Duplikat tongkang itu dibakar, Kamis (5/7) petang. Abu berterbangan dari tumpukan ribuan kertas kim cua yang hangus dimakan api. Tiang tongkang pun rubuh ke arah darat, dan sejarah kembali dimaknai.
Laporan FADLI MUALIM, Bagansiapi-api
DI titik areal ritual Bakar Tongkang, di satu sisi Jalan Perniagaan Bagansiapiapi, adalah napak tilas di mana warga suku Tionghoa merenungi lagi pesan leluhur, menahbiskan diri bahwa mereka ingin bersebati menjalani hidup, mengecapi suka duka dan bahkan menghembuskan napas terakhir di tanah baru. Tanah pengharapan yang sekarang dikenal dengan nama Bagansiapi-api.
Tan Kuan Tiaw (84), tokoh tertua warga Tionghoa di Bagansiapi-api menegaskan hal itu. ‘’Tidak mau kembalilah, tinggal di sini sudah bagus,’’ katanya sambil tersenyum.
Tan adalah satu dari beberapa tokoh sepuh yang masih ada dan ia merupakan generasi yang ikut dalam beberapa gelombang kedatangan dari Cina. Ia mengaku tidak akan meninggalkan Bagansiapi-api lagi. Mengenakan kemeja putih, celana hitam, Tan dengan ramah menerima Riau Pos dan memberikan penjelasan.
Tan lahir pada Desember 1929, ketika masih kecil dirinya bersama sejumlah orang datang ke Bagansiapiapi mengunakan Tongkang dari Cina. ‘’Saya dari Provinsi Hai Lo, tahun berangkat dan sampai ke Singapura, dari sana baru berlayar terus mencari dan menemukan tempat ini,’’ paparnya mengisahkan.
Gelombang kedatangan orang Tionghoa menurutnya terus terjadi sejak dan sebelum kedatangannya, bahkan sebagian di antaranya ada yang tidak sampai ke Bagansiapiapi karena terdampar di tempat lain atau malah raib ditelan ombak. ‘’Perahunya saat itu tidak ada mesin, ya hanya tongkang. Berlayar saja,’’ imbuhnya lagi.
Ketika Tan menjejakkan kaki, ia memperkirakan waktu itu Bagansiapiapi sudah dihuni sekitar 8.000 jiwa yang mayoritas di antaranya adalah orang Tionghoa. Ia mengenang, untuk ukuran sebuah daerah yang baru, Bagansiapiapi telah berkembang dengan pesat, jalanan beberapa di antaranya sudah dibuatkan dari batu-batu yang disusun sedemikian rupa.
Ia mengaku takjub, ketika menjejakkan kaki pertama terutama melihat bagaimana Belanda mengoptimalkan potensi yang ada dengan membangun sejumlah instansi berupa kantor kewedanaan, bea cukai dan pelabuhan. Dalam perkembangannya, Bagansiapiapi menjadi magnet bagi warga lainnya terutama warga Melayu. Lantas terjadi hubungan bersifat ekonomi di antara kedua bangsa yang berbeda itu. ‘’Melayu tangkap ikan, dijual ke orang Tionghoa untuk jual ke Singapura dan ditukarkan dengan beras, garam, kopi dan lain-lain,’’ kata Tan.
Tan mengaku sudah tidak ingat lagi kapan ditemukan dataran Bagansiapiapi oleh perantauan pertama dari Cina. Sebagaimana ia tidak ingat lagi tanggal kelahirannya. ‘’Banyak yang bilang pada 1820-an,’’ ujarnya. Namun ia mampu menceritakan dengan baik bagimana kisah kedatangan yang melegenda itu.
‘’Ada 18 orang yang di dalam tongkang, satu di antaranya perempuan yang aslinya berasal dari Cina. Kalau tidak salah, ada sekitar 6 tongkang yang berlayar, namun hanya satu yang berhasil sampai di tepi. Mereka yakini bahwa keselamatan itu terjadi karena adanya patung Dewa Ki Hu Ong Ya yang mereka bawa, perjalanan tongkang pun dibimbing oleh sederetan kunang-kunang,’’ kata Tan. Kelak, kunang-kunang yang bercahaya itu menjadi latar belakang munculnya nama Api-api.
Menurut catatan sejarah, ke-18 orang tersebut yakni Ang Nie Kie, Ang Nie Hiok, Ang Se Guan, Ang Se Pun, Ang Se Teng, Ang Se Shia, Ang Se Puan, Ang Se Tiau, Ang Se Po, Ang Se Tjai, Ang Se Tujau, Ang Un Guan, Ang Cie Tjua, Ang Bung Ping, Ang Un Siong, Ang Sie In, Ang Se Jian, dan Ang Tjie Tui. Mereka selanjutnya mendirikan pemukiman dan kerap membuat bagan-bagan tempat meletakkan ikan, dan melekatkan nama tempat tersebut menjadi Bagansiapi-api. Sebagai wujud syukur, 18 orang tersisa tersebut mendirikan klenteng Ing Hok Kiong, pada 1826 dan masih kokoh berdiri jadi saksi sejarah, sebagai klenteng tertua se-Rohil.
Bagi Tan, mencermati kembali peristiwa pembakaran tongkang itu adalah titik balik yang menegaskan tidak ada lagi jalan pulang ke tanah leluhur, tidak ada lagi istilah negeri kedua selain di tempat yang sekarang. Saat ini, Tan tetap bugar meski dalam usia yang senja dan telah ditinggal oleh sang isteri tercintanya. ‘’Saya bahagia, cucu sudah lewat 100,’’ katanya terkekeh. Anak-anaknya sudah tersebar di mana-mana dan menikah dengan berbagai etnis dan suku yang berbeda.
Tidak hanya menonjol dalam bidang ekonomi, orang Tionghoa secara sosial mampu berasimilasi dengan baik. Hal ini tercermin dari eratnya hubungan antara Melayu dan Tionghoa dan pendapat ini diamini oleh Kau Lue (62), tokoh Tionghoa lainnya. ‘’Dalam pandangan kami Melayu dan Tionghoa selalu bisa bersama-sama, dari dulu sudah dianggap sebagai sahabat,’’ ulasnya.
Peristiwa Bakar Tongkang itu belakangan dijadikan sebagai momentum mensyukuri berkah dari sang pencipta, Thian. Saban tahun diadakan ritual bakar tongkang sebagai tanda pengingat. Duplikat tongkang terbuat dari kayu dan dilapisi dengan kertas beraneka warga, hampir di setiap jengkal kertas tersebut terdapat gambar berupa aneka hewan, melambangkan Shio. Sosok harimau dan naga, merupakan yang terbesar dilukis.
Di sisi kiri kanan tongkang dibuatkan orang-orangan kecil, sementara di tengahnya dipersiapkan tempat untuk menancapkan tiang yang setelah ritual pembakaran akan dijadikan penerawangan dalam hal mencari peruntungan, apakah di darat atau di laut.
Pemerintah Daerah Rohil telah menjadikan ritual Bakar Tongkang sebagai iven budaya yang luar biasa. Salah satu buktinya, pada malam Selasa (3/7) dan Rabu (4/7) diadakan malam penampilan artis baik dari Jakarta maupun dari luar negeri seperti dari Taiwan dan Singapura.
Warga suku Tionghoa dimanjakan dengan menyaksikan konser dan memenuhi jalanan sepanjang lebih dari 400 meter dari depan Klenteng Ing Hok Kiong. Mereka duduk di kursi merah yang telah disediakan menghadap ke pentas. Lalu lalang terus terjadi tanpa henti, kota benar-benar hidup dalam tiga hari terakhir. Layar seukuran 4x4 meter turut terpampang di sisi kiri kanan jalan. Sementara balon raksasa melayang di atas salah satu rumah penduduk. Pesta bertambah meriah, dengan kehadiran sejumlah pejabat termasuk Bupati Rohil Annas Maamun, Kapolres AKBP Auliansyah Lubis SIk dan pejabat dan undangan lainnya. Pedagang turut meraup untung dari iven tersebut.
A To (58) sengaja datang dari Jakarta untuk menjual kertas sembayang. Dia berharap mampu meraup untung besar dalam sekejap. ‘’Ini satu bungkusnya Rp2 ribu, biasanya kita bawa beberapa goni cepat habis,’’ ujarnya.
Ditemani anak isterinya dia menatap untung menjual berbagai barang termasuk lilin, Hio, Roti, kue-kue dan perlengkapan ritual lainnya di Jalan Aman yang bersebelahan dengan Klenteng Ing Hok Kiong, malam itu.
Di tengah konser dan ritual jampa-jampi tongkang yang dilangsungkan di klenteng, aroma hio raksasa terus terhidu. Di sekitar lokasi itu, bazar yang menjual aneka produk juga terus menggeliat. Orang ramai lalu lalang, seolah tidak ada malam.
Iven Bakar Tongkang juga menyedot antusiasme dari luar, Sia Ahun (57) pengurus Vihara Gunung Timur Jalan Hang Tuah, sengaja datang dari Medan untuk menyaksikan lebih dekat ritual tersebut. Didampingi temannya, Leni (55), ia mengaku rela terjebak macet untuk sampai ke Kota Bagansiapiapi. ‘’Kami datang dengan rombongan sebanyak 77 orang, perjalanannya menghabiskan waktu 12 jam karena ada macet mau masuk ke Bagan Batu, tapi tidak apa saya senang,’’ katanya.
Ia mengaku bangga dan salut dengan perhatian dari Pemerintah Rohil untuk pelestarian iven budaya itu. ‘’Kita acungi jempollah, kalau di Medan tidak bisa seperti ini. Palingan kalau acara bikin sendiri-sendiri, di Surabaya kalau tidak salah ada juga mau bikin acara besar, tapi tidak jadi karena ongkos izinnya mahal,’’ kata Sia Ahun sambil tersenyum. Apa yang difasilitasi pemerintah adalah langkah bagus, di satu sisi komunitas Tionghoa pun ia menilai sangat kompak. ‘’Ini luar biasa, saya baru sekali ini melihat Bakar Tongkang dan hebat. Orang ramai, tertib,’’ ungkapnya.
Kamis (5/7) siang menjelang arak-arakan tongkang, secara umum arus lalu lintas cukup tertib, di setiap persimpangan petugas polisi dan Satpol PP serta Dishub bersama-sama mengendalikan arus. Pukul 15.00 WIB, duplikat tongkang mulai di arak dari Klenteng Ing Hok Kiong, melalui jalan sampai ke lokasi ritual pembakaran sekitar 2 kilometer lebih. Di sepanjang jalan itu para warga suku Tionghoa mengular, memadati sambil mengacungkan Hio ke atas. Tongkang diarak dengan iringan dentuman petasan, gendang dan tabuhan lonceng serta diiringi dengan atraksi loya, kesenian tahan tubuh dari tikaman, tusukan benda tajam.
Terpisah, rombongan Bupati Rohil H Annas Maamun, Ketua DPRD Rohil, Kapolda Riau, Dirjen Perikanan, Danrew 031 Wira Bima, anggota Komisi IV DPR RI, Kapolres, Kajari, Ka PA Ujung Tanjung, TNI AL, Kajari Dumai, dan sejumlah tokoh masyarakat Tionghoa dalam dan luar negeri sudah menunggu di podium depan lokasi ritual terlebih dahulu.
Bupati Annas Maamun dalam sambutannya menyampaikan syukur dan gembira kembali terlaksananya kegiatan tersebut tanpa ada halangan berarti. ‘’Kami ucapkan selamat datang kepada seluruh pihak, baik dari dalam maupun luar negeri,’’ ujar dia.
Bupati menyinggung makna penting ritual bakar Tongkang tidak hanya bersifat budaya ke dalam saja tapi terbukti mampu mengerakkan roda perekonomian dalam waktu yang relatif singkat. Annas menegaskan akan tetap menjadikan iven tersebut sebagai agenda tetap dan mendapat perhatian dari Pemkab Rohil yang dibuktikan dengan keterlibatan, kehadiran dirinya.
Menurut Ketua Panitia, Hasanto, tongkang yang dibakar ukuran panjang 8 meter dan lebar dua meter. Apa yang direncanakan oleh panitia, berjalan dengan baik. Setelah tongkang diletakkan di tengah lokasi ritual pembakaran, diiringi dengan acungan Hio dan doa-doa dari puluhan ribu warga suku Tionghoa dan di tengah asap ribuan hio yang tak pelak menyesakkan napas, Bupati Rohil dan rombongan menaiki tongkang untuk melakukan pembakaran tongkang secara simbolis. Dalam beberapa saat duplikat tongkang itupun dilalap si jago merah. Setelah itu bupati dan rombongan pun bergegas turun dari tongkang yang mulai terbakar.
Meski fisik tongkang sudah hampir habis di makan api, dan kertas sembayang Kim Cua yang berwarna kuning emas berubah jadi abu, namun warga masih enggan berganjak. ‘’Puncak dari pembakaran tongkang adalah melihat arah jatuh tiang,’’ imbuh Hasanto.
Setelah tiang pancang di lambung tongkang itu rubuh ke arah darat (timur) dan kerumunan massa mulai membubarkan diri, di hadapan wartawan Annas Mammun masih sempat menjanjikan untuk tetap melestarikan iven Bakar Tongkang sebagai salah satu asset dan kebanggaan bagi daerah.(ila)