KISAH MBOK KARTI, PENJAJA LOTEK DAN PECAL

’’40 Tahun Jualan, Rumah Masih Kontrak’’

Feature | Minggu, 04 Maret 2012 - 07:11 WIB

 ’’40 Tahun Jualan, Rumah Masih Kontrak’’
40 tahun jualan lotek: Sukarti, pedagang lotek dan pecal di Jalan Sam Ratulangi yang telah berjualan hingga 40 tahun lebih.foto: abu kasim/riau pos

Laporan ABU KASIM, Pekanbaru abukasim@riaupos.com

40 tahun sudah Mbok Karti  menjajakan dagangan berupa lotek dan pecal di pusat kuliner rakyat di Jalan Sam Ratulangi Pekanbaru. Dia adalah generasi pertama yang berdagang di jalan tersebut.

Baca Juga :Sampaikan Pesan Pemilu Damai ke Nelayan yang Sedang Melaut

Meski demikian, dia belum bisa membeli rumah sebagai tempat berteduh. Bersama suami dan cucunya, Mbok Karti masih mengontrak sebuah rumah sederhana dalam  menjalani sisa-sisa usianya.

Sore itu, terik  matahari cukup menyengat. Meski jam di tangan sudah menunjukkan pukul 15.30 WIB, namun tanda-tanda matahari akan meredupkan dirinya belum terlihat.

Panas yang cukup menyengat itu membuat sebagian orang lebih suka memendamkan dirinya dalam ruangan dingin ber-AC.

Namun tidak demikian halnya dengan Sukarti atau sehari-hari dipanggil Mbok Karti. Saat matahari membara menghembuskan hawa panasnya, ia seolah-olah tidak peduli. Dengan cekatan Mbok Karti menyiapkan tenda dan gerobak dorongnya dan bergerak menuju ke Jalan Sam Ratulangi.

Kulit tangan dan wajahnya terlihat keriput, tapi semangatnya terlihat cukup kuat. Terlebih saat mendirikan tenda darurat bongkar pasang sebagai tempat berjualan lotek dan pecal.

Rutinitas seperti ini sudah dilakukan sejak 40 tahun lalu, saat lokasi ini dijadikan pusat jajanan masyarakat.

Mbok Karti tidak sendirian berjualan di daerah itu, masih ada sekitar 16 pedagang lainnya. Mereka menjual berbagai jenis makanan seperti gorengan, kue pukis, martabak, kue-kue basah dan sebagainya.

Para pedagang membuka usahanya dari pukul 15:00 WIB sampai pukul 24:00 WIB. Namun Mbok Karti hanya membuka usahanya sampai pukul 20:00 WIB.   

‘’Sudah satu jam buka, tapi belum ada satupun yang mampir,’’ ujar Mbok Karti saat Riau Pos datang bertandang ke tempat usahanya. Namun, selang beberapa menit berikutnya ada lelaki tua yang mampir ke warungnya dan memesan satu piring lotek.

‘’Pesan lotek sepiring ya mbok,’’ pesan lelaki tua itu dan disambut Mbok Karti dengan cekatan lalu mengolah lotek dan pecal. Makanan yang berbumbu pecal dan bahan sayuran serta sedikit ditambah mie kuning basah itu dalam waktu sekejap telah disajikan kepada pembelinya.

Sambil menunggu para pembeli, Mbok Karti bercerita panjang tentang lokasi penjualan lotek dan pecalnya yang cukup strategis.

Awal 1971 dia tinggal dengan orangtuanya di Jalan Jendral Sudirman, Gang Pertanian, tidak jauh dari tempatnya berjualan saat ini.

Mbok Karti mengisahkan, ibunya sudah meninggal dan bapaknya menikah lagi. Namun setelah itu rumah satu-satunya tempat tinggal dirinya dan keluarga dijual oleh ibu tirinya. Sehingga sejak saat itu dirinya harus mengontrak rumah sampai sekarang.

Sejak itu,  Mbok Karti dan suaminya, Boniran (72) terus menapaki hidupnya dengan berjualan lotek dan pecal.

Selama mengarungi behtera rumah tangga, mereka dikaruniai lima anak, yang saat ini sudah berumah tangga. Ia memiliki 15 cucu, dan cucu dari anak pertama sudah kelas I SMA.

‘’Bayangkan, saking lamanya saya berjualan sudah 40 tahun lebih, kehidupan kami ya begini-begini saja. Meski anak-anak kami dulunya semua tamat SMA dan sudah berkeluarga, tapi nasib kami tetap sama dan rumah pun masih mengontrak,’’ ujarnya dan mengaku saat ini tinggal bersama suami dan tiga cucunya.

Sepi Pembeli

Berjualan lotek dan pecal ini ada suka dan dukanya. Di awal-awal tahun 70-an sampai 80-an memang merupakan masa sulit dan waktu itu Pekanbaru masih kota kecil.

Peningkatan baru setelah tahun 80-an dan waktu itu malah usahanya mempekerjakan lima karyawan.

‘’Kalau dulu cukup maju dan kita mempekerjakan orang lain sebagai karyawan. Tapi sekarang sendiri saja tenaga kita sudah berlebih,’’ ujarnya sambil mengaku berjualan di Sam Ratulangi cukup aman dan tidak ada pungutan.

Kalaupun ada hanya untuk uang kebersihan dan juga biaya listrik per malamnya hanya dikenakan Rp3.000.   

Namun Mbok Karti mengeluhkan usahanya yang terus sepi pembeli. Ini terjadi saat krisis moneter (krismon) melanda Indonesia termasuk Kota Pekanbaru. Sejak krismon, sangat susah. Karena tak ada usaha lain, mau tak mau usaha ini harus tetap digeluti.

‘’Kalau tidak ada untung, kami sekeluarga tidak makan. Karena hasil penjualanya harus dijadikan modal. Apalagi sekarang untungnya sangat kecil,’’ ucapnya sambil mengusap wajah dengan siku kirinya karena terkena percikan kuah lotek yang dibuatnya di dalam penggilang terbuat dari batu.

Modal pun Harus Utang

Diakuinya, sejak 2012 ini, penjualan loteknya terus mengalami penurunan yang sangat drastis. Jika tiga tahun sebelumnya, pembelinya cukup ramai pada Sabtu dan Ahad, sekarang semua hari sama saja dan pembelinya jarang datang.

Namun langganan lamanya, kalau datang mengaku rindu dengan lotek buatannya.

‘’Untuk menghabiskan 2 Kg lotek saja susah. Dalam sehari tidak pernah habis dan bahan yang sudah kita beli terkadang basi dan akhirnya dibuang. Kalau ada pembeli yang datang paling langganan kita yang mengaku kangen dengan lotek Bu De,’’ ucapnya menirukan langganannya yang pernah datang ke tempat penjualan loteknya di Jalan Sam Ratulangi.

Untungnya paling tinggi Rp300.000 dan besok hasilnya dibelikan lagi ke bahan baku. Tapi sisanya hanya cukup untuk makan di rumah. ‘’Sekarang rata-rata pendapatan kita hanya Rp150 ribu. Makanya untuk modal saja kita nombok dan harus berhutang dengan teman lain,’’ tutur Mbok Karti lagi.

Kondisi ekonomi negeri ini semakin parah, membuat dia pesimis hasil penjualan lotek dan pecalnya mampu bertahan lama. Apalagi untuk bertahan hidup lebih lama lagi di tengah persaingan perdagangan yang cukup tinggi di Kota Pekanbaru.

Terlebih, perhatian pemerintah terhadap dirinya tidak ada, sehingga harapan untuk hidup dengan mengandalkan jualan lotek dirasakan sangat susah,

‘’Sepertinya tidak ada harapan lagi, kalau tidak ada pemikiran dari pemerintah terhadap kami. Selama ini kami tidak pernah mendapatkan bantuan, melainkan usaha keras kami,’’ ucap Mbok Karti, sambil mengatakan tinggal di rumah kontrakan dengan dua kamar yang cukup sempit.

Mbok Karti merupakan generasi pertama dan tidak pernah mengganti usaha dengan usaha yang lain. Sejak kondisi jalan Sam Ratulangi sangat kecil dan belum diaspal, sampai kondisi jalan tersebut seperti sekarang. Namun, perkembangan kota yang terus menggeliat ternyata belum mampu mengangkat derajat hidupnya. Sampai saat ini dirinya belum bisa membeli rumah atau sebidang tanah.

‘’Tak bisa untuk apa-apa dari hasil jualan lotek dan pecal. Cuma untuk bayar kontrakan rumah Rp5 juta. Bahkan terkadang tidak tertutupi, untunglah ada anak-anak yang turut membantu,’’ ucapnya seraya mengharapkan pada pemerintah mau mencarikan solusi untuk memberikan lokasi yang lebih baik dari sekarang.

Ia memandang, kondisi tempatnya berjualan sangat tidak memungkinkan, karena tidak ada tempat parkir kendaraan yang akan mampir membeli. Makanya Mbok Karti mengharapkan, ada lahan kosong milik Pemprov Riau agar dapat diberikan untuk lokasi jualannya.

‘’Kita minta gubernur  dan wali kota yang baru terpilih memikirkan kita. Kalau tempatnya memadai kita yakin tempat ini akan ramai dikunjungi orang,’’ ungkap Mbok Karti, sambil menunjuk lahan kosong yang ada dibalik pagar di belakang tempatnya berjualan.

Sekarang banyak yang akan mampir, tapi karena kondisi jalan sempit dan kendaraan yang lewat cukup ramai, tentu yang akan membeli loteknya sedikit terganggu. Karena tidak bisa berlama-lama memarkirkan kendaraan di depan gerobak-nya.

‘’Kalau sekarang yang mau parkir mobil di depan gerobak kita takut diklakson mobil lain yang ada di belakangnya. Makanya kita minta lahan kosong yang ada di belakang diberikan untuk pedagang. Kalau dihitung sewa kita akan bayar,’’ tutur Mbok Karti yang mengaku hanya tamatan sekolah SMP di Pekanbaru.(gem)









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook