HAJI BUSTAMAM, PEMILIK RM SEDERHANA

Tukang Cuci Piring yang Kini Miliki 100 Restoran

Feature | Selasa, 04 Februari 2014 - 07:40 WIB

Tukang Cuci Piring yang Kini Miliki 100 Restoran
Haji Bustamam, pemilik jaringan rumah makan Sederhana. Foto: Padang Ekspres/RPG

Siapa yang tak tahu Rumah Makan dan Restoran Sederhana. Rumah makan khas Minang ini ada di kota-kota besar di Indonesia dan negara tetangga. Siapa sangka, pemiliknya adalah seorang pria rendah hati yang tak berpendidikan tinggi.

Laporan Hijrah Adi Sukrial, Padang

Baca Juga :Sampaikan Pesan Pemilu Damai ke Nelayan yang Sedang Melaut

Cari saja rumah paling besar dan megah di sebelah sana. Itu adalah rumah Pak Haji. Jika ragu, tanya saja sama orang, semuanya pasti tahu kok,” ujar seorang ibu ketika Padang Eks­pres (Riau Pos Group) menanyakan rumah Haji Bustamam, pemilik Rumah Ma­kan dan Restoran Seder­hana yang kebetulan sedang pu­lang ke kampungnya di Na­gari Lubuk Jantan, Lintaubuo Utara, Tanahdatar.

Memang, hampir semua orang di Lintau mengenal Haji Bustamam. Sebab, banyak war­ga Lintau yang bekerja di rumah makan miliknya, selain itu, Pak Haji –panggilan akrab Bustamam,  dikenal sebagai orang der­ma­wan dan banyak mem­berikan sumbangsih untuk kampung halamannya.

Terbaru, bersama tokoh masyarakat Lintau, Fasli Djalal, Novian Zen, Mufidah Jusuf Kal­la dan Haji Mai, dia membantu pendirian Akademi Komunitas Tanahdatar yang dirintis di Nagari Tigojangko, Lintau.

Saat sampai di ru­mahnya, seorang perempuan setengah baya mempersilakan masuk. Saat itu Pak Haji sedang menerima tamu di ruangan yang berseberangan dengan pagar. Ter­nyata tamu yang datang adalah Haji Mai, tokoh masyarakat Lintau. Mereka mem­bicarakan kelanjutan pembangunan Aka­demi Komunitas Tanahdatar di Lintau. Pantas saja hampir semua masyarakat mengenal Pak Haji.

Selain besar, rumah itu juga megah dan ramai dikunjungi orang. Bahkan, di dalam rumah ada meja makan dengan desain prasmanan, semua tamu bisa menikmati makan layaknya makanan di RM Sederhana.

Tak jauh dari rumah itu, Pak Haji juga membangun masjid yang tak kalah megahnya. Karena telah berjanji sebe­lumnya, Haji Bustaman lang­sung menyambut.

Selanjutnya dia mem­bica­ra­kan perjuangannya dari su­sah hingga berhasil dengan antusias. “Orang yang bisa suk­ses adalah orang susah yang menyadari kesusahannya, dan mau berbuat untuk mengubah hidup. Kalau orang sudah tidak sadar susah, dia tidak akan berusaha. Atau, orang yang sadar susah, namun tidak mau berusaha, juga tidak bisa suk­ses,” ujar Pak Haji yang hanya menempuh pendidikan hingga kelas 2 Sekolah Rakyat itu mem­buka percakapan.

Dia mengaku tidak menge­tahui akan mendapatkan ke­suk­sesan di usaha rumah ma­kan. Menurutnya, dia dulu awal­nya sempat bekerja seba­gai cuci piring dan pelayan di rumah sakit.

Kemudian, saat dia bekerja di toko sembako di Jambi, dia menyadari, ternyata kedai nasi itu selalu ramai dikunjungi orang. Melihat itu, dia berdoa dalam hati. “Ya Allah, kapan saya bisa hidup sukses seperti itu,” doa Haji Bustamam dalam hati.

Setelah timbul niat berjua­lan secara mandiri, Bustamam pun merantau ke Jakarta. Dia memulai karir sebagai peda­gang dengan berjualan rokok memakai gerobak di kawasan Matraman. Ternyata ketika itu, orang Minang bentrok dengan warga setempat, Bustamam memutuskan pindah ke Pe­jompongan.

“Akhir tahun 1971 itu, hidup semakin susah. Jualan tidak berkembang, hanya bisa untuk bertahan. Coba yang lain, juga tidak berhasil. Akhirnya saya bersama istri memutuskan un­tuk jualan nasi,” jelasnya.

Bustamam pun mulai men­cari tempat jualan. Sadar tidak mampu menyewa tempat me­wah, dia mendekati tokoh pe­muda atau yang dikenal seba­gai preman di Bendungan Ilir dan dapat menyewa tempat di emperan dengan harga Rp 3 ribu ketika itu.

“Ternyata dua bulan per­tama, jualan saya belum laris. Bahkan, saya harus mendorong gerobak ke Senayan, saat itu ada final Sea Games Indonesia lawan Myanmar. Karena tidak tahu, kami jual nasi dengan harga yang sama. Sementara yang lainnya jual dengan harga lebih mahal. Tentu saja dalam sekejap nasi kami sudah habis,” kenangnya.

Jualan selama 4 bulan, co­baan lainnya datang ke Busta­mam dan istrinya. Ketika itu ada penertiban dari trantib. Setiap orang hanya diberi ruang semeter untuk jualan. Semen­tara untuk dapat tempat harus diundi dulu.

Bustamam pun menyiasati lagi. Dia menemui pihak terkait agar dapat tempat yang stra­tegis tanpa harus diundi. Berkat lobi dan pendekatan yang baik, usahanya berhasil. Dia dapat dua tempat dan saat itu kon­traknya Rp 5.000.

Ternyata, penertiban itu membawa berkah. Setelah di­be­nahi, tempat itu ramai dikun­jungi orang. Bustamam pun ketiban rezeki nomplok, jua­lannya laris manis.

“Semua yang dimasak ha­bis. Saya belanja dan masak, istri melayani pelanggan. Kami belum pakai karyawan karena belum sanggup menggajinya,” ujar Bustamam.

Selama merintis usaha itu, banyak suka duka yang dialami Bustamam. Pernah suatu ketika tangannya tersayat pisau ketika sedang mencukur tunjang. “Ke­tika itu saya menangis. Me­nangis bukan karena sakitnya sayatan, tapi menangis karena susahnya hidup,” ujarnya de­ngan mata berkaca-kaca me­nge­nang perjuangannya.

Perlahan usaha Bustamam berkembang. Awalnya hanya menanak nasi 30 liter sehari, berkembang menjadi 60 liter. Nah, ketika itu, dia kembali dapat cobaan. Kebetulan, un­tuk menambah modal, dia be­kerjasama dengan oknum po­lisi. Melihat kemajuan usa­ha­nya, oknum itu datang tengah malam dan minta tempat be­serta karyawan.

Suatu ketika, Bustamam makan di kedai nasi lain. Ter­nyata, masakan di tempat orang itu lebih enak dari masakannya. Dia pun sadar bahwa dia harus lebih banyak belajar. Dia me­m­beranikan diri minta resep pa­da tukang masak di rumah ma­kan tersebut. Ternyata disam­but baik.

“Tidak hanya dikasih resep, saya juga dikasih teori masak. Yang saya pakai sampai saat ini adalah resep dari tukang masak tersebut. Sayangnya, ketika saya sudah berhasil, saya cari-cari dia tidak ketemu lagi. Padahal jasanya sangat besar pada saya,” ulas Pak Haji.

Pengalaman belajar dari tukang masak itu menjadi pe­micu baginya untuk terus be­lajar. Caranya, di mana pun ada kedai nasi yang ramai, maka dia akan makan di sana dan mem­pelajari kelebihan dan keku­rangan dari saingannya itu. “Saya pelajari trik orang yang maju dan pelajari juga keku­rangan orang yang gagal,” ujar­nya.

Bustamam menceritakan, sebenarnya dia tidak pernah terbayang akan memiliki ca­bang di hampir seluruh Indonesia, seperti sekarang. Na­mun, suatu ketika pelang­gan­nya bernama Eri Sembiring menyarankan agar dia mem­buka cabang, karena mas­a­kannya memiliki kekhasan dan sesuai dengan lidah berbagai suku.

“Saya buka cabang pertama di Pekanbaru pada tahun 2002. Setiap memasuki daerah baru, saya kunjungi kedai nasi yang paling ramai dan mempelajari kelebihan dan kekurangannya. Tujuannya untuk belajar dan mencari peluang. Dari keku­rangannya, kita belajar dan mendapatkan peluang. Intinya, dalam berusaha kita harus me­nguasai kelebihan dan kele­mahan kawan,” paparnya.

Sekarang Haji Bustamam sudah memiliki 100 rumah ma­kan di seluruh nusantara. Di Indonesia dia sudah memiliki cabang di seluruh provinsi, kecuali Papua.

Selain mempelajari kele­bihan dan kekurangan lawan, kiat sukses Pak Haji adalah tidak pernah meremehkan ka­rya­wan. Dia sangat yakin, setiap orang ada kelebihan. “Yang penting memiliki semangat tinggi dan fokus. Kalau ada orang bersemangat namun tidak fokus, maka tidak akan sukses. Apa pun pekerjaan, jangan tang­­­gung-tanggung, karena tidak ada orang yang tanggung-tanggung yang berhasil,” jelas­nya. (rpg)









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook