Anak-anak suku Duanu di Indragirihilir hidup dengan kondisi pendidikan yang memprihatinkan. Di beberapa desa, puluhan anak mengalami putus sekolah ketika masih di sekolah dasar (SD). Di desa yang lain, justru guru yang mulai lelah karena penempatan di ujung pulau, jauh di pelosok negeri dengan masa pengabdian seakan tak berujung.
----------------------
Laporan MUHAMMAD AMIN, Belaras
----------------------
Matahari belum tegak sempurna, baru sekitar pukul 11.00 WIB ketika itu. Belasan anak bermain kejar-kejaran di pelantar kayu Desa Belaras, Kecamatan Mandah, Kabupaten Indragirihilir (Inhil), Riau. Yang lainnya bersenda gurau dan tertawa riang dengan berbagai permainan tradisional mereka. Sebagian anak-anak itu berusia antara 7 hingga 12 tahun. Ada beberapa yang memasuki usia remaja. Mereka bermain seakan tanpa beban.
Ketika itu bukanlah hari libur. Penasaran dengan keseharian mereka yang hanya bermain di waktu anak-anak lain seusia mereka bersekolah, Riau Pos mencoba bertanya kepada salah satu dari mereka. Anak yang bertubuh kurus, berambut merah dan berkulit legam itu bernama Mulyadi. Kawan-kawannya memanggilnya dengan nama Rampang. Dia sudah berumur sekitar 10 tahun. Mulyadi mengaku tak bersekolah lagi sejak dua tahun terakhir.
“Berhenti waktu mau naik kelas dua, Pak!” ujar Mulyadi sambil cengengesan.
Tak ada penyesalan tampak dari raut wajahnya. Dia tetap tertawa-tawa. Kawan-kawannya yang lain pun mendekat dan berkerubung, saling dorong. Sama seperti Mulyadi, rupanya mereka pun tak bersekolah. Apa saja kegiatan mereka?
“Ya, main-main saja. Kalau ada yang suruh kerja angkat barang di pelabuhan, kami kerja, Pak!” ujar Mulyadi lagi.
Mulyadi mengaku belum dapat membaca kendati dia “jebolan” kelas satu SD. Dia menuturkan, baru bisa mengeja beberapa huruf. Itu pun masih terbata-bata. Beberapa huruf latin masih diingatnya, yang lain sudah lupa. Tidak menyesal? Mulyadi hanya menggeleng sambil tertawa.
Hal yang sama dialami Dandi (12). Sudah empat tahun terakhir Dandi tak menikmati bangku sekolah. Dia berhenti di kelas II SD. Sama seperti Mulyadi, Dandi pun belum dapat membaca sama sekali. Dandi juga mengaku hanya bermain-main dan bekerja sebagai buruh angkut jika ada pompong yang bongkar muat barang. Dandi menyebut, kedua orangtuanya orang Duanu asli. Masyarakat Duanu yang merupakan bagian dari salah satu komunitas adat terpencil (KAT) di Riau ini memang akrab dengan laut dan kawasan pesisir. Laut adalah nafas kehidupan mereka. Dari laut mereka hidup dan membangun peradaban.
“Dari dulu seperti ini Pak! Kalau tak bantu menongkah kerang, kami jadi buruh angkut!” katanya ringan.
Anak lainnya yang sudah beranjak remaja Sandy (14) bernasib sama dengan dua rekannya. Dia pun putus sekolah ketika masih kelas III SD. Tapi Sandy mengaku tak memiliki beban kendati tak lagi memiliki pendidikan.
“Yang penting ada duit,” katanya enteng.
Kepala Suku Duanu Desa Belaras, Sarifuddin mengakui, anak-anak suku Duanu di desanya memang banyak yang putus sekolah. Dia menyayangkan keadaan ini. Tapi tuntutan ekonomi yang berat menjadikan anak-anak ini harus bekerja membantu orangtua mereka dengan menongkah kerang atau jadi buruh angkut.
“Sudah kebiasaan sejak dulu!” ujar Sarifuddin yang hanya tamatan SMP dan Kejar Paket C ini.
Sarifuddin mengaku beruntung bisa menjadi PNS dan ditempatkan sebagai penjaga SD 05 Belaras. Dia pun berharap, banyak anak-anak Duanu yang bersekolah tinggi, bahkan lebih tinggi darinya. Akan tetapi, menurutnya sangat sulit mengajak anak-anak itu bersekolah. Kesadaran yang rendah pada sebagian besar orangtua masyarakat Duanu juga jadi persoalan.
Kondisi ini diakui juga Kepala Desa Belaras, Kamaruzzaman. Kepada Riau Pos, Selasa (30/4), Kamaruzzaman menyebutkan, faktor ekonomi menjadi penyebab banyaknya anak-anak Duanu di Belaras yang putus sekolah. Masalahnya bukan pada biaya sekolah yang berat, tapi lebih pada pemenuhan kebutuhan sehari-hari. Kebiasaan lama mengajak anak-anak bekerja membantu orangtuanya juga menjadikan kondisi anak putus sekolah ini terus berlanjut.
“Para orangtua memang tak menyadari pentingnya pendidikan bagi anak-anak mereka,” ujar Kamaruzzaman.
Dia mengaku sangat prihatin dengan kondisi ini. Apalagi jumlah anak putus sekolah di Belaras dari suku Duanu ini tergolong sangat besar. Angkanya mencapai 65 persen dari total populasi dengan jumlah puluhan. Sangat dominan. Hanya sekitar 35 persen yang masih tetap sekolah. Kebiasaan orangtua membawa anak untuk turut bekerja menjadikan angka putus sekolah ini terus bertambah dari waktu ke waktu.
“Biasanya bermula saat musim kerang tiba. Jadi anak-anak yang masih sekolah itu diajak menongkah kerang agar hasilnya bisa lebih banyak,” ujar Kamaruzzaman.
Menongkah adalah cara tradisional dalam mencari kerang di lumpur pantai atau beting. Caranya dengan berseluncur di papan tipis sambil mengutip kerang. Jika dilakukan para orangtua saja, maka hasil untuk keluarga akan sedikit. Di masa musim kerang tiba, jumlah kerang di sekitar Belaras ini sangat banyak. Hasilnya bisa mencapai satu pikul (100 kg) sehari jika dikerjakan oleh satu keluarga dengan dua orangtua dan beberapa anak. Jika anak tak ikut, hasilnya bisa berkurang setengahnya. Harga jual kerang yang tinggi menjadi motivasinya. Harga kerang bisa mencapai Rp6 ribu perkg di pasaran. Di tingkat pencari kerang yang dijual ke tauke, harganya hanya sekitar Rp2.500 perkg. Tapi jika mencapai 1 pikul, artinya satu keluarga bisa mendapatkan Rp250 ribu dalam sehari.
“Nah, anak-anak itu juga mendapatkan jatah hasil kerja mereka. Bahkan kadang sangat besar, mencapai puluhan ribu rupiah. Jadi, karena sudah kenal uang sejak dini, mereka jadi abai pada sekolah,” tutur Kamaruzzaman.
Selama musim kerang itu, biasanya anak-anak akan ikut terus orangtuanya menongkah. Dalam setahun, musim kerang bisa mencapai tiga bulan. Semasa itu pula, anak-anak Duanu ini memilih bolos sekolah karena biasanya menongkah ini dilakukan sejak dini hari hingga pagi menjelang siang.
“Setelah puas menongkah selama tiga bulan, anak-anak itu pun tak mau sekolah lagi. Mereka sudah kenal uang dan lebih memilih menjadi buruh angkut dari pada kembali ke sekolah,” ujar Kamaruzzaman.
Aparat pemerintah bukannya tak berusaha mengubah kebiasaan ini. Menurut Kamaruzzaman, pihak aparat desa sudah berulang kali mengajak anak-anak ini kembali ke sekolah. Bahkan disiapkan musalla khusus untuk diadakan pertemuan rutin agar orangtua masyarakat Duanu dapat diberi pengertian tentang pentingnya pendidikan.
“Tapi sulit sekali mengubah cara pikir mereka. Kita buka pengajian di musalla, diberi pengarahan. Awalnya ramai, tapi kemudian pelan-pelan habis. Sekolah pun demikian. Setelah dapat baju seragam, belajar sebentar, lalu tiba-tiba berhenti. Susah sekali,” ujarnya.
Guru Mulai Lelah
Lain kasus di Belaras, beda pula kasus pendidikan di Desa Kuala Selat, Kecamatan Kateman, Inhil. Di desa yang mayoritas dihuni masyarakat adat Duanu ini hanya sedikit anak-anak yang putus sekolah. Di pagi hari, anak-anak tampak berbondong-bondong berangkat ke sekolah. Hanya beberapa anak yang berdiam diri tak berangkat ke sekolah. Menurut Kepala Suku Duanu Kuala Selat, Mato Lani, hanya beberapa anak yang putus sekolah. Jumlahnya tak signifikan. Alasannya biasanya hampir sama dengan kasus di Belaras.
Di Kuala Selat, justru guru yang mulai lelah ditempatkan di daerah yang jauh dari perkotaan ini. Kuala Selat dapat ditempuh dari Tembilahan, ibu kota Kabupaten Inhil dengan speedboat selama lebih kurang 3,5 jam, melewati puluhan pulau kecil. Jika menggunakan alat transportasi umum, melewati Guntung, waktu tempuhnya dapat lebih lama, lebih dari lima jam. Kuala Selat bisa dikatakan sebagai bagian terluar dari gugusan pulau-pulau kecil di sepanjang Inhil. Di desa inilah, Fahruddin mengabdikan diri. Selama pengabdiannya sebagai guru sekaligus Kepala Sekolah SMP Satu Atap Kuala Selat, Fahruddin mengaku sudah cukup lelah.
“Sudah 28 tahun saya mengabdi di sekolah yang jalannya berlumpur. Lelah juga rasanya. Saya ingin juga berada di sekolah yang berjalan aspal. Paling tidak di masa pensiunlah,” ujar Fahruddin dengan nada lirih.
Hingga hari pendidikan 2 Mei 2013, Fahruddin ternyata masih bertugas di SMP Satu Atap Kuala Selat ini. Selama 28 tahun terakhir ini, Fahrudin sudah mengabdi dan berpindah-pindah dari dan ke tiga sekolah. Masing-masing di SMP 1 Guntung selama 12 tahun, SMP 3 Guntung 13 tahun dan SMP 1 Atap Kuala Selat, Kateman 3 tahun. Ironisnya, ujar Fahrudin lagi, ketika jalan ke sekolah sebelumnya mulai dilakukan semenisasi, maka dia pun dipindah ke tempat yang lebih jauh ke Kuala Selat yang kondisinya bertanah rawa-rawa.
Kondisi SMP Satu Atap sebenarnya cukup baik, karena punya gedung baru. Dari jalan utama di Kuala Selat yang berupa pelantar dari kayu, terdapat jalan setapak dengan jarak sekitar 20 meter. Jika cuaca panas, jalan ini kering. Tapi jika hujan dan air meluap, maka jalan pun berlumpur.
“Agar sepatu tak basah atau kotor ya harus dijinjing. Tak jarang digendong,” ujarnya.
Di sekolah ini terdapat 40 siswa, terdiri dari kelas I 12 siswa, kelas II 12 siswa, dan kelas III 16 siswa. Sedangkan gurunya sebelas orang, yang semuanya guru honorer dari komite sekolah. Sebagian besar guru berasal dari warga sekitar. Dari seluruh guru itu, hanya Fahrudin yang PNS. Sejak dua tahun lalu, Fahrudin sebenarnya sudah minta dipindahkan ke kota, terutama yang dekat dengan keluarganya di Guntung. Akan tetapi permohonan itu belum terkabul. Dia mengakui, kesulitan di kawasan terpencil ini adalah dalam hal transportasi dan sarana lainnya. Sebagai contoh, untuk menfoto copy satu berkas saja diperlukan dana setidaknya Rp100 ribu. Sebab, mesin fotokopi terdekat hanya ada di Guntung, dengan biaya pergi-pulang (pp) Rp60 ribu plus biaya makan dan transporasi kota. Belum lagi jika harus menginap.
Untuk beberapa urusan, seperti ijazah, ujian nasional, dan yang lainnya, Fahrudin harus berangkat ke Tembilahan. Biaya ke Tembilahan ini mencapai Rp1 juta untuk sekali perjalanan pergi-pulang (pp), termasuk biaya menginap. Jika ada yang kurang, tentu harus bolak-balik lagi dan biaya pun makin membengkak. Ini yang menyebabkannya ingin pindah. Apalagi, selama ini dia tinggal terpisah dengan keluarganya di Guntung, dan hanya pulang sekali sepekan, kadang bisa sekali dua pekan.
“Kalau bisa di masa pensiun yang sebentar lagi, bisa pulalah saya mengabdi di sekolah yang jalannya tak berlumpur lagi,” harapnya.
Adapun soal siswa yang putus sekolah, jumlahnya tak terlalu banyak. Dari seluruh anak-anak Duanu di Kuala Selat, hanya sekitar 5 persen saja yang putus sekolah. Kebanyakan mereka putus sekolah karena membantu orangtuanya menjadi buruh atau ke kebun. Ada juga beberapa kasus yang karena tak mampu dalam hal biaya. Di SMP Satu Atap sendiri dipungut biaya sekolah Rp20 ribu persiswa. Pungutan dilakukan untuk menggaji guru honorer, selain yang berasal dari dana BOS (biaya operasional sekolah).
“Jika ada lebih banyak PNS di sini, mungkin pungutan itu bisa dihapus. Tapi memang tak ada yang mau ke tempat ini. Saya pun sudah minta pindah lama tak juga diganti. Ibarat kawin cerai, sebelum cerai tak boleh kawin lagi. Jadi sebelum ada yang mau ke mari, saya terpaksa akan terus tertahan di sini,” ujar pria asal Bukittinggi, Sumatera Barat ini.
Fahrudin adalah satu potret guru di daerah terpencil. Tapi potret pendidikan anak-anak Suku Duanu di Kuala Selat tak melulu negatif. Beberapa orang di antaranya bahkan sudah berpendidikan tinggi. Contohnya Dani Sartika, yang sudah menyandang gelar sarjana, bahkan S2 dari Universitas Wijaya Putera Surabaya kerja sama dengan Pemkab Karimun. Saat ini, Dani Sartika menjadi Kepala Sekolah di SMK Yayasan An-Nur Kuala Selat. Dani Sartika sebenarnya bukan orang Duanu dari Kuala Selat. Dia asli Duanu, tapi dari Bekawan, Kecamatan Mandah. Dia mengabdi di Kuala Selat karena ingin mengajak anak-anak Duanu agar bisa setara dengan anak-anak lainnya. Dia mengaku sangat prihatin dengan kondisi anak-anak suku Duanu yang masih tertinggal di bidang pendidikan.
“Saya ingin anak-anak Duanu dapat lebih maju,” ujar Dani.
Soal tak meratanya guru di kota dan pedesaan di Inhil diakui Kepala Dinas Pendidikan Inhil HM Fauzar. Kepada Riau Pos beberapa waktu yang lalu, Fauzar menyebutkan bahwa pihaknya akan merotasi para guru. Diakuinya, sekolah-sekolah di perkotaan, seperti di Tembilahan saat ini sudah kelebihan guru, sementara di desa-desa terpencil justru kekurangan guru.
“Saat ini kami tengah mengkaji formula dan formasi rotasi guru. Tahun ini juga akan kita lakukan,” ujar Fauzar.
Rencana pemerataan dan rotasi pegawai ini dikuatkan dengan terbitnya peraturan bersama Mendiknas, MenPAN, Mendagri, Menkeu, dan Menag tentang Penataan dan Pemerataan Guru PNS. Pihaknya terus melakukan sosialisasi aturan itu dan akan segera menerapkannya. Pihaknya juga telah menyiapkan perangkat guru bantu untuk mengatasi masalah kekurangan guru di daerah-daerah terpencil.
Adapun terkait banyaknya anak-anak suku Duanu yang putus sekolah, menurut Fauzar, memang perlu pembinaan lebih lanjut. Dia mengakui sulitnya mengubah pola pikir masyarakat adat Duanu tentang pentingnya sekolah.
“Ini tugas kita semua. Tapi memang perlu waktu dan proses terus-menerus agar tak ada lagi anak yang putus sekolah di Inhil ini, termasuk anak-anak suku Duanu,” ujar Fauzar.
Dalam masyarakat adat Duanu, ujarnya, orangtua hanya mengajarkan anaknya untuk berhadapan dengan laut dan cara bertahan hidup dengannya. Caranya adalah dengan pandai menangkap ikan, membuat jaring, memancing, menongkah kerang dan yang berkaitan dengan kehidupan nelayan serta suku laut.
“Nah, mengubah mindset bahwa pendidikan itu penting bagi mereka tak semudah membalik telapak tangan. Sulit sekali,” ujarnya.
Sementara itu Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Riau, HM Wardan mengaku prihatin dengan kondisi pendidikan di Inhil. Pria asal Inhil dan pernah menjadi pejabat di Inhil ini menyatakan, pihak Dinas Pendidikan Provinsi Riau akan menggesa pemerataan pendidikan, termasuk pada anak-anak suku Duanu. Pemprov Riau bahkan sudah merancang Perda wajib belajar sembilan tahun untuk memastikan anak-anak di Riau bisa menikmati pendidikan hingga ke tingkat SMA.
“Bagi orangtua yang tak mau menyekolahkan anaknya bisa dikenai sanksi sesuai Perda itu!” ujar Wardan.
Wardan menyebut, seharusnya sudah tidak ada lagi anak yang putus sekolah di mana pun di Riau ini, apalagi di tingkat SD dan SMP. Selain sudah ada dana bantuan operasional sekolah (BOS) dari APBN, sudah ada juga berbagai beasiswa untuk siswa yang miskin, termasuk dari provinsi. Anggarannya cukup besar. Dana BOS pun sudah langsung ditransfer begitu sampai ke daerah.
“Seharusnya sudah tak boleh ada yang putus sekolah, apalagi jumlahnya sangat banyak. Saya akan cek kembali dan koordinasikan dengan kabupaten,” ujar Wardan.***