Gunung Sinabung sudah ribuan kali meletus dalam tiga tahun terakhir. Selama itu warga yang tinggal di 25 desa di punggung gunung beberapa kali dipaksa mengungsi.
Laporan M SALSABYL AD’N, Berastagi
JPNN akhir pekan lalu mengunjungi salah satu lokasi pengungsian di Kecamatan Berastagi, Kabupaten Tanah Karo.
Ajakan dalam bahasa Batak yang terdengar dari pengeras suara di seantero Jambur Taras tidak mampu membangunkan hampir seribu orang yang berkumpul di rumah adat masyarakat Berastagi.
Semilir angin yang mengembuskan hawa dingin khas pegunungan, membuat para penghuni Jambur Taras menarik kain selimut dan mencoba memejamkan mata.
Para pengungsi dari sejumlah desa terdampak letusan Sinabung yang dikumpulkan di Jambur Taras terkesan ingin sejenak melupakan kepedihan meninggalkan kampung halaman dalam lelap.
Sekitar pukul 21.00 WIB, suara ajakan dari ruang pertemuan berhenti. Lamat-lamat suara keyboard mengalun, mengiringi gelegar suara Pendeta Togar Lumban Tobing menyanyi dan memulai kebaktian. Sesekali khotbah yang disampaikan dalam bahasa Batak memecah lagu yang dinyanyikan sekelompok kecil umat.
Demi mendengar khotbah yang disampaikan Pendeta Togar, pengungsi yang semula rebahan perlahan duduk. Dari semula diam, lama-lama mengguman, lantas bernyanyi dengan mengangkat tangan ke udara.
Satu-dua pengungsi terlihat menangis sesenggukan ketika pendeta berkemeja merah itu melantunkan doa-doa. Mulut mereka tidak henti-henti melafalkan amin.
Salah seorang umat yang khusyuk berdoa malam itu adalah Kepala Desa Jeraya Johanna Brusy Nuraya. Perempuan 54 tahun itu ikut mengungsi bersama keluarganya.
Bebannya paling berat. Sebab, meskipun ikut menjadi korban, Johanna harus bisa menenangkan ribuan warganya yang belum pulih dari shock karena dievakuasi paksa oleh personel TNI untuk menghindari jatuhnya korban jiwa.
‘’Saya baru tiga bulan jadi kepala Desa Jeraya, masih ingin belajar. Tapi, sekarang ada peristiwa seperti ini, bukan main terkejutnya,’’ kata Johanna sambil mengusap setitik air di pelupuk matanya.
Seperti pengungsi lain, Johanna hanya membawa baju yang melekat di tubuhnya. Aparat TNI yang membawa dirinya tidak memberikan kesempatan untuk berkemas dan menyelamatkan barang-barang berharganya.
Sedikit keberuntungan dialami warga yang ketika dijemput masih di rumah karena tangannya masih bisa menyambar satu-dua bekal mengungsi. Sebaliknya, tidak sedikit warga yang dijemput aparat ketika tengah bekerja di ladang.
‘’Saya ingin warga dulu yang diselamatkan. Saya menyusul setelah semua warga aman. Tapi, suami saya bilang jangan pikir panjang. Hidup lebih penting. Jadi, ya akhirnya saya mau diangkut motor TNI. Tidak tahu apakah semua warga saya sudah diungsikan,’’ kata Johanna sambil terisak.
Ratusan warga malam itu memang masih belum pulih dari keterkejutan karena mendadak dipaksa turun untuk mengungsi. Sebab, Desa Jeraya dan Pintu Besi yang berada sekitar 6 kilometer dari puncak Sinabung selama ini tidak termasuk wilayah rawan semburan awan panas.
Namun, situasi mendadak berubah karena aktivitas gunung pada akhir Desember lalu meluas hingga dua desa tersebut masuk wilayah merah.
Akibatnya, pada 31 Desember sekitar pukul 14.00 WIB, sebanyak 937 warga di dua desa diungsikan ke balai adat Berastagi hanya dengan membawa pakaian di badan.
Seorang penduduk bahkan lebih mengenaskan. Ketika diangkut paksa, dia baru saja tiba dari rumah sakit karena beberapa hari sebelumnya melahirkan secara caesar.
Dalam masa-masa penyembuhan luka bekas operasi itu, dia dan bayinya harus hidup di pengungsian dengan menumpang truk tentara. ‘’Untung sekarang sudah dibawa ke rumah keluarganya,’’ tutur Johanna.
Tidak sedikit warga yang tidak tenang di pengungsian. Selain memikirkan anggota keluarga, mayoritas memikirkan hewan ternak yang terpaksa ditinggalkan tanpa makan selama beberapa hari.
‘’Sebagian memang sembunyi-sembunyi naik lagi dengan ojek untuk memindahkan ternak. Salah satunya anak saya. Dia naik pakai motor dan kembali lagi setelah memindahkan ternaknya ke rumah kerabat di Desa Aji Nembah,’’ tuturnya.
Meski belum tenang, Johanna tidak lupa tanggung jawab sebagai pemimpin desa. Untuk meredakan ketegangan, dia sengaja membagikan sirih ke ibu-ibu pengungsi.
Menurut dia, sirih adalah salah satu cara efektif untuk sosialisasi dan mengurangi tekanan beban hidup. ‘’Di sini, mau gadis, mau nenek, semua suka sirih. Kalau tidak nyirih, kami bisa stres di sini,’’ tuturnya lantas tersenyum.
Johanna juga memastikan semua warga mendapatkan jatah makan sesuai dengan jumlah anggota keluarga yang mengungsi. Setelah memeriksa warganya semua sudah mendapatkan jatah makan, dia baru bisa bernapas lega.
‘’Saya ingin Sinabung tak lagi mengeluarkan awan panas supaya saya bisa makan dengan tenang,’’ katanya.
Lain cerita Kusnandar. Pria 49 tahun dari Jawa Barat ini sudah delapan tahun merantau sebagai penggali pasir. Selama beberapa hari, ia dan keluarganya berlibur di rumah kerabatnya. Karena itu, ia tidak tahu kalau rumahnya di Desa Beras Tepu disapu awan panas.
Tanpa menengok rumahnya, bapak satu anak itu langsung memasukkan keluarganya ke posko pengungsian. ‘’Saya pikir letusan biasa. Tapi, setelah semua kawan saya mengungsi, saya langsung ke sini,’’ terangnya.
Setelah mengungsikan istri dan anak semata wayangnya, Kusnandar nekat kembali ke desanya untuk menengok rumahnya. Untung, rumahya masih utuh. Dia bahkan sempat mengambil tikar dan selimut untuk keluarganya. ‘’Ngeri sekali kondisi di atas (desanya, red).
Selain jatuh abu, ada gerimis. Tumpukan abu sudah tebal sekali. Itu yang bikin kepleset beberapa kali. Tapi, mau bagaimana lagi, di sini tidak ada tikar. Kalau nggak gitu, kedinginan,’’ jelasnya.
Kekhawatiran juga melanda Benny Marlin, seorang warga Berastagi. Dia mengaku keluarga dan sejumlah tetangganya sudah bersiap-siap mengungsi ke Medan. Mereka bahkan sudah menyiapkan segala keperluan dalam sejumlah kopor untuk mengungsi.
‘’Kami sudah packing-packing koper. Jadi, kalau (Sinabung) meletus, ya tinggal berangkat. Kebetulan, saya sama kakak kan sedang kuliah di Medan. Jadi, kami punya rumah di sana,’’ ujarnya.
Seorang petugas posko, Sri Marhaeni, mengakui Jambur Taras tersebut sebenarnya sudah disewa untuk pesta pernikahan. Namun, karena tempat itu digunakan untuk posko pengungsian, akhirnya pesta perkawinan tersebut ditunda. ‘’Kalau orang protes, TNI nanti yang tangani,’’ ujar perempuan yang menjadi kepala urusan pemerintah di Kecamatan Berastagi tersebut.
Sri mengatakan, ada warga dari delapan desa yang mengungsi di Jambur Taras. Per 4 Januari, sudah ada 937 warga dari 255 kepala keluarga yang mengungsi di bangunan seluas 1.500 meter persegi tersebut.
Mereka harus berjuang keras lebih awal daripada warga negara lain yang masih menikmati manisnya libur awal tahun. (noe/esi)