Ribuan hektare kebun karet milik masyarakat di Kuansing dan Kampar gagal hasil. Kebun karet itu dibangun dari bantuan bibit pemerintah tahun 2001 lalu. Masyarakat kecewa dan marah, tapi tidak tahu kepada siapa diarahkan hingga akhirnya pasrah.
Laporan MUHAMMAD HAPIZ, Kuansing
KECEWA bahkan marah, tapi tidak bisa berbuat apa-apa. Perasaan inilah yang dialami Mantri (39), warga Desa Koto Baru, Kecamatan Singingi Hilir terhadap kebun karet yang ditanaminya sejak tahun 2001 lalu. Kecewa dan marah itu dialamatkannya kepada pemerintah yang dulunya memberikan bantuan bibit bahkan pupuk untuk penanaman.
‘’Bagaimana tidak marah. Dua hektare kebun karet yang kami tanami dulu, hasilnya sedikit sekali, malah kalah dibandingkan dengan pohon karet kampung (pohon karet yang ditanami langsung dari biji karet, red). Dua hektare satu hari hanya dapat 6-8 kilogram. Sekali menimbang, atau 15 hari sekali palingan dapat Rp900 ribu atau lebih sedikitlah. Makanya kami upahkan saja untuk menakiknya. Itupun sulit yang mau karena hasilnya sedikit, kerjanya banyak,’’ kata Mantri kesal.
Mantri adalah satu dari ratusan warga Desa Koto Baru, Kuansing dan sebagian lagi warga Lipat Kain Kampar Kiri yang memiliki kebun karet yang tidak menghasilkan disebabkan bibit bodong alias palsu bantuan pemerintah tahun 2001 lalu. Disebutkan, bantuan bibit pada masa itu diberikan kepada siapa saja warga desa yang memiliki lahan dan dikatakan merupakan bibit berkualitas bagus alias bersertifikat. Tapi setelah masa penyadapan dimulai, hasil yang diharapkan jauh dari yang diharapkan.
M Rasyid (71), tokoh masyarakat Desa Koto Baru, Singingi Hilir mengungkapkan, lebih dari seribu hektare kebun karet yang bernasib sama. Sudah memasuki tahun ke 13 masa tanam, seharusnya getah karet yang dihasilkan semakin baik dan banyak. Tapi sebaliknya, getah karet tidak kunjung banyak hasilnya, malahan banyak yang mulai mati. ‘’Sudah banyak pohon karet yang mati. Tidak tahu sebabnya apa. Masyarakat pasrah saja. Ya mau dibilang apa lagi. Kita juga salah waktu itu mau saja percaya dengan bibit yang diberikan pemerintah,’’ ucapnya.
Diceritakan Rasyid yang juga salah satu pengumpul karet masyarakat Desa Koto Baru, pada tahun 2001 itu, diumumkan melalui desa bahwa bagi yang memiliki lahan bisa memperoleh bantuan bibit karet dan pupuk. Bantuan bibit dan pupuk disebutkan dari Pemerintah Provinsi Riau. Pada saat bibit karet datang, maka berebutanlah warga mengambilnya. Sedangkan untuk bantuan pupuk, ujarnya diberikan bertahap. ‘’Kalau tidak salah selama setahun, dua bulan sekali diberikan pupuk. Warga sendiri yang menanam dan memupuknya. Pokoknya asalkan mau menanam dan memupuk, silahkan ambil bantuan bibit,’’ ucapnya.
Harapan masyarakat waktu itu kata Rasyid cukup tinggi. Hanya bermodalkan lahan yang memang dimiliki warga sedari dulu, kemudian ditambah tenaga untuk mengolah lahan, lima atau enam tahun kemudian bisa dijadikan penopang hidup keluarga dengan hasil getah yang disadap. Perbandingan warga pada waktu itu adalah getah kampung saja hasilnya bisa sampai 15-20 Kilogram/hari/hektare, apalagi kalau bantuan pemerintah, diyakini akan lebih baik.
‘’Tapi kecewa, marah. Mau kepada siapa marah. Apalah masyarakat desa ini, tidak tahu berpolitik. Sering dibohongi. Semua sudah tahu atas kondisi ini. Pemerintah juga sudah tahu. Tapi tidak ada solusi. Diam saja mereka. Lebih baik kami waktu itu menanam karet kampung lagi, lebih baik hasilnya. Apa mau dikata, nasi sudah menjadi bubur. Biarkan sajalah begitu, kalau ada yang mau menakik kebun karet, ditakiknya. Tapi banyak yang dibiarkan begitu saja. Mau diganti bibit baru, tentu yang harus lebih baik. Modalnya dari mana,’’ ucap Rasyid.
Salah satu semangatnya warga untuk menerima bantuan bibit pemerintah pada waktu itu berkaca pada program pembangunan kebun karet SRDP atau bantuan bank dunia masa pemerintahan orde baru tahun 1980-an dulu. Masa itu, bibit dan pupuk dibantu, termasuk diberikan pelatihan singkat menanam dan mengelola kebun karet. Hasil kebun karet SRDP tersebut memang lumayan.
‘’Hasil karet SRDP itu bisa sampai 30-40 kilogram sehari. Kalaulah seperti itu bibit yang diberikan, sudah kaya-kaya masyarakat disini. Kalau 40 Kg sehari, dikali saat ini Rp10 ribu/kilogram, berarti Rp400 ribu gaji warga perharinya. Taruhlah dalam sebulan 20 hari menakik dikarenakan hujan atau kendala lain, berarti Rp8 juta pendapat warga perbulannya. Tapi kalau bibit yang sekarang ini, perbulannya ada yang dapat Rp1,2 juta, ada Rp1,4 juta, ada malah yang hanya Rp800 ribu/bulan. Saya juga punya dua hektare dan hasilnya cuma sekitar Rp700 ribu/bulan karena sebagian pohonnya sudah mati. Semestinya ini tanggungjawab pemerintah, karena mereka yang membohongi kita. Bisa tidak dituntut,’’ tanya Rasyid.
Berbeda dengan Raysid yang terlihat pasrah, Rasidi warga setempat menyuarakan seharusnya pemerintah bertanggungjawab terhadap persoalan ini. Setidaknya, pemerintah mendata kembali kebun yang gagal hasil tersebut dan dibantu untuk melakukan replanting atau penanaman kembali. Rasidi yang juga memiliki kebun karet gagal hasil namun tergolong berhasil mengembangkan kebun karet lain dengan mencari bibit langsung ke balai penelitian sungai putih Sumatera Utara ini mengutarakan pemerintah semestinya bisa mengusahakan bibit berkualitas bagus dan memberikan pupuk penanaman.
‘’Pola SRDP dulu bisa ditiru. Bibit disediakan, pupuk juga disediakan, dan warga yang bercocok tanam didampingi oleh penyuluh pertanian. Apalah sulitnya melakukan hal itu. Daripada anggaran daerah ini habis untuk foya-foya, lebih baik diberikan untuk petani dengan tepat guna. Bukan seperti yang saat ini. Sengsara yang dialami warga. Kalau seribu hektare lahan yang gagal itu diberdayakan, sudah berapa pendapatan warga, berapa pula pemasukan negara dari pajaknya. Pemerintah harus bertanggungjawab tidak diam saja,’’ papar Rasidi yang memiliki kelompok tani Embun Pagi ini.
Kepala Dinas Perkebunan Provinsi Riau, H Zulher mengaku mengetahui perihal nasib yang dialami sebagian petani kebun karet di Kuansing dn Kampar tersebut. Ia membenarkan bahwasanya bibit yang diberikan pada tahun 2001 itu, bukanlah jenis bibit karet penghasil latek atau getah karet. Akan tetapi termasuk golongan bibit karet pengasil kayu. Diceritakannya, pada waktu itu dilakukan skala besar kegiatan penghijauan dan salah satu bibit yang disiapkan adalah jenis karet.
‘’Itu program pusat dalam hal ini kehutanan. Memang benar itu bantuan pemerintah. Bibit itu diberikan untuk program reboisasi atau penghijauan yang tahun 2001 itu besar-besaran dilaksanakan. Jadi wajar saja jika hasil getahnya tidak banyak karena ditanam untuk diambil kayunya, bukan getahnya. Tapi sebagian besar masyarakat itu bibit karet sama saja, tetap penghasil getah. Makanya juga disadap, sehingga hasilnya sangat sedikit. Satu hektar palingan 4-5 kilogram,’’ ujar Zulher.
Dengan keadaan yang sudah dialami masyarakat tersebut, apa bentuk tanggungjawab pemerintah? Zulher tidak menjawab pasti solusi apa yang bisa diberikan kepada masyarakat yang telah menanggung asa tersebut. Ia hanya menyebutkan bagi masyarakat yang ingin mengganti kebun karetnya yang gagal tersebut dengan bibit yang bagus tapi tidak memiliki dana alias ingin dibantu pemerintah, bisa mengajukan proposal kepada Dinas Perkebunan Provinsi Riau melalui pemerintah setempat. Pemerintah sebut dia akan menyediakan bibit yang berkualitas bagus dan bersertifikasi sehingga ada jaminan mutunya akan bagus dikemudian hari.
‘’Tapi bagi yang memiliki dana sendiri, artinya tidak ingin menunggu, silahkan tanam kebun dengan bibit yang berkualitas bagus. Dinas Perkebunan Provinsi Riau mengetahui bagaimana caranya masyarakat bisa mendapatkan bibit bagus itu. Silahkan datang atau berkonsultasi. Karena kalau salah memilih bibit, maka akan menuai sengsara hingga 30 tahun yang akan datang,’’ ujar Zulher.
Zulher kemudian menjelaskan, Provinsi Riau merupakan daerah yang memiliki perkebunaan karet terluas di Indonesia. Mayoritas kebun karet di Riau merupakan petani swadaya alias dimiliki masyarakat sendiri. Akan tetapi luasnya kebun karet ini tidak sebanding dengan hasil yang diharapkan, malah banyak menimbulkan kekecewaan.
Semestinya, jika kebun karet sejak awal ditanam menggunakan bibit bagus dan dilakukan perawatan yang baik, hasil yang didapati akan lebih baik dibandingkan kebun kelapa sawit. Mantan Sekdakab Kampar ini menghitung-hitung, satu hektare karet satu hari bisa menghasilkan sampai 40 Kilogram getah karet. Jika dikalikan Rp15 ribu/kilogram harga karet kualitas baik ditingkat petani, maka penghasilan perhari mencapai Rp600 ribu.
‘’Taruhlah dalam sebulan hanya bisa disadap 15 hari, Rp9 juta. Kalau punya dua hektare, lebih besar daripada gaji saya sebulan. Kalau dibandingkan dengan sawit, satu hektare kualitas baik taruhlah mencapai 2 ton. Dengan harga Rp1.500/kilogram, berarti hasilnya Rp3 juta. Satu bulan bisa dua kali panen, hasilnya Rp6 juta. Masih kalah Rp3 juta dibandingkan Karet.
Ditambah lagi positifnya, ikut pula program penghijauan karena karet merupakan tanaman bertajuk dan dikategorikan sebagai tanaman hutan. Kalau masyarakat tahu bahwa sebenarnya hasil karet ini lebih besar ketimbang sawit, tentu banyak yang akan beralih. Karena sekarang kita kawatir, demam sawit di Riau ini sudah cukup parah sampai-sampai melakukan pengrusakan lingkungan dengan menebang hutan sembarangan. Sudah begitu, hasilnya tidak pula memadai karena bibitnya tidak bagus,’’ papar Zulher.
Apakah bisa pemerintah menangkal atau menertibkan penjualan bibit palsu atau tidak bersertifikat? Zulher menyampaikan tindakan pemerintah tidak bisa terlalu jauh melakukan hal itu. Artinya, pemerintah bisa melakukan uji sertifikasi melalui balai tertentu atau merekomendasikan panangkaran yang sesuai dengan standar. Kesadaran dan kemauan masyarakatlah kata dia yang mesti ditingkatkan jika ingin mendapatkan hasil perkebunan yang memiliki hasil tinggi.
Dilema yang terjadi saat ini ditingkat petani, sebagian besarnya masih kurang sadar dan paham cara bertani yang tepat dengan menggunakan bibit yang berkualitas baik. Dan memang, ucap Zulher, salah satu kendalanya adalah lemahnya modal sebab untuk mendapatkan bibit yang berkualitas baik harganya juga cukup tinggi. Hal ini ditekankan Zulher tidak hanya berlaku bagi bibit karet, tapi juga sawit.
‘’Misalnya untuk mendapatkan bibit sawit yang berkualitas tinggi itu harganya bisa mencapai Rp45 ribu satu batangnya. Sementara, masyarakat terbiasa membeli bibit murah hanya Rp5 ribu perbatangnya. Memang ringan modal diawal, tapi derita yang dilalami selama puluhan tahun karena hasil tidak memadai,’’ jelasnya.
Salah satu upaya pemerintah, dalam hal ini Dinas Perkebunan Provinsi Riau katanya dengan mempersiapkan bibit-bibit berkualitas bagus yang akan diberikan kepada petani swadaya. Akan tetapi, sebut dia, petani yang menerima harus memiliki kelompok tani dan mengajukan proposal. ‘’Jadi pemerintah akan membantu petani swadaya melalui kelompok tani. Sampaikan proposalnya kepada kita dan dibantu bibit yang benar-benar bagus kualitasnya,’’ janji Zulher.***