DARI FOCUSED GROUP DISCUSSION SETWAPRES-FISIP UNRI

Konsumerisme Pejabat Munculkan Sinisme Publik

Feature | Kamis, 05 April 2012 - 08:30 WIB

Konsumerisme Pejabat Munculkan Sinisme Publik
Dari kanan Effendi Gazali, moderator, Rektor Unri Prof Ashaluddin Jalil, dan Pemred Riau Pos Raja Isyam Azwar menjadi pembicara seminar peran media di Rektorat Unri, Kamis (4/4/2012). (Foto: DIDIK HERWANTO/RIAU POS)

Sinisme publik kini berkembang demikian dahsyat, terutama melalui media sosial, seperti facebook atau twitter. Sasaran utamanya adalah para pejabat publik. Semuanya bermula dari buntunya komunikasi publik di media, dan sikap konsumerisme para pejabat. Seperti apa?

Laporan MUHAMMAD AMIN, Pekanbaru

Baca Juga :Sampaikan Pesan Pemilu Damai ke Nelayan yang Sedang Melaut

PAKAR komunikasi politik Effendi Gazali menyebutkan, media pada dasarnya adalah mediator utama yang menjembatani kepentingan publik dengan pejabat. Akan tetapi, dalam beberapa kasus, kerap kali media terhalang kepentingan pemilik modal yang terkooptasi penguasa, sehingga ada sumbatan informasi.

‘’Maka ketika itu macet, publik akan menyuarakan aspirasinya lewat media sosial, dan ini sangat efektif,’’ ujar Effendi.

Hal itu dikatakannya saat menjadi pembicara dalam Focused Group Discussion tentang ‘’Optimalisasi Peran Media Massa dalam Menjembatani Kebijakan Pusat dan Daerah’’ yang ditaja Setwapres-Fisip Unri, Rabu (4/4) di Aula Fisip Unri. Tampil juga sebagai pembicara Rektor Unri, Prof Dr Ashaluddin Jalil dan Pemimpin Redaksi Riau Pos, Raja Isyam Azwar. Diskusi dipandu moderator Prof Dr Dadan Wildan, Staf Ahli Mensesneg Bidang Komunikasi dan Informatika.

Effendi Gazali menyebutkan, saat ini adalah era 3 C, yakni consumerism (konsumerisme), celebrity (selebriti), dan cynicism (sinisme). Semua bermula dari cara pejabat publik melakukan kampanye politik untuk meraih jabatannya. Kampanye yang dilakukan kerap menggunakan cara konsumerisme, yakni menyamakan produk dirinya seperti iklan-iklan yang tengah tren. Setelah menjadi pejabat, perilakunya berubah menjadi para selebriti.

‘’Akhirnya ini semua akan berkembang menjadi sinisme publik. Jika tak bisa di media massa, maka kerap kali dilontarkan di media sosial,’’ ujar Effendi.

Saat ini, sinisme itu kerap diungkapkan dengan ungkapan yang populer di media massa, dilengkapi dengan kartun atau gambar yang menggelitik. Dia mencontohkan tentang iklan kampanye salah satu partai, dengan jargon, ‘’katakan tidak pada korupsi.’’ Dengan berkembangnya waktu, ternyata beberapa politisi dari partai itu terjerat kasus korupsi oleh KPK. Tapi dalam persidangan, oknum yang bersangkutan selalu mengatakan tidak atau tidak tahu.

‘’Nah, kemudian muncul sinisme publik, yang bunyinya kira-kira begini, ‘kalau ditanya hakim, apakah anda korupsi, jawabnya tidak’. Yang seperti itu berkembang di facebook dan twitter,’’ ujar Effendi sambil tersenyum.

Sinisme publik lainnya yang berkembang di media sosial internet adalah kampanye Gubernur DKI Jakarta. Dalam kampanye salah satu calon gubernur waktu itu, jargon iklannya adalah ‘’Jakarta untuk Semua’’. Namun kenyataannya, banjir tetap dialami warga. Maka muncul sinisme publik dengan menampilkan ‘’Banjir untuk semua’’ dan ‘’Inilah water boom terbaru kita’’, yang dilengkapi gambar banjir di Jakarta.

‘’Sinisme publik seperti ini akan terus terjadi ketika kebuntuan lewat media massa tak bisa dipecahkan,’’ katanya.

Effendi menyebutkan, dalam hubungan pusat dan daerah, seharusnya pusat menyejahterakan rakyat di daerah terlebih dahulu. Barulah setelah itu terjadi dialog antara pusat dan daerah yang sehat dan tidak saling menekan.

‘’Jadi tak bisa pusat sewenang-wenang pada daerah,’’ ujarnya.

Dalam menjembatani kepentingan publik di daerah kepada pusat dan sebaliknya, menurut Effendi, media harus memiliki keberpihakan. Keberpihakan ini haruslah kepada kepentingan publik, bukan kepentingan pemilik media, apalagi kepentingan penguasa.

Dia menyebut, saat ini justru banyak pimpinan di daerah yang berpengaruh dibandingkan karakter pimpinan pusat. Karakter pimpinan pusat, yang suka mengeluh, menurutnya akan sulit mempengaruhi rakyat daerah. Sebaliknya beberapa pimpinan daerah justru memberi pengaruh yang besar. Dicontohkannya Joko Widodo (Jokowi), Wali Kota Solo, yang dinobatkan sebagai wali kota terbaik di dunia.

‘’Justru pimpinan daerah lebih berpengaruh,’’ katanya.

Sementara itu Pemimpin Redaksi Riau Pos, Raja Isyam Azwar menyebut, dalam memediasi kepentingan pusat dan daerah, kebanyakan pemerintah pusat tidak cerdas dalam mengemas isu. Akibatnya, kerap kali kebijakan pemerintah pusat diterjemahkan secara salah oleh masyarakat di daerah. Dia mencontohkan soal konversi minyak tanah ke gas.

‘’Sosialisasi yang kurang intens menyebabkan masyarakat justru melihat bahaya gas sebagai ‘bom gas’ dari pada manfaat konversi gas ini,’’ ujar Raja Isyam.

Contoh lain yang paling aktual adalah isu kenaikan bahan bakar minyak (BBM). Dalam kenyataannya, isu kenaikan BBM ini tidak dikemas dengan baik, karena yang mengemuka di tengah masyarakat justru aksi demo, penolakan, wacana harga naik, inflasi, dan lainnya.

‘’Ini terjadi karena pemerintah tak kreatif menyampaikan ide-ide tentang dampak jika tak menaikkan BBM,’’ ujarnya.

Raja Isyam juga mencontohkan tentang adanya tujuh Perda di Riau yang ditolak oleh Kemendagri. Kenyataannya, Kemendagri tak menjelaskan alasan dan Perda mana yang ditolak, sehingga komunikasi antara pejabat di pusat dan apa kehendak daerah menjadi terputus. ‘’Padahal ini penting untuk komunikasi ke daerah,’’ ujar Raja Isyam lagi.

Dalam konteks pemberitaan, ujar Isyam, media massa memang harus memilih untuk menaikkan sebuah berita atau tidak. Tapi pada dasarnya, tiap berita punya syarat sama, yakni berimbang (balance), ada konfirmasi, dan menggunakan etika jurnalistik. Selain itu ada juga kebijakan redaksi, sesuatu yang menjadi agenda setting, yakni isu yang penting yang dipilih media untuk diungkap lebih dalam.

Diakui, tiap media memiliki agenda setting tersendiri. Ini tentu tak lepas dari pemilik modal dan kebijakan redaksional. Akan tetapi, menurutnya yang terpenting adalah sikap profesional media dalam menyajikan berita, yakni memediasi dan memberikan informasi yang benar kepada publik. Pertimbangan profesionalitas, independen, akurat, berimbang, tak beritikad buruk, memiliki sumber yang jelas tetap menjadi pilihan utama dalam menaikkan sebuah berita.

‘’Kami tetap mengedepankan unsur profesionalitas dari pada yang lainnya,’’ ujarnya.

Di pihak lain, Rektor Unri, Prof Dr Ashaluddin Jalil menyebutkan, bahwa semua orang berharap media menjadi jembatan yang paling baik untuk menyampaikan komunikasi antara publik dan pimpinan dan sebaliknya. Juga komunikasi antara pusat dan daerah. Akan tetapi banyak kendala di lapangan, termasuk kepentingan sesaat penguasa dan pemilik media.

Dia menyebut, media massa harus mensiasati kecenderungan terjadinya politisasi dan dominasi informasi hiburan dalam ruang publik. Media massa juga sudah harus mulai mengembalikan kepercayaan publik dari kurang peduli bahkan tak peduli terhadap kebijakan pemerintah.(ila)









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook