SETENGAH ABAD TARI PERSEMBAHAN MAKAN SIRIH

”Kasih Segantang, Sayang Secupak’’

Feature | Minggu, 05 Januari 2014 - 08:43 WIB

”Kasih Segantang, Sayang Secupak’’
Dua orang perempuan penari tari persembahan tengah menyuguhkan sirih kepada tamu di satu acara di Pekanbaru beberapa waktu lalu. Tari persembahan Riau diciptakan pertama kali tahun 1958. Foto: Dok. Riau Pos

Gerak nan gemulai. Musik nan mengalun Sayu. Lagu disenandung begitu merdu. Tepak dibawa, sirih dipersembahkan. Tari Persembahan penyambut tamu.

Laporan Fadli Muallim, Bagan Siapi-api

Baca Juga :Sampaikan Pesan Pemilu Damai ke Nelayan yang Sedang Melaut

PADA 1958, Soekarno, presiden pertama RI dijadwalkan mengunjungi provinsi Riau yang baru saja dimekarkan dari Sumatera Tengah lewat UU nomor 61/1958. Kunjungan itu tidak terjadi, namun tarian persembahan untuk menyambut sang proklamator tetaplah tercipta. ‘’Idenya dari OK Nizami Jamil dan Johan Syarifuddin, mereka menggubah tarian penyambutan dengan nama Tari Makan Sirih,’’ cetus ketua Dewan Pengurus Harian Lembaga Adat Melayu (DPH LAM) Riau H Zulkifli ZA, Sabtu (4/1).

Hujan tengah gerimis sore itu, duduk berselonjor santai Zulkifli bersemangat menceritakan tentang perjalanan tari yang belakangan dikenal sebagai Tari Persembahan (TP).

Awalnya terang dia, konsep tarian dibawakan secara berpasangan melibatkan delapan orang penari. Tapi inspirasi tidak mengenal kata henti, berbagai inovasi terus dilakukan. Pada 1969 ketika Riau diminta tampil pada Pekan Raya Jakarta, tarian itu kembali ditampilkan pada era Soeharto. Di sini seniman Yuniamir, Ghalib Husein mengusulkan kepada OK Nizami agar tarian tersebut digarap lebih menarik lagi.

‘’Lalu diolah tidak lagi berpasangan tapi hanya tujuh peserta saja, seluruhnya perempuan. Semua juga sepakat bukan tarian Makan Sirih lagi tapi TP alias Tari Persembahan,’’ ujar Zulkifli.

Dalam perjalanannya, TP mengalami perkembangan, beberapa daerah di Riau menurut Zulkifli memiliki penampilan tersendiri saat menyajikan TP. Beberapa diantaranya bahkan terkesan sembrono. ‘’Ada yang menari sambil membawa payung, padahal di dalam ruangan,’’ ujar Zulkifli menyebutkan contoh.

Selama ini dapat ditengok selanjutnya bagaimana TP tidak seragam. Masing-masing berbeda menurut versi masing-masing. Maka muncullah keinginan dari LAM Riau sejak 2012 lalu bagaimana agar tarian tersebut dibakukan saja. Di daerah lain seperti Sumbar, Jambi dan Aceh memiliki tarian penyambutan tamu yang boleh dikatakan tetap.

Karena itulah, maka LAM Riau melakukan Sosialisasi Pembakuan Tari Persembahan Melayu Riau, yang dipusatkan pelaksanaannya di gedung LAM Rohil, kemarin. Puluhan peserta dari unsur pendidik, dan siswa antusias berlatih. ‘’Ini gerakannya betul-betul diramu, waktunya diperhitungkan dan yang terpenting tidak meninggalkan budaya Melayu. Di mana gerakan yang tak sesuai dibuang,’’ ujarnya.

TP merupakan tarian dalam rangka menyambut kedatangan tamu baik dari dalam maupun luar daerah, yang posisinya dipandang layak diberikan penghormatan. Hal ini sebagai perlambang bahwa Melayu sangat menghormati tamu. Untuk tanda kesucian hati disuguhkan sirih dalam Tepak yang ditelungkupkan. Di dalamnya terdapat gagang dan daun sirih dan terdapat kapur, gambir, pinang dan tembakau. Di sampingnya juga disisipkan Kacip (pemotong pinang). Ke arah mana gagang sirih di situlah posisi kepala kacip diletakkan.

Ini secara simbolis menonjollkan kebudayaan Melayu yang santun dan Islami dengan pakaian para penari menutupi aurat. Dari tujuh penari, hanya satu orang saja yang membawa tepak. Si pembawa tepak inilah yang nantinya memberikan sirih kepada tamu yang dielu-elukan. Sirih hanya ditujukan kepada sang tamu, bukan tuan rumah.

Melayu sejak lama dikenal dengan sifat penghormatan yang tinggi terhadap tamu, dulu pada setiap rumah orang Melayu terdapat tepak sirih atau sirih saja yang disediakan pada pinggan, bila kedatangan tamu maka sirih itulah didahulukan sebagai jamuan. Sirih Melintang di Dalam Tepak. Sirih Tersimpan Dalam Peti. Kasih Segantang Sayang Secupak. Kasih Tersemai di Dalam Hati. Inilah kiasan bahasa untuk Tari Persembahan.

Masa kini, pemahaman pemberian sirih pada TP yang perlu dikoreksi karena tak jarang dalam setiap acara seluruh undangan terhormat disodorkan sirih, padahal tak jarang kapasitasnya bukanlah sebagai tamu melainkan masih sebagai tuan rumah.

Ketika misalnya seorang gubernur di undang ke daerah kabupaten maka layak mendapatkan sirih hanyalah gubernur dan beberapa rombongannya saja, sedangkan bupati selaku tuan rumah tidak. Kapasitas bupati jelas sebagai penyelenggara, yang menjamu tamu lewat penampilan dari tujuh penari persembahan tersebut. Posisi penari berada di sebelah kanan tamu sehingga mudah untuk mengambil sirih. Gerakannya mengacu pada Lenggang Patah Sembilan atau Langkah Senandung yang popular sebagai tarian Melayu kawasan pesisir dengan musik pengiring lagu Makan sirih.

Selesai menari, tiga penari akan mendatangi tamu kehormatan, musik pun diganti dengan instrumen lagu Mak Inang Pulau Kampai atau Mak Inang Lenggang. Lagu pengantar ini dipilih sesuai dengan tempo sedang. Tidak laju dan tidak pula lambat sehingga penari memiliki waktu luang untuk menyerahkan sirih dan menutup tepak kembali. Keseluruhan untuk jenis TP yang dibakukan memiliki durasi inti sekitar 5 menit ditambah dengan durasi penyerahan sirih dan membawa tepak kembali yang lamanya tergantung dari jarak penari dengan tamu dimaksud, diperkirakan untuk persembahan TP memiliki waktu total 8-9 menit.

Dari OK Nizami Jamil dan Johan, LAM Riau sejak 2012 merasa penting membakukan TP. Kenyataan bahwa banyak sanggar tari yang cenderung bersentuhan dengan pengaruh koreografi modern yang dinamis, merupakan sesuatu yang kadang berbanding terbalik dengan konsep tarian Melayu yang lemah gemulai.  ‘’Selain itu ada penambahan yang rasanya tidak perlu, banyak kita tengok penyambut tamu memakai bunga mahar, padahal ini tidak termasuk dalam aksesoris persembahan,’’ ujar Zulkifli. Beberapa yang diperhatikan tidak hanya tarian tapi juga menyangkut riasan, aksesoris, pakaian yang dikenal dengan istilah Kebaya Labu atau Baju Kurung Labu menunjukkan arti bahwa pakaian tersebut serba tertutup.

Sementara hiasan pada bagian kepala terdapat bunga goyang Ramin, penari mengenakan anting-anting, Dokuh atau rantai, pending pengikat pinggang dan jika menari di dalam ruangan tidak diperkenankan memakai sepatu.

Zulkifli mengharapkan agar lewat kegiatan yang dilakukan pihaknya dapat dimanfaatkan oleh masyarakat Riau keseluruhan untuk dikembangkan dalam rangka mempertahankan tarian tradisional yang usianya telah mencapai setengah abad itu.***









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook