Bujang Tan Domang tidak hanya dianggap tokoh mitologi masyarakat pesukuan Monti Raja, Petalangan. Tokoh dalam sastra lisan yang dikenal luas itu juga dianggap sebagai simbol perlawanan, meski tetap menjadi bahan perdebatan.
Laporan HARY B KORI’UN, Pekanbaru
ADA yang terasa istimewa pada diskusi buku Bujang Tan Domang Sastra Lisan Orang Petalangan di Aula Fakultas Keguruan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Islam Riau (UIR) Marpoyan Damai, Jumat (27/9) akhir pekan lalu. Dalam diskusi yang diselenggarakan Komunitas Paragraf bekerja sama dengan Dewan Kesenian Riau (DKR) dan FKIP UIR ini, sang penyusun, H Tenas Effendy, ternyata hadir hingga akhir acara. Padahal sebelumnya, ketika undangan diantar ke rumahnya di Pasir Putih, Pandau, Tenas tak bisa janji untuk hadir karena ada sedikit keluhan pada pinggang dan perutnya.
Dalam diskusi ini, sastrawan muda yang baru menyelesaikan S-2 di Fakultas Ilmu Budaya (FIB) UGM, Alvi Puspita, menjadi pembicara tunggal dengan judul makalah “Mitos tentang Petalangan dalam Bujang Tan Domang (Teori Mitos Roland Barthes)”. Penyair Maymoon Nasution sebagai moderator. Selain Tenas, hadir Pembantu Dekan II FKIP UIR, Dr Sudirnan Shomary MA; Ketua Jurusan Bahasa dan Sastra FKIP UIR, Roziah SPd MA; penbina Komunitas Paragraf, Marhalim Zaini; peneliti Balai Bahasa Riau, Dessy Wahyuni SS MPd; penulis buku anak-anak Agnes Bemoe, penyair metateater Suharyoto Sastro Suwignyo, beberapa perwakilan komunitas seperti FLP, Sikari, serta mahasiswa dan peminat sastra lainnya.
Kehadiran Ketua Majelis Kerapatan Adat Lembaga Adat Melayu (LAM) Riau ini membuat lebih 60 peserta yang hadir menjadi bersemangat. Sebabnya, Tenas dengan sabar menjawab hampir semua pertanyaan yang berhubungan langsung dengan Bujang Tan Domang, cerita rakyat masyarakat Petalangan (Pelalawan), yang disusunnya hampir 20 tahun menjadi buku tersebut. Meskipun tidak “resmi” menjadi pembicara, tetapi panitia memberikan waktu yang seluas-luasnya kepada Tenas untuk berinteraksi langsung dengan peserta diskusi. Selain itu, banyak peserta yang kebanyakan sastrawan muda dan mahasiswa yang selama ini tak pernah bertemu atau berkenalan langsung dengan Tenas Effendy, sehingga waktu benar-benar dimanfaatkan oleh peserta untuk diskusi langsung dengannya.
Ketika diminta memberi kata sambutan, Tenas menjelaskan, kearifan lokal membuat masyarakat lebih berbudaya. Menurutnya, Riau sangat kaya dengan sastra lisan, seperti Nyanyi Panjang, Kayat dll yang dimiliki masyarakat Petalangan, Talang Mamak, Bonai, Duanu, atau Sakai dan suku-suku lainnya.
“Banyak nilai dan falsafah dalam masyarakat yang terabaikan dan dipahami masyarakat dengan sepotong-sepotong yang membuat maknanya tak dimengerti dengan baik dan lengkap. Saya telah berupaya sedemikian rupa untuk mengumpulkan sastra lisan, salah satunya tentang Bujang Tan Domang ini. Generasi muda harus belajar dari kearifan lokal ini. Tanpa dilandasi pemahaman budaya, susah menghadapi kemajuan zaman dengan baik, bahkan bisa membuat jati diri kita hilang oleh itu. Budaya luar yang datang harus diayak dan ditapis, agar didapat yang terbaik, dan menjadi kekayaan kita, tanpa menghilangkan jati diri kita,” jelas Tenas.
Orang Melayu, kata Tenas, sering disebut perajuk, padahal itu manifestasi harga diri. Sayangnya, ungkapan “Melayu perajuk” sudah menjadi pameo dan olok-olokan dalam masyarakat, padahal antara perajuk dan mempertahankan harga diri, itu jauh berbeda maknanya. Harus dibedakan antara perajuk dan membawa diri. Dalam syair lagu “Langcang Kuning” misalnya, kata Tenas, ada kata-kata “kalau nahkoda tak paham, alamat kapal nak tenggelam”, adalah falsafah yang dalam dan arif, bahwa memahami sesuatu itu penting dalam pekerjaan apapun. “Dalam Bujang Tan Domang, salah satunya, nilai dan tunjuk ajar itu ada dan menjadi roh dalam masyarakat Pelangan, dan Melayu pada umumnya.”
Tenas menambahkan, penelitian dan penerbitan buku Bujang Tan Domang Sastra Lisan Orang Petalangan adalah salah satu cara untuk membela masyarakat karena tahun 1960, wilayah Petalangan masuk dalam Hak Pengusahaan Hutan (HPH) yang diberikan kepada swasta. Pemerintah mengatakan tidak ada hutan ulayat dalam masyarakat Melayu Riau. Padahal puak-puak yang ada di Riau memiliki hutan tanah ulayat. Tanah ulayat adalah simbol dari nilai-nilai budaya: kayu-kayu yang ada di hutan itu adalah nilai-nilai. Kayu lurus, bengkok dan sebagainya, memiliki nilai-nilai yang sangat dipahami oleh masyarakat, termasuk ikan yang ada di sungai.
“Ungkapan ‘kalau makan jangan menghabiskan, kalau minum jangan mengeringkan’, misalnya, adalah kearifan masyarakat agar tidak rakus. Kerakusan akan menghabiskan nilai-nilai masyarakat yang ada dalam puak tersebut. Hutan-tanah bukan hanya sumber ekonomi, tetapi juga sumber marwah dan sumber nilai-nilai masyarakat. Jika dia dibabat semabarangan dan dihancurkan, juga ikut membabat nilai-nilai masyarakat di dalamnya. Ini tertanam lama dalam masyarakat Petalangan melalui Nyanyi Panjang Tombo Bujang Tan Domang,” ungkap Tenas saat menjawab pertanyaan beberapa peserta dalam sesi diskusi.
***
Dalam pemaparannya, Alvi menjelaskan, Tombo Bujang Tan Domang berusaha mengingatkan kesadaran akan diri masyarakat dan etnisnya, sebagai sebuah kewajaran, termasuk bagaimana memberontak ketika negara mengambil alih kekuasaan masyarakat, tanah ulayat, dan apa-apa yang dimiliki masyarakat tradisional. Di sinilah mitos Bujang Tan Domang sengaja dimunculkan sebagai simbol perlawanan (resistensi) politis.
Alvi juga menemukan “suara lain” dalam teks Bujang Tan Domang, yakni Janda Kasihan, tokoh masyarakat bawah (kebanyakan) yang berani menyuarakan keadilan kaumnya, dan “terlihat” lebih heroik ketimbang Bujang Tan Domang sendiri yang merupakan seorang wira.
Ketua Jurusan Bahasa dan Sastra FKIP UIR, Roziah, juga sependapat dengan hal itu. “Saya melihat, justru karakter kuat ada dalam diri Ando Kasian alias Janda Kasihan. Mengapa bukan Janda Kasihan yang diangkat sebagai tokoh utama dalam Bujang Tan Domang?”
Menurut Alvi, penyusunlah yang memahami mengapa pilihan “karakter utama” bukan Janda Kasihan tetapi Bujang Tan Domang. Namun dari awal penyusunan, terlihat banyak distorsi karena nampaknya memang sudah mengarahkan bahwa tokoh wira Bujang Tan Domang-lah yang diunggulkan sebagai karakter utama, juga menjadi judul buku. Dalam kisah itu, juga bertebaran tokoh-tokoh lain seperti Nek Lombut, Tuk Lemah, juga Bujang Kocik dan ibunya. Karakter Janda Kasihan menjadi menyimpang dari tokoh-tokoh tersebut. Dia seorang janda miskin namun memiliki sikap pemberontak dan memiliki nilai tawar. Ia tidak mau menghamba pada raja dengan membungkuk-bungkukkan badannya, atau gemetaran ketika berjumpa dengan raja. Dia juga tidak mau begitu saja menyerahkan apa yang ia miliki kepada raja, apalagi jika sang raja tidak memiliki sopan-santun dan tak menghargai adat yang berlaku.
“Sebenarnya, ini karakter yang paling kuat dalam kisah ini, dan jika ia dikembangkan sedemikian rupa, bisa jadi malah akan menggilas kepahlawanan Bujang Tan Domang. Janda Kasihan adalah gambaran individu yang meskipun miskin, tetapi tetap mempertahankan harga dirinya.”
Karakter Janda Kasihan, sebut Alvi, mewakili watak dari masyarakat tertindas, yang memahami adat-istiadat masyarakatnya, bermental kuat dan tak takut pada apapun sejauh ia benar. Dia tumbuh dari kemiskinan dan kepapaan, berumah gubuk di ujung kampung, tetapi tetap merasa tak inferior di depan seorang raja sekalipun.
Karakter ini berbeda dengan Bujang Tan Domang sendiri. Dia keturunan bangsawan dengan segala kekayaan, kehormatan, ditunjang sarana yang memungkinkan dirinya berkembang dengan baik. Ia mendapat pendidikan yang memadai, memiliki guru dewa dari khayangan, yang membuat dirinya tumbuh menjadi wira yang memiliki kekuataan dan lebih bijaksana dibanding yang lain. “Kalau dua karakter ini dibenturkan sedemikian rupa dalam konflik yang baik, saya rasa kisah Bujang Tan Domang ini akan lebih menarik,” jelas Alvi.
Mengenai hal itu, Tenas mengatakan, munculnya karakter Janda Kasihan dengan segala resistensi dan keradikalan pemikiran maupun tindak-tanduknya, bisa menjadi cermin tentang demokrasi yang sudah berkembang dalam masyarakat tradisional di Riau. Ungkapan “raja alim raja disembah, raja zalim raja disanggah” terlihat jelas dalam Bujang Tan Domang. Di situ terlihat bahwa dalam masyarakat Melayu secara umum, betapapun hebatnya seorang raja, kritik masyarakat bawah tetap ada. Raja bukan tidak bisa dikritik, tetapi ada cara menyampaikan kritik, ada adatnya.
“Hal-hal seperti ini yang seharusnya dipelajari oleh masyarakat modern,” jelas Tenas.
***
Di bagian lain, Alvi mengaitkan mitos Bujang Tan Domang dengan kondisi politik tanah Riau pasca-Reformasi Mei 1998. Masyarakat Petalangan dalam Bujang Tan Domang, direpresentasikan sebagai masyarakat Riau yang sedang menghadapi perubahan iklim politik nasional, dan mencoba ingin menentukan sendiri nasib daerahnya dengan ide Riau Merdeka (1999). Ini dilihatnya dari bagian pendahuluan buku itu yang ditekankan Tenas pada kondisi masyarakat Petalangan yang porak-poranda secara struktural setelah pemerintah Orde Baru mengeluarkan peraturan pengelolaan alam (hutan).
Menurut Alvi, buku Bujang Tan Domang Sastra Lisan Orang Petalangan sudah mulai dipersiapkan tahun 1960-an dan diterbitkan pertama kali tahun 1997 oleh Yayasan Bentang Budaya bekerja sama dengan Ford Foundation dan The Toyota Foundation, disunting Al azhar dan Henri Chambert-Loir. Cetakan kedua diterbitkan Ecole Francaise d’Extreme-Orient dan Yayasan Obor Indonesia pada Desember 2008.
Buku ini terdiri dari tiga bagian utama. Bagian pertama adalah prakata dari Henri Chambert-Loir yang ia sertai dengan ringkasan cerita Bujang Tan Domang. Bagian kedua merupakan pendahuluan oleh Tenas Effendy yang berisikan sedikit pemaparan tentang metode yang ia gunakan serta sedikit penjabaran tentang Petalangan, Nyanyi Panjang, dan kandungannya. Bagian ketiga cerita Bujang Tan Domang yang terdiri dari teks dalam bahasa Petalangan dan teks terjemahan Indonesia. Sedangkan bagian buku berikutnya adalah daftar kata Petalangan dan ringkasan.
Entah kebetulan atau tidak, setahun setelah buku ini diterbitkan pertama kali, pada 1998 terjadi perubahan penting dalam pemerintahan Indonesia dengan tumbangnya rezim Orde Baru dengan Soeharto sebagai presiden yang berkuasa lebih-kurang 32 tahun. Setahun setelah itu, 1999, di Riau muncul gerakan Riau Merdeka yang digagas oleh tokoh-tokoh Riau. Menurut Alvi, ada korelasi yang terjadi antara kisah Bujang Tan Domang dengan Riau Merdeka. Bujang Tan Domang menyegarkan ingatan kita bahwa di tanah Riau ini pernah ada kisah tentang kejayaan di masa silam, meski itu berupa mitos, dan itu seakan menjadi inspirasi para tokoh masyarakat di tahun 1999 yang menyuarakan Riau Merdeka (meski banyak diyakini orang gerakan itu setengah hati, berbeda jauh dengan Gerakan Aceh Merdeka [GAM] yang mengangkat senjata bertahun-tahun melawan pemerintah Orde Baru).
“Jika Riau Merdeka bergerak di jalur politik, Bujang Tan Domang di jalur budaya. Jika Riau Merdeka berangkat dari imperium Melaka, maka Bujang Tan Domang bertolak dari masyarakat suku Petalangan. Namun keduanya bermuara pada semangat yang sama, yakni semangat Riau,” jelas Alvi.
Mengutip pernyataan salah seorang peneliti sastra lisan Indonesia yang kini tinggal dan mengajar di Leiden (Belanda), Suryadi, Alvi menjelaskan, munculnya gerakan Riau Merdeka lebih disebabkan oleh persoalan ekonomi, terutama pembagian rezeki yang sangat tak adil antara pemerintah pusat dan Riau. Gerakan itu adalah respon isu-isu lokal, misalnya ekploitasi sumber daya alam, isu kerawanan pangan di Riau, bagi hasil minyak bumi, kondisi masyarakat Riau yang sebagian besar masih miskin, dan sebagainya. Hal ini dihubungkan dengan pada bagian pendahuluan catatan Tenas Effendy dalam buku tersebut yang menyiratkan hal yang sama, yakni persoalan tanah ulayat yang tak diakui pemerintah. Isu ini tentu bermotif ekonomi karena menyangkut kepemilikan tanah dan kesejahteraan hidup masyarakat Petalangan.
Alvi kemudian sampai pada sebuah kesimpulan, bahwa buku Bujang Tan Domang Sastra Lisan Orang Petalangan adalah buku yang politis dan ideologis, yang salah satunya juga membangun mitos bahwa Petalangan adalah representasi dari Riau. Pengangkatan “nasionalisme Riau” dan nilai-nilai Melayu yang dianggap sebagai dua idelogi besar dalam buku tersebut, tetap bermuara pada kepentingan ekonomi. Intinya, kata Alvi, penjunjungan nilai-nilai Melayu selain sebagai usaha penguatan jati diri dalam era global, juga sebuah strategi yang menjadikan budaya sebagai alat untuk memperoleh bantuan yang bersifat ekonomi.
Namun, analisa Alvi bahwa pemitosan Bujang Tan Domang berhubungan dengan gerakan Riau Merdeka, dipertanyakan oleh dua sastrawan, Marhalim Zaini dan Suharyoto Sastro Suwignyo. “Menurut Roland Barthes, semuanya dicurigai sebagai mitos. Di banyak masyarakat, mitos dijadikan sebagai alat perlawanan atau resistensi. Tetapi, apakah benar ada korelasi antara mitos Bujang Tan Domang dengan Gerakan Riau Merdeka? Saya tidak yakin, dan itu bisa diteliti lebih dalam lagi,” jelas pengajar di STSR dan FKIP UIR ini.
Hal yang sama juga katakan oleh Suharyoto. Menurutnya, dia mengikuti proses dari pencarian ide sampai deklarasi Riau Merdeka, dan tak ada di sana disangkut-pautkan dengan persoalan kebudayaan, seperti kearifan lokal Bujang Tan Domang. Riau Merdeka murni bermotif politik dan ekonomi,” jelas penyair metateater ini.
Di bagian lain, Pembantu Dekan II FKIP UIR, Dr Sudirman Shomary, menggarisbawahi bahwa pada intinya, Bujang Tan Domang adalah sebuah cermin dari masyarakat kita yang dulu sangat taat adat dan kearifan lokal masyarakatnya.
“Dulu aturan adat sangat ketat, tata kramanya juga kuat. Misalnya, tempat pemandian umum laki-laki dan perempuan dipisah. Jika ada laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim terlihat berdua-duaan, dianggap melanggar adat masyarakat Petalangan. Dan itu dipatuhi oleh semua masyarakat. Sekarang, kondisi ini berubah dalam masyarakat kita. Tatanan adat diterobos dan dilonggarkan, sehingga masyarakat kita kehilangan kearifan dari kebudayaannya sendiri...”
Ketika hari mulai senja dan diskusi akan ditutup, Tenas Effendy mengatakan sangat berterima kasih masih ada anak-anak muda yang ingat dengan buku yang disusunnya.
“Semoga generasi muda Riau hari ini dan ke depan, terus sadar akan kearifan lokal masyarakatnya. Itu kekayaan yang tak terkira,” katanya.***