalam jumlah kecil. Beberapa perkebunan karet warga memang menjadi areal penyangga hutan adat ini.   

Hutan adat Rumbio tidak terhubung dengan hutan lainnya. Di sekelilingnya sudah bertumbuhan perumahan penduduk dan perkebunan karet milik masyarakat.

Jarak dengan hutan terdekat sejauh 5 Km, yakni hutan produksi terbatas (HPT) PT Batang Lipai Siabu yang luasnya mencapai ribuan hektare. Secara administratif, kawasan hutan ini terletak di empat desa yakni Rumbio, Padang Mutung, Pulau Sarak, Koto Tibun, semuanya di wilayah Kecamatan Kampar, Kabupaten Kampar, Riau.

Sebagai hutan primer, hutan larangan Rumbio memiliki vegetasi yang asli dan beragam. Di antaranya yang paling besar adalah pohon kempas. Kempas di hutan ini ada yang mencapai diameter bawah hingga 2 meter, atau empat pelukan orang dewasa, bahkan lebih.

Selain kempas, ada juga ara, arang-arang, bayas, cubadak hutan, jelutung, kandis, keruing, kulim, manau, manggis hutan, medang sendok, meranti, palem kipas, pulai, rambutan hutan, pinang hutan, gaharu, dan lainnya.

Sedangkan fauna di kawasan ini di antaranya rusa, babi, bajing, beruk, biawak, kijang, landak, simpai, trenggiling, tupai, ungko. Ada juga beberapa burung langka seperti rangkong, enggang, dan tiung.

‘’Ada juga jejak beruang yang terakhir terlihat 5 tahun lalu. Orang-orang tua dulu juga menyebut di sini ada harimau,’’ ujar Ketua Yayasan Pelopor Sehati, Masriadi kepada Riau Pos.

Yayasan Pelopor Sehati yang dipimpin Masriadi merupakan penggerak adat kenegerian Rumbio. Kantor Yayasan Pelopor Sehati digunakan juga sebagai Sekretariat Lembaga Adat Kenegerian Rumbio.

Masriadi memang tengah bergiat untuk penguatan adat Rumbio, termasuk juga yang berkaitan dengan hutan larangan Rumbio dalam sepuluh tahun terakhir. Masriadi sendiri merupakan salah seorang warga dari suku Domo, akan tetapi bukan sebagai pimpinan adat.   

Hutan larangan Rumbio dikuasai oleh Suku Domo dan Pitopang, karena kedua suku merupakan leluhur warga Kenegerian Rumbio. Tapi pemanfaatannya digunakan untuk seluruh anak kemenakan Kenegerian Rumbio.

Selain suku Domo dan Pitopang, ada lagi suku Piliang, Kampai dan Chaniago di sekitar kawasan ini. Kendati dikuasai Suku Domo dan Pitopang, hutan adat ini dapat digunakan untuk kepentingan anak kemenakan se-Kenegerian Rumbio.

Kawasan ini meliputi Kecamatan Kampar dan Rumbio, terdiri dari 13 desa, yakni Rumbio, Padang Mutung, Pulau Sarak, Pulau Tinggi, Koto Tibun, Alam Panjang, Teratak, Pulau Payung, Simpang Petai, Pajajaran, Batang Bertindik, Pasir Jambu, dan Tambusai.

Sebenarnya, hutan adat ini sudah berkurang dari luasan sebenarnya. Menurut Masriadi, di zaman leluhurnya semasa Belanda masih berkuasa, hutan adat ini memiliki luas sekitar 1.000 hektare.

Akan tetapi luasan itu terus berkurang karena banyak yang mulai dimanfaatkan untuk berkebun, terutama karet. Sejak tahun 2.000-an, masyarakat adat setempat kembali merumuskan secara bersama untuk memelihara hutan adat ini.

Melalui pendekatan adat yang berkelanjutan, akhirnya tahun 2007 ditetapkan peraturan adat tentang hutan larangan Rumbio. Dalam pendataan terakhir, hutan adat ini tinggal 570 hektare. Peraturan adat ini merupakan yang pertama dikeluarkan ninik mamak Kenegerian Rumbio.

‘’Jadi kendati ninik mamak Kenegerian Rumbio tak pernah menomorkan peraturan ini, ada juga yang menyebut ini Peraturan Adat Nomor 1 Tahun 2007,’’ ujar Masriadi.

Ninik mamak kenegerian sudah mencermati naskah peraturan adat ini, dan tak ada yang menyimpang. Sebenarnya ada wacana agar peraturan adat itu tetap dibiarkan terpelihara dalam lembaga adat, tanpa dinaskahkan.

Akan tetapi pertimbangan lain menyimpulkan perlu dinaskahkan untuk bisa dibaca generasi mendatang. Untuk dilegalkan dalam aturan negara, menurut Masriadi masih belum perlu.

‘’Yang penting sebenarnya bagaimana ungkapan adat tali berpilin tiga atau tiga tunggu sejerangan itu terpelihara. Artinya pemerintah menghargai pimpinan masyarakat yang lainnya, yakni pemuka adat dan para ulama. Itu sudah cukup,’’ ujar Masriadi.

Tentu saja menghargai itu tak sekadar dalam ucapan. Menurutnya yang lebih penting adalah pemerintah menghargai adat secara keseluruhan, misalnya dengan menghargai juga keberadaan hutan larangan ini.

Konkretnya dengan tidak membagi-bagi Hak Penguasaan Hutan (HPH) atau Hutan Tanaman Industri (HTI) begitu saja hingga melanggar tanah adat, termasuk hutan adat.

Sebenarnya, ujar Masriadi, menjaga hutan larangan Rumbio bukan perkara yang mudah. Tetap saja godaan harga kayu melanda anak-kemenakan Kenegerian Rumbio. ‘’Tapi terus kita edukasi dan kita tanamkan nilai-nilai pentingnya menjaga hutan adat ini,’’ ujar peraih Kalpataru 2011, karena tunak menjaga kelestarian hutan adat Rumbio ini.

Soal kemungkinan memperluas kembali hutan adat ini, Masriadi menyebut, mungkin saja dilakukan. Pihaknya sudah melakukan penanaman beberapa bibit pohon mulai dari kempas, durian hingga rotan di sekeliling hutan larangan Rumbio.

Jika warga yang memiliki kebun karet bersedia, tidak tertutup kemungkinan diperluas lagi, bahkan dibuat koridor hutan menuju HPT Batang Lipai Siabu. Tentu ini penting untuk konservasi fauna sekitar kawasan ini.

Sementara itu, Kepala Desa Rumbio, Edison, mendukung tiap upaya untuk melestarikan hutan adat Rumbio ini. Ungkapan adat ‘’tali bapilin tigo’’, yakni pemerintah, ninik mamak, dan alim ulama harus terus dijaga dan dihargai. Untuk lebih konkretnya, pihaknya terus melakukan penanaman pohon dan mengedukasi masyarakat.

‘’Misalnya tiap ada kunjungan mahasiswa, kita wajibkan menanam, sedangkan bibitnya disediakan. Ini biasanya sinergi antara desa dan pihak Yayasan Pelopor dan ninik mamak Rumbio,’’ ujar Edison.

Di pihak lain, Ketua Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Rumbio, M Rasyad menyebutkan, masyarakat Rumbio selalu berkomitmen untuk mempertahankan hutan adat ini.

Masyarakat merasakan dampak langsung keberadaan hutan adat ini, misalnya sebagai sumber air minum, membersihkan udara, termasuk konservasi. Desa Pulau Syarak adalah sumber air bersih yang murni dan bahkan sudah bisa dijual.

‘’Selain itu irigasi masyarakat berasal dari hutan larangan di perbukitan ini,’’ ujar Rasyad.

Datuk Godang Kenegerian Rumbio, Edi Susanto punya perspektif lain soal kelestarian hutan adat ini. Menurut pucuk pimpinan ninik mamak di Kenegerian Rumbio ini, ancaman pada hutan adat ini sangat nyata.

Untuk itu dia menggesa pemerintah turut menjaganya. Selain peraturan adat yang sudah ada, dia minta ini bisa dikuatkan dengan peraturan lainnya, misalnya Perda.

‘’Konkretnya untuk sekarang ini perlu dibuat pos Dinas Kehutanan di sekitar hutan ini,’’ ujar Edi Susanto.

Menurut akademisi dari Ilmu Lingkungan Universitas Riau, Dr Sofyan Siregar, karakter hutan adat Rumbio ini memungkinkannya untuk bertahan cukup lama. Tidak seperti hutan adat Buluh Cina yang mulai rusak, hutan adat Rumbio bisa dikatakan terus terpelihara.

Karakternya yang khas adalah letaknya di kontur tanah perbukitan, yang relatif sejuk dan menjadi sumber air yang bagus. Sumber air ini menjadi nafas kehidupan bagi warga sekitar dan masyarakat global pada umumnya.

‘’Jadi dengan sumber air ini, masyarakat adat setempat akan menjaganya dengan lebih baik,’’ ujar Sofyan.

Akan tetapi itu juga bukan jaminan, jika permintaan pasokan kayu dan hutan alam terus meningkat. Menurutnya, perlu tetap harus ada antisipasi sejak dini. Aspek strategis yang perlu dikembangkan secara akademis adalah membuat zonasi.

Selain hutan primer pada hutan larangan yang menjadi zona inti (core zone), perlu juga dibuat zona penyangga (buffer zone) hutan ini. Kalau perlu ada juga zona transisinya.

‘’Tujuannya agar zona intinya tetap terjaga,’’ sebut Sofyan.***









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook