MEREKA MENITI MIMPI, MEREKA MENUAI APRESIASI

Rumah-Tanah Menunggu di Manado dan Konawe

Feature | Rabu, 04 Agustus 2021 - 10:13 WIB

Rumah-Tanah Menunggu di Manado dan Konawe
Apriyani Rahayu dan Greysia Polii meluapkan kegembiraan setelah mengalahkan pasangan Cina Jia Yifan/Chen Qingchen untuk meraih medali emas, Senin (2/8/2021). (AFP)

Raihan emas Greysia Polii dan Apriyani Rahayu adalah buah perjuangan memulai impian dengan menyeberang ke Jawa, berlatih memakai raket yang senarnya disambung, dan mencueki cibiran masonggi.

Laporan JPG, Jakarta


AMIRUDDIN Pora ingat betul sejumlah orang mencibir kemampuan bulutangkis sang putri. Yang posturnya disebut tak ideal, yang dibilang kuat cuma karena masonggi alias makannya banyak.

"Padahal, Ani itu memang tiap hari berlatih keras dan disiplin. Sejak usia 3 tahun, dia juga senang main badminton," kata Amiruddin kepada Kendari Pos (Jawa Pos Group).

Beruntung, Ani juga tak terpengaruh segala cibiran tersebut. Dengan raket kayu sederhana, yang senarnya disambung, di lapangan seadanya, upik kelahiran Lawulo, Kecamatan Anggaberi, Kabupaten Konawe, itu tetap fokus berlatih.

Dan, belasan tahun, persisnya kemarin (2/8), dia kemudian memetik ketekunan meniti jalan pedang tersebut. Apriyani Rahayu, si Ani kecil dari Kampung Lawulo nun di Sulawesi Tenggara tadi, berhasil merebut emas ganda putri Olimpiade Tokyo 2020 berpasangan dengan Greysia Polii.

"Dia (Apriani Rahayu, red) sudah mencapai apa yang dicita-citakan. Saya tidak pernah membayangkan Ani menjuarai Olimpiade," ujar Amiruddin saat ditemui setelah menonton bareng penampilan anaknya melalui televisi di rumahnya, kemarin.

Greysia maupun Apriyani sama-sama menunjukkan ketertarikan besar pada bulutangkis sejak usia belia. Pengikat lain keduanya: determinasi yang kuat.

Apriyani, misalnya, mewarisi minat dan bakat bulutangkis dari sang mama, Sitti Jauhar (almarhumah), jagoan bulutangkis antarinstansi di lingkup Pemkab Konawe.  "Tapi, mamanya tidak mau berikan raket yang bagus. Jadi, disambung-sambung itu (senar raketnya)," kenangnya.

Pada usia 6 tahun, Greysia juga meninggalkan Manado menuju Jakarta untuk memburu impian menjadi pebulutangkis. Dia berlabuh di PB Jaya Raya, salah satu klub bulutangkis besar di Tanah Air.

Minimnya fasilitas, terutama lawan tanding setara, dan turnamen memang membuat bakat-bakat bulutangkis dari luar Jawa harus menyeberang ke Jawa. Klub-klub besar badminton berpusat di sini. Lewat perantaraan Yuslan Kisra, yang kala itu menjadi wartawan Waspada, Apri akhirnya bisa dibina di klub yang dipandegani juara dunia 1993 Icuk Sugiarto: PB Pelita Bakrie. Itu setelah dia mendapat telepon dari rekannya di Konawe bernama Akib Ras, salah seorang pengurus PBSI, setelah Apri merebut tiga emas di Porprov Sulawesi Tenggara.

Awalnya, Icuk meminta waktu tiga bulan untuk memantau, lalu ditambah tiga bulan lagi. Kemampuan Apri ternyata terus berkembang. "Mas Icuk sejak awal melihat kemampuan Apri dan karakternya juga bagus. Mulai semangat, kemauan, hingga kerja keras," kata Yuslan yang kini menjadi aparatur sipil negara di Kementerian Pemuda dan Olahraga kepada Jawa Pos (JPG).

Greysia dan Apri berprestasi internasional sejak level junior. Greysia merebut perunggu pada Kejuaraan Bulutangkis Junior Asia 2004 dari nomor beregu putri dan ganda putri berpasangan dengan Heni Budiman serta perak di nomor ganda campuran berduet dengan Muhammad Rijal.

Berselang 10 tahun kemudian, Apri juga merebut perak ganda putri Kejuaraan Dunia Junior berpasangan dengan Rosyita Eka Putri. Setahun kemudian, dia meraih perunggu dari nomor yang sama. Meski sama-sama jebolan Jaya Raya, karena usia terpaut jauh, keduanya baru bertemu di Pelatnas Cipayung. Dan, mereka ternyata langsung "berjodoh."

Di bawah bimbingan Eng Hian, Greysia menjadi mentor bagi Apri. Cara menguasai lapangan, cara mengatur serangan, cara mengontrol emosi, semuanya. Perlahan, mereka menembus ketatnya persaingan bulutangkis dunia dari nomor yang bukan kekuatan tradisional Indonesia. Tak mudah. Mereka pun berangkat ke Olimpiade dengan status bukan pemain unggulan.

Namun, ternyata itu menjadi berkah. Mereka tampil lepas, tanpa beban, dan kompak. Keuletan tetap menjadi senjata utama dan tak mudah mati atau minim melakukan kesalahan sendiri menjadi keunggulan lainnya. "Memang ada untungnya datang dengan status sebagai nonunggulan. Kita lihat, dalam Olimpiade Tokyo 2020 ini, banyak unggulan yang tumbang," ujar Ketua PB Jaya Raya Rudy Hartono.

Konawe juga sejenak seperti kota mati kemarin siang. Semua warga terpacak di depan televisi menyaksikan aksi Greysia-Apriyani. Tak terkecuali di rumah Amiruddin. Ketika akhirnya Greysia/Apriyani memastikan kemenangan, seperti disaksikan sendiri oleh JPG, gemuruh pun terdengar dari berbagai sudut.

"Apriyani sudah membuktikan bahwa anak seorang petani juga bisa bersaing di tingkat dunia. Anak desa bisa mengharumkan nama Indonesia di kancah internasional," tutur Amiruddin.

Apresiasi pun mengalir. "Mereka adalah ganda putri terbaik dunia saat ini. Kami tentu akan memberikan apresiasi untuk mereka. Begitu pun kepada atlet-atlet kami lainnya yang berprestasi," ujar Rudy.

Di Konawe, Bupati Konawe Kery Saiful Konggoasa bakal menghadiahkan sebidang tanah bersama rumah kepada Apriyani.

"Saya pribadi juga akan menyumbang lima ekor sapi. Satu jantan dan empat betina. Besok (hari ini, red) saya perintahkan anggota pergi tangkap di ranch (kandang sapinya)," ungkap Kery saat mengadakan konferensi pers di kediamannya di Konawe kemarin.

Terkait dengan hadiah tanah dan rumah, bupati Konawe dua periode itu bakal berkoordinasi terlebih dahulu dengan keluarga Apriyani. Bantuan pribadi berupa 5 ekor sapi itu sengaja diberikan sebagai tabungan Apriyani jika kelak telah pensiun. (*/myw/c14/ttg/jpg)

 









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook