MELIHAT PULAU PADANG DARI ATAS UDARA

Pulau Eksoktik, Terancam Pembalakan Liar

Feature | Minggu, 05 Februari 2012 - 08:23 WIB

Pulau Eksoktik, Terancam Pembalakan Liar
Foto dari udara memperlihatkan sawmill liar yang berada di jantung kawasan gambut Pulau Padang, yang diambil beberapa waktu lalu. Kegiatan illegal logging di pulau ini sudah sangat parah dan sudah lama, yang mengancam ekosistem pulau itu. (Foto: RAPP for Riau Pos)

Dari atas udara, Pulau Padang adalah kawasan yang eksoktik. Pulau kecil yang dikelilingi air laut, terlihat menghijau dengan danau bening nan menawan. Namun, semakin dekat, di beberapa kawasan, terlihat asap mengepul dari beberapa aktivitas kilang kayu (sawmill).

Laporan HARY B KORI’UN, Pulau Padang

Baca Juga :Sampaikan Pesan Pemilu Damai ke Nelayan yang Sedang Melaut

DI landasan pacu Bandara Sultan Syarif Kasim (SSK) II, Jumat (27/1), pukul 14.30 WIB,  sang pilot, Jono –begitu panggilan akrabnya— bersama beberapa kru sedang melakukan cek akhir helikopter yang sebelumnya sudah mengantar rombongan beberapa wartawan yang terbang di kloter I. Bule brewok asal Australia itu menaikkan jempol tangan kanannya pertanda rombongan dipersilahkan untuk naik.  “Hati-hati, topinya dipegang agar tidak diterbangkan oleh baling-baling,” katanya bercanda dengan bahasa Inggris campur Indonesia, sambil tersenyum.

Bersama beberapa pimpinan media massa asal Pekanbaru yakni Ahmad Rodhi (Metro Riau), Dody Sarjana (Tribun Pekanbaru), Ahmad S Udi (riauterkini.com) dan Pamungkas Trishadiatmoko (Corporate Communication Head RAPP) yang menjadi pemandu selama perjalanan, Riau Pos mendapatkan kesempatan terbang ke atas langit Pulau Padang, sebuah pulau di Kecamatan Merbau, Kabupaten Kepulauan Meranti, yang kini sedang menjadi sorotan. Tidak hanya dari media Riau dan Indonesia, tetapi juga internasional.

Pernyataan anggota DPR RI asal Riau, Wan Abubakar, bahwa ada aktivitas illegal logging di Pulau Padang, beberapa waktu sebelumnya, membuat banyak orang terkejut. Sebab, selama ini sorotan terhadap pulau yang juga sudah dieksplorasi minyaknya  oleh PT Kondur Petrolium itu bukan pada masalah pembalakan liar, tetapi penolakan beberapa elemen masyarakat yang dikoordinir oleh Serikat Tani Riau (STR) terhadap SK Menteri Kehutanan (Menhut) Nomor 327 Tahun 2009 yang mengizinkan PT RAPP menjadikan sebagian pulau itu untuk lahan Hutan Tanaman Industri (HTI). Jadi, ketika Wan mengatakan ada aktivitas pembalakan liar di pulau itu, muncul tudingan ada kesengajaan pengalihan isu.

“Saya melihat sendiri ada aktivitas pembalakan liar di Pulau Padang dari atas helikopter. Sepertinya sudah berlangsung lama dan ini yang malah akan membahayakan masa depan pulau ini. Polisi harus mengusut tuntas kasus ini,” kata Wan.

Maka, perjalanan di atas pulau tersebut  menjadi salah satu pembuktian kebenaran apa yang dikatakan mantan Gubernur Riau itu: apakah memang benar-benar ada aktivitas pembalakan liar, ataukah hanyalah pengalihan isu di tengah gencarnya pemberitaan yang memang menyudutkan salah satu pihak. Aksi jahit mulut yang dilakukan oleh beberapa warga Pulau Padang  yang digerakkan oleh STR sampai sebulan lebih membuat tenda di depan Kantor DPR/MRP Senayan Jakarta, telah memunculkan opini di masyarakat seolah-olah kondisi di Pulau Padang benar-benar kisruh. Dan karena sorotan itulah yang membuat beberapa anggota DPR RI asal Riau, termasuk Wan Abubakar, ingin melihat langsung apa yang sebenarnya terjadidan seperti apa kondisi nyata di lapangan.

***

PERJALANAN dari Bandara SSK II Pekanbaru menuju Pulau Padang memerlukan waktu lebih kurang 35 menit. Dari udara, pemandangan daratan Riau amat mempesona dengan pemandangan hijau: kebun sawit yang membentang ribuan hektare, Sungai Siak yang berbelok-belok seperti ular raksasa, kebun HTI yang tertata rapi dengan kanal-kanalnya, pabrik PT Indah Kiat Pulp and Paper yang masih mengepul, pemukiman penduduk, tasik (danau) Zambrud yang indah, aktivitas beberapa perusahaan pertambangan, termasuk di beberapa kawasan terlihat kepulan asap perambah hutan yang sedang melakukan land clearing alias pembersihan lahan. Semua aktivitas di sebagian besar tanah Kabupaten Siak itu memperlihatkan betapa Riau memiliki kekayaan yang luar biasa, dan semestinya memberikan kesejahteraan bagi masyarakat yang menghuni tanah tersebut.

Menjelang sampai ke Pulau Padang, terlihat  laut (selat) yang memisahkan daratan Sumatera dengan Pulau Padang. Ada sebuah kapal induk yang sedang membuang jangkarnya di sana, sementara tak jauh dari situ, masih di selat, terlihat beberapa rig  di tengah laut milik Kondur Petrolium, yang wilayah operasinya juga  berada di daratan Pulau Padang bagian selatan. Aktivitas operasi perusahaan milik keluarga Bakrie ini membelah Pulau Padang bagian selatan  dari barat hingga timur pulau, sehingga kawasan ini terlihat paling ramai aktivitasnya dibanding kawasan lain pulau ini. Terlihat jalan lurus dengan pipa panjang mesin pengisap minyak, dan aktivitas penambangan lain yang membelah dari dua sisi pantai, barat dan timur.

Namun, tak jauh dari kawasan ekplorasi minyak itu, pemandangan aktivitas pembalakan sudah terlihat. Dari sisi barat pulau, terlihat sebuah perahu bermesin diesel tertambat di pantai yang airnya surut. Pemiliknya nampaknya sengaja menambatkannya di sela-sela tanaman sagu agar tak terlihat secara kasat mata. Dan yang menarik, hanya sekitar 50 meter dari perahu itu, tumpukan kayu olahan terlihat di sana. Kayu-kayu yang rata-rata pecahan persegipanjang hasil olahan kilang pengolahan kayu (sawmill) ini tertumpuk rapi dan siap diangkut.

Penerbangan dilanjutkan pelan-pelan masuk kawasan pulau dengan jarak yang lebih rendah. “Inilah kenyataan yang terjadi. Jika dibiarkan, seluruh hutan di pulau ini akan habis,” kata Pamungkas Trishadiatmoko sambil menunjukkan aktivitas pembalakan di hampir seluruh kawasan di Pulau Padang.

Dari jarak pandang yang dekat, terlihat hutan alam yang disasak di sana-sini. Ada beberapa blok dengan radius yang lumayan luas terlihat pohon-pohon yang tumbang dan kayu-kayu gelondongan tertumpuk rapi. Di sampingnya ada rel dari kayu yang digunakan untuk membawa kayu-kayu tersebut ke beberapa kilang pengolahan. Kemudian terlihat beberapa kilang pengolahan kayu yang sedang beraktivitas di area yang lumayan luas. Di sana terlihat beberapa bedeng tempat tinggal, kepulan asap pembakaran sekam, tumpukan kayu gelondongan, mesing pengolahan yang ditutup atap papan, dan kayu olahan empat persigipanjang berbagai ukuran. Kemudian terlihat kanal air kecil yang ketika ditelusuri ternyata bermuara langsung ke laut sebelah timur. Di situ ada dermaga darurat yang dibuat. Di sepanjang kanal itu terlihat kayu hasil olahan diikat dan dihanyutkan, ditarik oleh perahu-perahu kecil. Di beberapa tempat, terlihat kayu-kayu olahan tersebut sengaja ditutupi semak agar tak terlihat.

“Hampir semua aktivitas pembalakan ini berada di zona inti, zona kawasan lindung gambut yang  merupakan areal konservasi dan seharusnya tak terjamah produksi apapun,” jelas Moko, panggilan akrab Pamungkas Trishadiatmoko.

Perjalanan kemudian dilanjutkan ke arah utara, ke arah tasik (danau). Setelah melewati kawasan hutan yang sudah koyak-moyak oleh aktivitas pembalakan liar, terlihat dari kejauhan sebuah tasik yang asri dan alami. Air yang tenang dan terlihat menghitam khas danau rawa gambut, burung-burung beterbangan di beberapa tempat, dan angin semilir yang membuat permukaan airnya bergerak pelan. Sangat eksoktik dan alami.

Tasik ini berada di kawasan inti zona konservasi lahan gambut yang luasnya mencapai 25.500 hektare,  dikelilingi oleh kawasan tanaman unggulan seluas 4.121 hektare dan kawasan hutan lindung seluas 4.102 hektare. Secara keseluruhan, tiga kawasan konservasi ini adalah 33.723 Ha atau 30,7 persen dari seluruh kawasan Pulau Padang yang berluas 110.000 Ha itu.

Sayangnya, meski terlihat asri dan alami, sesungguhnya kawasan tasik ini juga sudah dimasuki para perambah dan pembalak liar. Saat helikopter terbang lebih rendah, terlihat di pinggir-pinggir tasik ini bedeng-bedeng yang menjadi tempat tinggal mereka, dan terlihat juga beberapa tempat pohon-pohon yang tumbang dan kayu olahan yang jaraknya hanya sekitar 30-50 meter dari air. Ada lebih dari 30 titik pembalakan liar, termasuk kilang pengolahan kayunya, rel-rel kayu, dan kanal-kanal untuk menghanyutkan kayu sampai ke dermaga tepi pantai di seluruh kawasan Pulau Padang, dan itu menyebar ke hampir semua kawasan.

Meski agak terlambat, jajaran Polres Bengkalis Jumat pekan lalu turun ke lapangan dan menemukan fakta-fakta yang terlihat dari udara tersebut. Kapolres Bengkalis, AKBP Toni Ariadi SIK SH MH, Rabu (1/2) lalu menjelaskan bahwa pihaknya tetap berkomitmen menyelesaikan masalah pembalakan liar di Pulau Padang itu secepatnya. Pihaknya juga sudah menetapkan beberapa tersangka dan secepatnya akan melakukan penangkapan. “Sudah ada sejumlah nama, dan akan segera dilakukan penangkapan,” kata Toni Ariadi.

Ditengarai, cukong-cukong kayu bermain dalam kasus ini dengan memanfaatkan masyarakat yang diupah sebagai tenaga untuk melakukan pembalakan liar ini. Sebab, selama ini, masyarakat tempatan menganggap bahwa aktivitas mengambil kayu dari hutan bukan sebuah pencurian dan pelanggaran hukum, dan ini berlangsung sudah sejak lama. Selain dijual di pasar lokal, kayu-kayu tersebut juga ditengarai diseludupkan ke Malaysia. Jarak Pulau Padang dengan Selat Melaka sangat dekat, dan ini memungkinkan perdagangan kayu ilegal ke sana berlangsung sudah sangat lama.

***

KAMIS (2/1) lalu, Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan mengeluarkan keputusan bahwa izin HTI PT RAPP di Pulau Padang tetap dilanjutkan. Artinya, SK Nomor 327 Tahun 2009 tak dicabut. Keputusan ini diambil berdasarkan hasil rekomendasi tim mediasi yang diketuai oleh Andiko, Presidium Dewan Kehutanan Nasional (DKN). Sehari sebelumnya, salah seorang anggota tim mediasi, Ahmad Zazali, membocorkan dua rekomendasi tim mediasi kepada media. Dua rekomendasi itu adalah dua opsi, yakni mencabut SK Nomor 327 itu, dan opsi kedua adalah merevisi SK tersebut.

“Tim sudah menyampaikan fakta-fakta di lapangan. Saya sudah memutuskan HTI di Pulau Padang bisa berjalan dengan sejumlah persyaratan,” jelas Zulkifli Hasan, di Jakarta (Riau Pos, Jumat, 3/2).

Kata politisi PAN itu, persyaratan itu antara lain: lahan masyarakat yang ada di areal HTI harus dikeluarkan dari areal konsesi. Kemudian, lahan konservasi seperti lahan gambut, tanaman kehidupan, tanaman unggulan, dan kawasan lindung, juga harus dikeluarkan dari konsesi. Dalam SK Nomor 327 itu sebenarnya sudah diatur, bahwa perusahaan harus mengalokasikan minimal 30 persen untuk kawasan-kawasan konservasi itu.

Sebelumnya, Presiden Komisaris (Preskom) RAPP, Tony Wenas, menjelaskan dari total 41.205 ha kawasan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu-Hutan Tanaman Industri (IUPHHK-HTI) berdasarkan SK Nomor 327/2009 itu, pihaknya hanya menjadikan HTI seluas 27.375 Ha plus areal untuk infrastruktur seluas 808 Ha atau 25,6 persen dari luas pulau. Sisa lahan lainnya diperuntukkan bagi kawasan lindung (4.102 Ha), tanaman unggulan (4.121 Ha), tanaman kehidupan (1.904 Ha), dan 2.895 Ha adalah areal tidak produktif. Areal kawasan lindung gambut sendiri adalah 25.500 Ha atau 25 persen dari total 110.000 Ha Pulau Padang dan itu tak masuk dalam kawasan RAPP. Jika ditambah dengan 4.121 Ha untuk tanaman unggulan dan 4.102 kawasan lindung, maka kawasan konservasi di pulau ini mencapai 30,7 persen atau seluas sekitar 33.723 Ha. Jumlah ini masih ditambah 1.904 Ha kawasan tanaman kehidupan. Sedang areal pemukiman dan budidaya masyarakat yang berada di luar  area perusahaan adalah 43.295 Ha atau 43.7 persen.

“Lahan konsesi kami mengelilingi kawasan hutan konservasi itu, sehingga dengan adanya kami di sana, justru akses untuk melakukan illegal logging dan aktivitas ilegal lainnya di lahan konservasi itu bisa diminimalisir. Kami memiliki komitmen tinggi untuk mempertahankan kawasan konservasi itu,” ujar Tony Wenas.

Keputusan Menhut Zulkifli Hasan juga disambut baik oleh Tony. Dia berharap pihaknya bersama masyarakat lokal dan kontraktor lokal bisa bekerja kembali sehingga aktivitas ekonomi di Pulau Padang kembali hidup. “Dengan dihentikannya kegiatan kami selama ini, dampaknya bukan hanya pada kerugian perusahaan kami, tetapi juga pada masyarakat tempatan yang selama ini bekerja, serta 17 kontraktor lokal yang terpaksa tak mendapatkan penghasilan,” jelas Tony lagi.

Dengan peta dan tata ruang yang jelas peruntukannya yang sudah diatur dalam SK, menurut Direktur RAPP, Mulia Nauli, tidak ada alasan bagi masyarakat untuk takut pemukiman dan budidaya lahan mereka masuk dalam kawasan perusahaan, atau Pulau Padang akan tenggelam karena kerusakan lingkungan. “Justru kehadiran kami di sana malah membantu pembangunan infrastruktur masyarakat seperti jalan, menutup akses pembalakan liar, membuka lapangan kerja bagi masyarakat tempatan, menjadikan para kontraktor lokal sebagai mitra, dan banyak hal-hal positif lainnya. Kami juga memiliki program community development (CD) bagi masyarakat tempatan. Jadi, masyarakat tak perlu takut dan cemas dengan adanya areal HTI kami di sana,” jelas Mulia Nauli.

Sejak SK Nomor 327 dikeluarkan dan operasional HTP RAPP dimulai di Pulau Padang, konflik sosial muncul dengan penolakan minoritas kelompok warga yang mengklaim mewakili masyarakat Pulau Padang dari beberapa LSM, termasuk STR. Mereka menuntut pencabutan SK tersebut, dan melakukan demonstrasi baik di Pulau Padang, Selatpanjang, Pekanbaru, hingga aksi jahit mulut di Gedung DPR/MPR Senayan Jakarta yang membuat masalah ini mendapat sorotan publik. Konflik horizontal pun terjadi dengan tindakan kriminal yang dilakukan orang tak dikenal dengan melakukan pembakaran terhadap alat berat dan base camp perusahaan kontraktor RAPP, termasuk pembunuhan dengan penembakan terhadap operator alat berat.

Pada Senin (30/5/2011)  2 eksavator PT Sarindo dan 2 camp PT RAPP dibakar di Dusun Sei Hiu Desa Tanjung Padang. Pada 28 Juni 2011, satu eksavator PT Sarindo kembali dibakar orang tak dikenal di Dusun Sei Kuat Desa Lukit. Yang terakhir adalah pembakaran dua eksavator dan pembunuhan terhadap salah seorang operatornya milik CV Exparindo Agung Pratama pada 13 Juli 2011 di Dusun Sei Kuat Desa Lukit.  Teror  ini membuat kondisi Pulau Padang mencekam karena warga, pegawai dan pekerja perusahaan ketakutan. Yang terjadi kemudian, aktivitas produksi di Pulau Padang dihentikan sementara, dan dibentuk tim mediasi pada 27 Desember 2011, yang akhirnya keluar keputusan Menhut bahwa aktivitas HTI di sana tetap bisa dilanjutkan dengan berbagai persyaratan dan taat aturan serta saling menghormati rasa keadilan masyarakat dan perusahaan.

***

HAMPIR senja, sekitar pukul 16.15 WIB, setelah keliling di hampir semua kawasan pulau dan sempat land-over di salah satu base camp milik salah satu kontraktor untuk istirahat sejenak, helikopter akhirnya kembali ke Pekanbaru dengan rute di atas Kabupaten Pelalawan.

Tak jauh beda dengan saat berangkat, pemandangan dari udara memperlihatkan kawasan hijau baik hutan alam, perkebunan kelapa sawit, kawasan HTI, beberapa pabrik pengolahan kelapa sawit, pabrik RAPP yang terus mengeluarkan asap, hingga kawasan padat rumah ketika masuk Pekanbaru.

Ada benang merah yang bisa disimpulkan dari perjalanan ini, terkait banyaknya konflik agraria yang terjadi di Riau, yakni menyelesaikan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dengan berpihak pada rasa keadilan masyarakat dan tetap menghormati variabel-variabel pertumbuhan ekonomi. Meminimalisir konflik agraria yang bisa muncul sewaktu-waktu dengan mencari solusi dan jalan tengah, adalah cara terbaik agar iklim investasi tetap tumbuh.

“Kami siap bersama masyarakat untuk tumbuh dan berkembang di pulau ini, dengan asas saling menghormati dan menghargai, serta saling menguntungkan,” teringat apa yang dikatakan Tony Wenas saat berkunjung ke Riau Pos, Rabu (25/1) lalu.

Saling menghormati dan menghargai, itu yang paling penting.***









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook