Meskipun harga sawit menurun tapi tak separah dengan harga karet yang tak beranjak dari harga Rp4.000 hingga Rp6.000. Kondisi harga karet di petani ini membuat pemilik kebun karet yang ada di pesisir Riau ‘’tersungkur’’ dan pasrah dengan keadaan terjadi. Sebab harga per kilogram karet tak sebanding dengan sekilogram beras.
RIAUPOS.CO - KILAUAN lampu senter di tengah kebun karet sabung menyabung. Saat itu jam di tangan sekitar pukul 05.30 WIB, Ismail (40) dengan pahat penyadap kulit pohon di tangan terus menakik marka (kulit yang akan ditakik) yang berada di pohon karet yang tak jauh dari belakang rumahnya.Hanya memakan waktu satu menit marka yang disadapnya sudah mengeluarkan cairan putih dan mengalir mengikuti alur kulit dan menetis ke tempurung kelapa yang disiapkan sebagai penampung. Setelah dipastikan sudah menetes ke dalam tempurung, Ismail pun kembali bergerak ke pohon yang lainnya.
Pohon karet kampung yang disadap (ditoreh istilah bagi warga Bengkalis) letaknya tidak terlalu jauh dari rumah. Hanya berjarak 100-150 meter saja. Namun bagi warga Desa Telukpambang, Kecamatan Bantan, Kabupaten Bengkalis menoreh atau menakik bagi masyarakat Riau daratan dilakukan usai Salat Subuh. Bagi sebagian masyarakat jika menoreh pada subuh hari cairan getah putih yang keluar lebih banyak, karena suhu udara masih dingin.
‘’Kalau batang getah (pohon karet, red) kampung ni harus ditoreh subuh-subuh lagi. Kalau siang air getahnya agak kurang,’’ ucap Ismail sambil terus membawa Riau Pos dari satu batang pohon karet ke pohon karet lainnya.
Pohon karet yang berada di atas tanah kurang lebih satu hektare tersebut menjadi tumpuan hidup baginya. Per tiga hari pohon karet miliknya tersebut bisa mendapatkan cairan getah beku (ojol) berkisar 80-100 kilogram. Meskipun begitu seberapa besar ojol didapatkan tergantung cuaca. Mengapa demikian, karena menoreh atau menakik sangat dipengaruhi curah hujan dan musim panas.
‘’Kalau musim hujan alamat tak berasap dapur! Sebab kita tak bisa menoreh getah. Kalaupun berasap hutang bertambah di kedai atau tauke. Sebaliknya musim panas air getahnya pula yang berkurang,’’ jelas Ismail.
Sekitar dua jam bersama Ismail, tampa sengaja dirinya sudah hampir merampungkan penyadapan semua pohon karet yang ada di kebunnya tersebut. ‘’Dua tiga batang lagi selesailah. Lepas itu bisa kita pulang ke rumah,’’ jelasnya.
Ternyata kebiasaan menoreh atau menakik karet sejak subuh hingga sekitar pukul 09.00 WIB pagi ini juga dijalani bagi masyarakat yang ada di Kuantan Singingi (Kuansing). Beberapa waktu lalu Riau Pos bertandang ke Desa Seberang Gunung, Kecamatan Gunung Toar, Kuansing masyarakatnya juga menakik karet usai Salat Subuh.
Hal ini seperti dilakukan Ibnu Masud dan istrinya. Dirinya harus keluar dari rumah sekitar pukul 05.15 WIB. ‘’Kebun karet agak jauh jadi perginya harus pagi-pagi. Kalau siang perginya alamat tak selesai menyadap karet. Sebab kalau sudah pukul sepuluh ke atas sudah kurang air getahnya keluar,’’ jelas Ibnu Masud.
Ibnu Masud selain menakik getah juga membuka kedai di rumahnya ini juga menjelaskan menjadi petani karet tak lagi menjanjikan.
Makanya tak sedikit masyarakat di kampungnya tersebut sudah beralih menjadi petani sawit. ‘’Kita tetap bertahan. Sebab menjadi petani karet kita diuntungkan tak harus memberi pupuk setiap bulan dan resiko matinya juga kecil,’’ jelasnya.
Lagi Menjadi Primadona
Menjadi petani karet tak lagi menjadi pilihan masyarakat karena tak menentunya harga dan kuatnya pengaruh masyarakat berkebun sawit. Seperti di Pulau Bengkalis yang merupakan tanah rawa dan sangat cocok dengan tanaman keras dalam hal ini pohon karet dan kelapa dalam sudah banyak beralih fungsi menjadi kebun sawit.
‘’Kita tak mau berpindah ke sawit. Kami orang kampung ni tak berpengalaman untuk berkebun sawit. Apalagi katanya karet membuat tanah menjadi kering dan tak telap (kuat, red)membeli pupuk setiap bulannya,’’ kata Johar yang juga pemilik kebun karet.
Kemudahan berkebun karet kata Johar sudah terbukti, setiap sepekan sekali hanya menebas semak-semak yang ada di sekitar pohon karet. Kalau ada modal sedikit, menurut dia diracun semak samunnya. ‘’Tak payah mupuk, semak samun tu jadi pupuk die,’’ jelas Johar.
Hal serupa dikatakan Ibnu Masud menurut dia, semua masyarakat lebih menarik menanam pohon sawit ketimbang karet.
Berbagai alasan sebab sawit mudah pemasarannya selain itu harga sawit tak jatuh seperti karet. ‘’Alasan klasiknya karet harus ditakik setiap hari. Sedangkan sawit hanya dua kali dalam sebulan. Tapi kan orang tak memprihitungkan resiko dan bakal tandusnya negeri ini. Rawa ajo jadi koring,’’ jelas Masud.
Tapi bagaimana lagi sawit sudah menjadi primadona bagi masyarakat petani di Riau saat ini. Selain itu tak sedikit lahan sawit di Kuansing ini pada umumnya dimiliki perusahaan besar.
‘’Jadi kalau sebut masyarakat kita makmur karena sawit tak juga. Sebab yang makmur itu tetap perusahaan besar dan para tuan tanah yang bisa menanam sawit ratusan hingga ratusan hektare,’’ jelasnya.
Tak Bisa Beli Beras Sekilo
Keterpurukan ekonomi masyarakat petani karet di Riau berkepanjangan hingga sekarang. Meksipun demikian masyarakat petani tetap bertahan hidup dengan pendapatan tak sebanding dengan bahan pokok kehidupan yang terus meningkat. Keterpurukan ini dikarenakan semakin tak setabilnya harga karet di tingkat petani dan juga pabrik.
Hingga saat sekarang harga karet per kilogram ditingkat petani harganya berkisar Rp4.000-6.000. Padahal dua tahun lalu harga karet sempat menjadi primadona sebab per kilogramnya bisa mencapai Rp22.000. Bahkan untuk ditingkat petani berkisar Rp18.000-20.000. ‘’Dua tiga tahun lalu kita bisa tertawa lebar. Kalau sekarang memekik. Harga barang naik terus harga ojol per kilogramnya baru sebulan lalu hanya Rp4.000,’’ jelas Ismail sambil mengangkat ojol dari tempurung di dalam kebun karetnya saat itu.
‘’Nak dapat beras sekilo harus dapat tiga kilogram karet. Luar biasa murahnya harga karet sekarang ini,’’ jelas Ismail lagi.
Kondisi ini juga dirasakan para petani di Kuansing. Meskipun perkebunan karet mereka berdekatan dengan pabrik karet, baik di Kuansing, Jambi dan Pekanbaru tetap saja harga karet tak bisa setabil. Padahal untuk saat sekarang harga karet per kilogram di tingkat pabrik harganya mencapai Rp6.000-6.300, tetap saja di tingkat petani harga masih berkisar Rp5.000-5.400.
‘’Kemarin sempat mencapai lima ribu lebih per kilonya. Tapi sekarang turun lagi menjadi Rp5.000. Tapi macam mana lagi, mau mengadu kemana. Katanya harga ini dipengaruhi harga karet dunia. Itu alasan yang kami terima terus,’’ jelas Masud.
Menyikapi kondisi harga karet sekarang ini membuat masyarakat meminta pemerintah membuat kebijakan khusus. Sehingga harga karet bisa menanjak naik. ‘’Kita mintalah pemerintah ada inisiatif. Entah buat pabrik sendiri entah membuat koperasi yang bisa menampung harga karet yang memadai,’’ harap Ibnu Masud.
Kondisi harga karet tak stabil seperti sekarang ini membuat petani harus menyimpan atau memasukkannya ke dalam kolam atau perigi. Seperti dilakukan Efendi dan Elis mereka harus menyimpan ojol beratus kilo bahkan mencapai 1.5 ton di dalam kolam. ‘’Harga ojol murah betul. Jadi biar harga mahal nanti baru dijual,’’ jelas Efendi yang akrab disapa Efed ini.
Untuk memenuhi keperluan hidupnya sehari-hari Efed mengandalkan penjualan pinang kering dan juga es potong. ‘’Mahal harga pinang kering daripada karet. Pinang kering per kilogram bisa mencapai Rp16-18 ribu,’’ jelasnya.
Berbeda dengan nasib petani karet di Kuansing, khususnya di Gunung Toar dan Seberang Gunung, mereka harus rela hidup apa adanya. Mereka harus menerima dengan lapang dada semakin murahnya harga karet sekarang ini. ‘’Sebenarnya ketika harga karet turun, kita masih ada sawah atau berladang padi. Tapi kenyataannya awal tahun kemarin kita gagal panen. Akhirnya kita harus tabah dan siap dengan keadaan terjadi sekarang ini,’’ jelas Ibnu Masud tertunduk.
Karena gagal panen pada awal tahun lalu akibat kabut asap, untuk saat sekarang masyarakat mulai menanam padi kembali. ‘’Sekarang kita menanam padi. Bahkan bisa dikatakan sebagian besar masyarakat tak menyadap karet lagi. Sebab harganya tak sebanding dengan kerjanya. Selain itu sekarang musim penghujan pula,’’ jelasnya.
Pemerintah Harus Berikan Jaminan
Semakin tertekannya harga karet yang ada di Riau saat ini, Ketua Forum Komunikasi Mahasiswa Tempatan Riau Kuansing Muhammad Kadri menjelaskan pemerintah harus membuat format khusus sehingga petani bisa hidup layak dari karet ini. Salah satunya harus ada program yang bisa melindungi para petani karet yang ada.
Salah satunya membuat program subsidi silang dan juga membuat badan usaha yang bisa menampung komuditi karet dari masyarakat. ‘’Sebenarnya pemerintah bisa menegaskan kepada BUMD untuk menerima karet-karet milik masyarakat. Jadi merekalah yang berhubungan dengan pabrik. Saya yakin dengan begitu harga karet bisa terjamin dan tidak rendah seperti sekarang ini,’’ jelasnya.
Diakuinya untuk sekarang ini sudah dibentuk kelompok-kelompok masyarakat yang berusaha berhubungan langsung dengan pabrik. ‘’Itu terbukti harga karet di kelompok-kelompok itu stabil harganya. Rata-rata mereka bisa menjual karet kisaran Rp6.000 dan jarang turun hingga Rp5.000,’’ jelasnya.
Pria yang bertungkus lumus untuk pengembangan pertanian di Gunung Toar terutama untuk juru irigasi padi di Gunung Toar tersebut berharap agar perkebunan karet di Kuansing jangan dinomor duakan. ‘’Melihat sejarah di Kuansing ini penghasilan utamanya sejak lama adalah berkebun karet. Kalau tak diperhatikan kita takut masyarakat pindah semuanya ke berkebun sawit. Ujungnya kita bisa kekeringan. Jika sawit semua terjadi mono komuditi sehingga mudah dipermainkan harga sawit. Akhirnya masyarakat tercekik juga,’’ tegasnya. ***