Kisah di Balik Tragedi Lampung Selatan

Feature | Selasa, 06 November 2012 - 07:53 WIB

BANYAK kisah pilu di balik tragedi Lampung Selatan. Dari suara mereka, negara, dalam hal ini aparat keamanan, seolah tidak hadir ketika warga negara membutuhkan jaminan keamanan. Bagaimana kisahnya?

INDRA BONAPARTE, Lampung Selatan

Baca Juga :Sampaikan Pesan Pemilu Damai ke Nelayan yang Sedang Melaut

Pintu masuk ke Desa Sidereno yang berbatasan dengan desa Sidorejo tampak seperti memasuki zona perang. Ratusan tentara dari TNI AD dan Marinir beserta pasukan Brimob Polri waspada dengan senjata lengkap. Selain itu , berbagai barikade, beberapa panser dan mobil lapis baja terparkir di halaman puing-puing rumah penduduk yang terbakar. Tercatat ada 3.450 petugas TNI/Polri yang masih berjaga-jaga saat lokasi penyerangan itu didatangi INDOPOS (Grup JPNN) pada Kamis (1/11) dan Jumat (2/11).

’’Saya orang Jember. Tapi kenapa rumah saya juga dibakar?’’ ujar Ny.Siti, 65, warga Desa Sidoreno. Ny Siti saat itu memandangi rumahnya yang sudah hangus. Ibu beranak 3 ini menuturkan, pada Senin siang (29/10) itu, puluhan ribu orang membawa berbagai senjata tajam dan bambu runcing berjalan kaki dari arah Desa Sagom yang berbatasan dengan Desa Sidorejo.

Geografis desa-desa yang dilanda konflik itu adalah, dari tepi Jalan Raya Lintas Sumatera paling pinggir adalah Desa Sagom. Dua gadis warga Desa Sagom itu diduga dilecehkan secara seksual oleh beberapa pemuda Desa Balinuraga.

Selanjutnya, lebih masuk lagi, sekitar 2 KM, setelah Desa Sagom adalah Desa Sidorejo. Makin jauh ke dalam, sekitar 2 KM setelah Desa Sidorejo adalah Desa Sidoreno. Di Desa Sidoreno penduduk asal Jawa bercampur dengan penduduk asal Bali dengan komposisi 50 persen: 50 persen. Di Desa Sidreno berdiam Ketua Parisada Hindu Dharma Indonesia wilayah Lampung Selatan I Made Sukindri yang rumahnya juga dibakar massa.

Setelah Desa Sidoreno, di posisi paling belakang atau terujung adalah Desa Balinuraga. Seratus persen dihuni penduduk asal Bali yang sudah menetap di sana sejak 1969 ketika program transmigrasi pertama dikonkretkan Presiden Soeharto. Ada sekitar 2.200 warga yang mendiami Desa Balinuraga itu. Terdiri atas tiga banjar, yakni Banjar Sidrahayu, Banjar Sari, dan Banjar Sukamulya. Sedangkan jalan selebar 3 meter yang menyusuri ke empat desa itu bernama Jalan Zainal Abidin Pagar Alam yang disahkan menjadi nama jalan itu sekitar setahun lalu.

Zainal Abidin pagar Alam adalah kakek dari Gubernur Lampung saat ini, Syahrudin ZP. Sebelumnya jalan yang membelah keempat desa itu bernama Jalan Raden Imba Kusuma, salah seorang anak pahlawan Lampung Raden Inten. Panglima Perang Raden Imba ini gugur di medan perang saat melawan Belanda di lokasi yang menjadi nama jalannya itu.  Seluruh desa yang disebutkan itu berada dalam wilayah Kecamatan Way Panji Kabupaten Lampung Selatan.

’’Rumah saya juga dibakar habis. Mereka bukan orang Lampung saja, ada yang berdialek Palembang, Banten, dan Batak. Mereka itu gabungan dari berbagai suku. Entah bagaimana caranya mereka semua bisa berkumpul serentak menyerang,’’ ungkap Ny.Yani, warga Desa Sidereno yang termanggu sedih di depan puing-puing rumahnya.   

Ketika INDOPOS menyusuri jalan semakin memasuki Desa Sidoreno dan Desa Balinuraga, kondisinya makin memprihatinkan. Khususnya di Desa Balinuraga. Hampir seratus persen rumah-rumahnya hangus dibakar. Hanya Pura dan tempat-tempat sembahyang di depan rumah penduduk yang aman. Anehnya, saat INDOPOS memasuki rumah demi rumah, perabotan mebel yang hangus masih berada di posisinya. Namun peralatan elektronik seperti televisi dan tape sebagian tidak terlihat bekas rongsokannya.   

’’Mereka bukan hanya membunuh dan membakar rumah kami. Mereka juga menjarah harta benda kami. Semua perhiasan yang saya pakai, gelang, anting-anting, kalung dijarah. Baru saya dipukuli habis-habisan. Uang hasil dagangan ibu saya Rp 10 juta dibawa semua. Anak saya yang baru berumur 14 tahun dibacok-bacok,’’ tutur Ny Made, 50, sedih saat ditemui INDOPOS di lokasi pengungsian, di Sekolah Polisi Negara, Temilin Bandar Lampung.

Ny.Made juga menumpahkan kejengkelannya kepada aparat Polri dan TNI yang tidak berani masuk ke Desa Balinuraga, namun hanya berdiam diri di pintu masuk Desa Sidoreno yang berbatasan dengan Desa Sidorejo. ’’Aparat itu bawa senjata semua. Tapi penakut. Enggak ada satu pun yang masuk ke Desa Balinuraga untuk menyelamatkan kami,’’ kata dia sembari meneteskan air mata.

Pukul 23.00, Senin, Ny Made dan warga lainnya keluar dari tempat sembunyi di tengah hutan karet lalu merayap enam kilometer dari Banjar Sukamulya ke pintu masuk Desa Sidoreno supaya bisa bertemu aparat. ’’Saya bersama ibu saya yang umurnya sudah 75 tahun, bersama tiga anak saya yang salah satunya luka parah dibacoki. Semuanya ada 25 orang. Kebanyakan kami ibu-ibu, nenek dan anak-anak kecil. Syukur kami panjatkan ke Sang Hyang Widi Yasa masih mengizinkan kami hidup,’’ kenang dia.

Ny.Made melanjutkan, bapak mertua sahabatnya, Budar, 75,dibunuh secara sadis oleh gerombolan penyerang. ”Waktu kami lari ke hutan, gerombolan penyerang berusaha mengejarnya. Pak Budar pun mencegat penyerang untuk hambat gerak pengajar. Pak Budar lantas dibacoki, dipotong-potong. Kami sempat mendengar jeritannya. Mereka semua seperti tidak bertuhan,” kenangnya dengan nada lirih.

Ny.Ketut, 65, bertutur dirinya juga berlari dan merayap di tengah kegelapan malam dari Banjar Sari juga menuju perbatasan Desa Sidoreno dan Desa Sidorejo. ”Saya dituntun anak saya si Made ini. Saya sudah tua, mata saya sudah nggak awas, jadi dituntun anak. Tapi mereka keterlaluan. Mereka merampasi uang dan telepon (handphone) anak-anak kami, dipukuli dan dibunuh. Yang hidup karena berhasil kabur ke tengah hutan lalu bergabung dengan kami ini. Jam 2 pagi (Selasa 30/10) kita semua nekat saja berlari merayap ke ujung Desa Sidorejo itu,’’ urai Ny.Ketut, 65. (*)









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook