10 TAHUN NAIK 1,4 DERAJAT

Riau Makin Panas

Feature | Minggu, 05 Agustus 2012 - 08:44 WIB

Riau Makin Panas
Dua pekerja melintas di pinggir Jalan HR Soebrantas Pekanbaru menggunakan payung untuk menghindari panas terik. (Foto: Teguh prihatna/riau pos)

Pernah membayangkan berjalan kaki di bawah teriknya panas matahari di siang hari. Dulu, hal tersebut mungkin biasa kita lakukan. Kini, mungkin tak semua kita sanggup melakukannya. Suhu bumi yang semakin panas membakar itu penyebabnya.

Laporan BUDDY SYAFWAN, Pekanbaru

Baca Juga :Sampaikan Pesan Pemilu Damai ke Nelayan yang Sedang Melaut

Sejumlah pejalan kaki di sepanjang Jalan HR Soebrantas menyerngitkan keningnya saat melintas di ruas jalan yang panjangnya berkisar 15 kilometer  tersebut. Tak ada tempat berlindung dari teriknya sinar matahari. Beberapa diantaranya, kaum ibu menggunakan payung sebagai penahan panas yang terik membakar kulit.

Kondisi ini mungkin sedikit berbeda dengan 5-10 tahun lalu, dimana kawasan ini dipenuhi dengan pepohonan yang menjadi atap pelindung bagi warga. Kanan kiri jalan dipenuhi pohon besar yang berjejer, sehingga mampu mengurangi efek panas cuaca Kota Pekanbaru.  Kini, pohon-pohon tersebut sudah berubah menjadi lantai beton atau paving blok. Tak ada lagi tempat berlindung.

Itu sekelumit cerita  nyata dari perubahan iklim yang terjadi di Riau. Perkembangan kota yang demikian pesat menyebabkan banyak hal yang bergeser dari kondisi sebelumnya. Kawasan yang sebelumnya menjadi menjadi kawasan resapan dan  tangkapan air, kawasan hijau,  kini sudah disulap menjadi gedung-gedung tinggi dan kawasan pemukiman.

Begitupun pertambahan jumlah penduduk menjadikan keperluan akan lahan, pemanfaatan peralatan rumah tangga penghasil emisi pun semakin tak terhindari. Sedikit-demi sedikit, semua itu terkumpul menjadi  salah satu penyumbang terus ‘’membaranya” temperatur kota.

Belum lagi bila dikaitkan dengan semakin tergerusnya kawasan hutan akibat konversi dan okupasi bukan saja di Kota Pekanbaru, namun hingga ke kabupaten dan kota, kebakaran lahan gambut yang luasnya diperkirakan mencapai ratusan ribu hektare yang selama ini dikenal sebagai penyangga emisi.

Data Stasiun Meteorologi  Pekanbaru mencatat, seluruh perubahan kondisi tersebut mau tak mau menyebabkan terjadinya peningkatan suhu yang signifikan. Setidaknya, dalam sepuluh tahun terakhir, terjadi kenaikan temperatur udara mencapai 1,4 derajat celcius.

Tahun 1980, masih berdasarkan data lembaga pemantau kondisi cuaca tersebut, suhu rata-rata Kota Pekanbaru hanya berkisar 25,5 derajat celcius per hari. Hingga tahun 2010, angkanya melonjak hingga mencapai 28 derajat  celcius rata-rata per hari.

Secara global Riau, pada periode 1980, suhu udara maksimum di Provinsi Riau hanya berkisar 31 derajat.  Pada 2010, temperatur maksimum Riau berkisar 35 derajat celcius.  Hingga periode 2011, setidaknya Riau pernah menghadapi kondisi ekstrem perubahan temperatur bumi yang mencapai 36 derajat celcius.

‘’Memang, tidak semuanya dikarenakan faktor regional perubahan kondisi lingkungan di wilayah Riau—karena ada faktor perubahan iklim secara global—namun, perubahan yang demikian cepat terhadap kondisi lingkungan tersebut memberi andil terhadap perubahan cuaca di wilayah ini, ‘’ sebut Marzuki, praktisi  pemantauan perubahan iklim yang juga Kepala Seksi Observasi dan Informasi Stasiun Meteorologi  Pekanbaru saat ditemui beberapa waktu lalu.

Sepanjang tiga tahun terakhir, lembaga yang sebelumnya bernama Badan Klimatologi Meteorologi dan Geofisika (BKMG) ini mencatat, suhu maksimum rata-rata Riau berkisar 33-35 derajat celcius. Namun, diakui dia, kecenderungan temperature melebihi angka tersebut terus terjadi. Namun, sejauh ini tidak mutlak menyebabkan Stasiun Meteorologi mengeluarkan status perubahan ekstrem terhadap temperatur.

Cuaca ekstrem, dijelaskan Marzuki baru ditetapkan bila secara umum, terjadi kenaikan temperatur diatas 3 derajat celcius dibandingan temperatur rata-rata. ‘’Kalau kita di sini, 33-35 itu adalah temperatur rata-rata. Jadi kalau sudah diatas 35 derajat celcius, apalagi sampai 36 derajat seperti beberapa waktu lalu, itu sudah masuk dalam kategori ekstrem,” papar Marzuki.    

Apa yang menyebabkan terjadinya cuaca ekstrem, menurut Marzuki itu sangat tergantung dari kondisi iklim global. Ketika badai Elnino beberapa waktu lalu, temparatur udara sempat meninggi. Adapun faktor lokal, biasanya cenderung pada pola hidup masyarakat saja.

‘’Seperti semakin sedikitnya kawasan hutan, semakin tingginya penggunaan peralatan rumah tangga seperti AC, kulkas, kesalahan dalam penataan kawasan, imbas pasca kebakaran lahan,”termasuk sebagai penyumbang dalam situasi seperti itu,” jelas dia.

Marzuki sendiri enggan untuk  masuk dalam wilayah pembahasan yang terlalu jauh terkait  penyebab perubahan temperatur udara di Riau, karena tentunya ini terkait kebijakan dari banyak pihak. Namun, tidak dapat dinafikan situasi lingkungan dalam skala lokal ikut memberi kontribusi terhadap kondisi ini.  Begitupun bila dikaitkan dengan upaya mengantisipasi terus naiknya temperatur bumi. ‘’Kita tak bisa menghalangi terjadinya perubahan temperatur bumi, namun kita hanya bisa memperlambat ekses negatif dari perubahan tersebut dengan cara hidup yang kita lakukan. Seperti menanam pohon, mengurangi kerusakan hutan, mencegah kebakaran lahan itu positif untuk mengurangi pengaruh apa yang saat ini dikenal dengan istilah global warming itu,” imbuh Marzuki.

Setidaknya hal tersebut juga sudah ditegaskan oleh pemerintah RI bersama Negara-negara maju dan berkembang lainnya untuk mengurangi emisi karbon sebesar 26 persen. Itu adalah salah satu upaya masyarakat global untuk mencegah terus meningginya temperatur bumi.

Menggambarkan seberapa besar pengaruh perubahan temperatur udara di sekitar kita, bukan hal yang sulit.  Contohkan saja antara rumah atau kawasan pemukiman yang disekitarnya dipenuhi pepohonan hijau. Akan terasa bukan saja lingkungannya yang asri, namun juga udaranya yang relatif lebih bersih dan sejuk. Akan berbeda dengan lingkungan atau pemukiman yang di sekitarnya nyaris tidak ada tumbuhan, akan terasa panas dan gersang. Temperatur udara di kawasan seperti ini juga akan relatif lebih panas.

Begitu juga halnya dengan pengaruh semakin berkurangnya jumlah kawasan hutan yang menyebabkan semakin banyaknya pelepasan karbon ke udara. Semakin banyak hutan yang mengalami kerusakan dan terdegradasi untuk banyak kepentingan, akan semakin luas pula dampak yang akan dihadapi oleh manusia ke depan. Hal tersebutlah yang oleh Kepala Pusat penelitian Lingkungan Hidup Universitas Riau yang juga pakar fisika atmosfer, Dr Mubarrak  harusnya menjadi perhatian bersama untuk disikapi secara arif.

‘’Saya tak ingin masuk dalam perseteruan kebijakan pemerintah yang mungkin dianggap tidak sesaui dengan keharusan atau bertentangan dengan fungsi kawasan. Namun, saat ini, semua pihak harus arif. Alam diciptakan dengan keseimbangan oleh Allah SWT. Idealnya, manusia dengan pemikirannya bisa mencermati ini dengan membuat regulasi yang mendukung pada keseimbangan ekosistem,” sebut Mubarrak.

 Tak mutlak salah, bila saat ini dengan pertumbuhan kota, ruang terbuka semakin terbatas. Kawasan pemukiman semakin padat. Namun, disinilah peran dari kebijakan harus mampu menjadi payung terhadap berbagai penyelesaian persoalan yang ada, termasuk persoalan lingkungan.

Seperti daerah tangkapan air, idealnya tidak lagi dijadikan sebagai objek eksploitasi secara ekonomi karena  terindikasi  bisa menyebabkan banjir. Faktanya, ketika kawasan-kawasan seperti itu dibangun, banjir menjadi ancaman serius bagi daerah-daerah di sekitarnya.

Begitupun dengan pemanfaatan kawasan hutan. Pasca otonomi daerah dan pemekaran kabupaten dan kota, pembukaan kawasan hutan baik untuk pemukiman maupun pendukung perekonomian warga menjadi hal yang paling dominan. Apakah lantas dengan situasi tersebut hutan tak boleh dimanfaatkan? Mubarrak sendiri cenderung tidak sependapat dengan kebijakan tersebut. Namun, bukan berarti pengambil kebijakan atau masyarakat juga bisa sesuka hati dalam menentukan pembukaan kawasan hutan untuk keperluan tersebut.

Setiap kawasan punya fungsi. Seperti  halnya  lahan gambut yang wilayahnya diperkirakan mencapai 50 persen wilayah Riau. Sebagai kawasan yang menjadi pelindung terjadinya pelepasan KARBON secara besar-besaran ke udara, idealnya, ada pertimbangan yang logis untuk mempertahankan kawasan tersebut sehingga tidak sepenuhnya dialihfungsikan.

Di luar faktor ekonomis yang ditawarkan banyak pihak terkait kepemilikan lahan gambut tersebut, Mubarrak menyebutkan, di tingkat lokal, pertimbangan untuk mempertahankan kawasan tersebut dari kerusakan menjadi hal penting. ‘’Gambut itu adalah pertahanan kita saat ini untuk mencegah terus meningkatnya suhu bumi. Karenanya, perlu ada pertimbangan yang matang juga untuk persoalan pelepasan kawasan gambut ini,” jelas dia.

‘’Memang,  kadang perizinan yang diterbitkan masih untuk kawasan hutan, tapi, tetap saja melakukan alih fungsi. Bila sebelumnya kawasan hutan itu adalah hutan heterogen, diubah menjadi hutan homogen. Secara tidak langsung itu sudah berbeda. Pastilah, hutan heterogen jauh lebih baik ketimbang hutan homogen,” papar dia.

Begitupun dengan kawasan lindung, idealnya, pemerintah menjalankan fungsi kontrol terhadap lahan-lahan tersebut sehingga, tetap terjaga keseimbangan ekosistem, termasuk diantaranya menangtisipasi kebakaran hutan dan lahan yang terus terjadi setiap tahun di wilayah Riau. ‘’Gambut itu mungkin padam diatas, tapi membara di bawah tanahnya. Kita tak akan mampu menghitung berapa besar kerugian yang diakibatkan kerusakan lahan tersebut,” ucap mantan Dekan FMIPA Umri ini.

Emisi Lahan Gambut

Beberapa provinsi di Indonesia merupakan penyimpan potensi gambut terbesar bagi dunia. Lahan-lahan ini seakan menjadi sandaran terakhir terhadap upaya membentengi terjadinya dampak kenaikan temperatur bumi.

Penelitian yang dilakukan Weatlands International-Indonesia Program  menyebutkan,  luas keseluruhan lahan gambut di Pulau Sumatera pada tahun 1990 sekitar 7,20 juta ha. Angka ini menurun pada  2002 dengan penyusutan mencapai sekitar 9,5 persen atau 683 ribu hektare. Hasil penghitungan terhadap potensi karbon di lahan gambut tersebut sepanjang 1990 berkisar 22.283 juta ton. Namun, pada tahun 2002, cadangan karbon Sumatera terdegradasi hingga hanya berkisar 18.813 juta ton atau terjadi penyusutan sekitar 3.470 juta ton (1 5,5 persen) dan umumnya kerusakan tersebut terjadi di wilayah Riau.

Penelitian tersebut juga menyebutkan, kandungan karbon lahan gambut di Sumatera tahun 2002  hanya dapat dihitung dari beberapa provinsi saja. Terbesar di Riau (1 4.605 juta ton karbon), kemudian Sumatera Selatan (1.470 juta ton), Jambi (1.413 juta ton), Aceh (4 5 8 juta ton), Sumatera Barat (4 2 2 juta ton), Sumatera Utara (377 juta ton), serta terendah adalah Lampung (35 juta ton) dan Bengkulu (30 juta ton).

Weatlands International juga mencatat, kebakaran gambut di wilayah Sumatera, 1997 menghasilkan emisi karbon sebesar 156,3 juta ton (75 persen total emisi karbon) dan 5 juta ton partikel debu.

Mengapa gambut demikian penting? Dalam bukunya,  Rieley dan Joosen menyebutkan, gambut menyimpan potensi karbon  yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan tanah mineral. Satu gram gambut kering menyimpan sekitar 180- 600 mg karbon, sedangkan setiap satu gram tanah mineral hanya mengandung 5-80 mg karbon. Di daerah tropis, karbon yang disimpan olah tanah dan tanaman pada lahan gambut bisa 10 kali karbon yang disimpan oleh tanah dan tanaman pada tanah mineral.

Simpanan karbon di lahan gambut yang relatif tinggi  itu menjadi indikator tingginya potensi ekosistem ini menyumbang emisi gas rumah kaca jika bahan organik yang tersimpan dalam bentuk gambut mengalami dekomposisi (perubahan bentuk) atau terbakar. Meskipun penggunaan bahan bakar fosil di Indonesia relatif rendah dibanding dengan negara industri, namun emisi dari deforestrasi dan penggunaan lahan gambut diperkirakan menyumbang lebih 50 persen total emisi di Indonesia.

BAPPENAS juga sempat merilis  diperkirakan rata-rata emisi tahunan dari lahan gambut di Indonesia tahun 2000- 2006 saja sekitar 903 juta ton CO2, termasuk emisi yang mungkin terjadi akibat kebakaran gambut. Padahal, lahan-lahan gambut ini adalah pertahanan untuk mencegah terjadinya pemanasan global.

Green City

Di beberapa Negara maju, selain menekan laju polusi dan emisi yang disebabkan asap kendaraan bermotor dan aktivitas industri, sejumlah kebijakan yang diarahkan untuk menahan terus memuncaknya pemanasan global adalah dengan membuat konsep pembangunan  ramah lingkungan. Salah satu yang paling banyak diadopsi dewasa ini adalah Green City.

Beberapa Negara maju yang memiliki keterbatasan lahan diakibatkan kepadatan penduduk yang sudah demikian tinggi  mulai memfungsikan lahan-lahan kosong di sekitar perumahan sebagai kawasan hijau yang harus ditanami.

‘’Ya, salah satunya di Singapura, dewasa ini, sudah ada kebijakan, di atas-atap perumahan dan gedung dibuat taman dan area pepohonan yang tujuannya selain untuk mengantisipasi panas, juga untuk mengurangi  dampak emisi. Kebijakannya sederhana, namun bisa diterapkan dimana saja,” ungkap Mubarrak.

Di Indonesia, termasuk di Riau,  sebut dia, sebenarnya upaya untuk menekan kenaikan temperatur udara masih sangat terbuka bila saja semua pihak bisa memahami fungsi kawasan dan hakikatnya untuk kehidupan manusia untuk jangka panjang.

Riau masih mempunyai cukup banyak lahan yang bisa dipertahankan sebagai kawasan penyangga kehidupan, bukan saja bagi flora dan fauna, namun juga manusia. Pemerintah dan masyarakat  hanya perlu menyikapi secara arif  bagaimana memanfaatkan lahan yang ada agar tidak rusak dikarenakan kesalahan dalam perencanaan kawasan.

Disamping itu, Mubarrak juga mengingatkan perlunya konsistensi dalam menerapkan 30 persen lahan diperuntukkan sebagai ruang terbuka hijau. Hal tersebut juga bisa diterapkan untuk kawasan pemukiman dimana  dengan luas lahan tertentu, pemilik bangunan tetap harus menyediakan 30 persen lahannya untuk kawasan terbuka yang berfungsi sebagai daerah tangkapan air dan penghijauan, termasuk untuk kembali menanami ruas-ruas jalan yang ramai dilalui publik dengan tanaman pelindung.

Untuk itu, tinggal lagi sejauh mana konsistensi dalam penerapan kebijakan. ‘’Bila di Negara-negara maju seperti Singapura, konsep green city diakomodir lewat menyediakan ruang hijau di atap-atap gedung, kita masih bisa melakukannya di lahan-lahan terbuka. Minimal, kalaupun tak bisa di atas kawasan itu, harus dicarikan lahan pengganti yang sepadan untuk tetap dipertahankan sebagai kawasan terbuka hijau,” harap Mubarrak.***









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook