27 NEGARA BAHAS MASA DEPAN BISNIS KELAPA SAWIT DI BANDUNG (2-HABIS)

Biodiesel, Biodiesel dan Biodiesel Jadi Penentu

Feature | Rabu, 04 Desember 2013 - 09:53 WIB

Biodiesel, Biodiesel dan Biodiesel Jadi Penentu
Buah sawit saat akan dimasukkan ke mesin pengolah di Pabrik Kelapa Sawit (PKS) Sungai Pagar, Kampar, beberapa waktu lalu. Foto: dok RIAU POS

Ketika krisis ekonomi global di Eropa, harga yang tidak stabil karena mekanisme pasar, hambatan perdagangan yang dikenakan oleh negara tujuan ekspor, isu lingkungan dan kesehatan, namun sebuah harapan besar masih terbentang. Tahun 2014, tren harga minyak sawit mentah (CPO) di pasar dunia diperkirakan membaik.

Catatan Mhd Nazir Fahmi

Baca Juga :Sampaikan Pesan Pemilu Damai ke Nelayan yang Sedang Melaut

Hari kedua pelaksanaan 9th Indonesia Palm Oil Conference and Price Outlook 27-29 November 2013, Bandung, harapan-harapan itu makin terlihat jelas.

Prospek positif ini tentu bisa dimanfaatkan sebagai momentum untuk memperkuat fondasi industri minyak sawit nasional sebagai penopang pertumbuhan ekonomi nasional yang berkelanjutan.

Setelah memasuki masa-masa berat sepanjang tahun ini, pelaku industri kelapa sawit boleh bernafas lega. Tahun 2014, harga CPO diperkirakan bergerak lebih tinggi dibandingkan harga rata-rata sepanjang tahun ini.

Sejumlah faktor akan ikut mengerek kenaikan harga CPO tahun depan, antara meningkatnya permintaan minyak sawit sebagai salah satu bahan biodiesel, khususnya permintaan dari pasar Asia.

Chairman Medco Group, Arifin Panigoro menegaskan optimismenya bahwa biodiesel adalah solusi untuk mengatasi krisis energi di dunia. Dan minyak sawit mentah akan menjadi bahan baku utama biodiesel.

‘’Untuk mengatasi krisis energi, minyak kelapa sawit adalah jawaban yang baik. Hal ini disebabkan karena tingginya produktivitas, suplai yang memadai, dan harga minyak sawit yang jauh lebih murah dibandingkan minyak nabati lainnya,’’ kata Arifin.

Di tengah krisis energi dunia, kata Arifin, Indonesia bisa menciptakan ketangguhan energi. Ini bisa dicapai dengan melaksanakan skenario tiga tahap.

Yaitu pertama, meningkatkan kapasitas produksi biodiesel yang ada saat ini. Ini seharusnya dilakukan dari sekarang hingga 2016. Kedua, melakukan substitusi 50 persen impor diesel yang berlangsung dari 2016 hingga 2020. ‘’Skenario kedua ini bisa menyelamatkan devisa negara hingga 10,8 miliar dolar AS,’’ katanya.

Sedangkan skenario ketiga adalah menggantikan 100 persen minyak diesel yang dapat dilakukan dari 2020 hingga 2025. ‘’Pada masa ini, keperluan impor diesel akan mencapai 58,8 juta kiloliter,’’ kata Arifin.

Selain tentang biodiesel, Arifin juga menyinggung tentang kampanye negatif dan hambatan baik tarif maupun non-tarif terhadap minyak sawit.

Kata dia, Indonesia harus mampu melakukan diplomasi terbaik untuk menjawab tekanan dari negara-negara maju khususnya dari Amerika dan Uni Eropa. Selain itu, pemerintah Indonesia juga harus terlibat secara aktif dalam setiap diplomasi terkait dengan masalah CPO.

‘’Makanya, pemerintah dan pengusaha sawit harus meningkatkan kerja sama mereka, sehingga mampu menghadapi krisis yang terjadi tanpa harus kehilangan pasar,’’ katanya.

Dalam pada itu, pada pemaparannya, Chairman LMC International Ltd, James Fry menyebutkan kebangkitan pasar minyak sawit, berarti penurunan pasar minyak nabati lain, terutama minyak biji-bijian.

Ekonom lulusan Oxford University Inggris ini mengatakan,   harga minyak nabati seperti minyak kedelai, rapeseed, dan bunga matahari akan sangat dipengaruhi oleh pergerakan harga CPO.

Jika harga CPO tertekan, harga minyak biji-bijian juga akan lebih rendah. Namun stimulus untuk mendorong program biofuel di sejumlah negara Asia, mengangkat permintaan minyak sawit mentah di kawasan tersebut.

‘’Harga CPO akan menjadi lebih tinggi jika permintaan minyak biji-bijian lebih banyak. Namun dalam situasi sekarang, di mana ada restriksi terkait pemanfaatan minyak sawit untuk biofuel di Uni Eropa, ada kemungkinan permintaan minyak nabati untuk bahan pangan di pasar Cina dan India akan beralih dari minyak sawit ke minyak biji-bijian,’’ kata Fry.

Fry mengatakan, perilaku pergerakan harga minyak nabati sejak 2007, seakan-akan mengikuti kompleksitas fluktuasi harga minyak bumi.

Dalam membandingkan pergerakan harga CPO dengan harga minyak bumi (minyak mentah), acuan harga minyak mentah yang sering digunakan adalah Brent Noth Sea.

Karena CPO adalah satu-satunya produk minyak nabati yang pergerakannya mendekati acuan harga minyak mentah Brent North Sea.

‘’Selain, faktor dorongan permintaan karena program biodiesel, faktor cuaca juga ikut memperanguhi tren harga tahun depan,’’ kata Fry.

Kata Fry, produksi minyak sawit tahun depan akan membaik karena curah hujan yang tidak setinggi tahun ini. Faktor iklim yang membaik akan meningkatkan jumlah produksi, namun kondisi ini tidak akan mendorong terjadinya kelebihan pasokan CPO mengingat daya serap pasar yang tinggi.

Baik selain karena permintaan CPO sebagai bahan pangan, juga didorong permintaan minyak sawit sebagai bahan baku biodiesel.

Senada dengan Fry, ekonom dari Godrej International Inggris Dorab E Mistry, juga menggarisbawahi program biodiesel yang akan mengangkat permintaan CPO tahun depan. ‘’Tiga hal yang penting dan akan menentukan harga minyak sawit tahun depan adalah biodiesel, biodiesel, dan biodiesel,’’ kata Dorab.

Sebelum menyampaikan prediksi harga tahun depan, ekonom lulusan Bombay University India ini, memaparkan perkiraan perbandingan produksi CPO Indonesia dan Malaysia. Negeri jiran Malaysia menargetkan, produksi CPO hingga akhir 2013 akan mencapai 19,2 juta ton. Sedangkan, produksi CPO di Indonesia hingga akhir tahun ini akan mencapai 27,5 juta ton atau turun sekitar 500 ribu ton dibandingkan produksi CPO sepanjang 2012.  

‘’Untuk Indonesia, sebetulnya produksi antara bulan Oktober 2012 hingga September 2013 lebih tinggi, namun memasuki kuartal terakhir tahun ini produksi melemah jika dibandingkan kuartal terakhir tahun lalu,’’ katanya.

Bagaimana dengan tahun depan? Dorab memprediksi, produksi CPO di Malaysia akan sedikit lebih tinggi dibandingkan produksi sepanjang 12 bulan pada 2013. Diperkirakan, akan naik dari 19,5 juta ton menjadi 19,7 juta ton.

‘’Namun ini juga akan sangat bergantung pada kinerja produksi CPO pada semester kedua tahun depan,’’ kata Dorab dalam konferensi sawit yang dibuka oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono itu. Indonesia, justru akan mencatatkan kinerja produksi yang lebih baik daripada Malaysia.

Dorab memprediksi, memasuki kuartal kedua tahun depan, produksi minyak sawit mentah Indonesia akan semakin menguat. ‘’Hingga akhir 2014, diperkirakan bisa mencapai 31,5 juta ton,’’ katanya.

Terkait harga, Dorab juga menyampaikan rasa optimistisnya.

‘’Harga minyak sawit mentah sudah dalam perjalanan menuju angka 2.700 ringgit. Antara sekarang hingga Maret 2014, harga CPO akan bergerak antara 2.600-2.900 ringgit. Bahkan, bukan tidak mungkin, harga CPO di pasar berjangka akan menyentuh level 3.000 ringgit pada Maret 2014. Tentu kenaikan harga ini juga akan dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah Brasil yang juga menetapkan mandatory biodiesel,’’ kata Dorab.

Selain menyampaikan analisis dan prediksi harga CPO tahun depan, di depan sekitar 1.390 peserta konferensi dari 27 negara, Dorab juga menyampaikan pujian terhadap industri sawit di Indonesia.

‘’Anda di Indonesia sangat beruntung karena memiliki pemerintah yang sangat mendukung industri kelapa sawit, termasuk aspek kesejahteraan dan kemakmuran yang dihasilkan oleh industri ini,’’ kata Dorab yang langsung disambut tepuk tangan gemuruh peserta konferensi.

Dorab mengatakan, dirinya bangga dan telah melihat bagaimana pemerintah Indonesia telah bekerja sama dengan baik dengan para pelaku industri hulu kelapa sawit.***









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook