Siapa yang tak tahu Rumah Makan dan Restoran Sederhana. Rumah makan khas Minang ini ada di kota-kota besar di Indonesia dan negara tetangga. Siapa sangka, pemiliknya adalah seorang pria rendah hati yang tak berpendidikan tinggi.
Laporan Hijrah Adi Sukrial, Padang
”Cari saja rumah paling besar dan megah di sebelah sana. Itu adalah rumah Pak Haji. Jika ragu, tanya saja sama orang, semuanya pasti tahu kok,” ujar seorang ibu ketika Padang Ekspres (Riau Pos Group) menanyakan rumah Haji Bustamam, pemilik Rumah Makan dan Restoran Sederhana yang kebetulan sedang pulang ke kampungnya di Nagari Lubuk Jantan, Lintaubuo Utara, Tanahdatar.
Memang, hampir semua orang di Lintau mengenal Haji Bustamam. Sebab, banyak warga Lintau yang bekerja di rumah makan miliknya, selain itu, Pak Haji –panggilan akrab Bustamam, dikenal sebagai orang dermawan dan banyak memberikan sumbangsih untuk kampung halamannya.
Terbaru, bersama tokoh masyarakat Lintau, Fasli Djalal, Novian Zen, Mufidah Jusuf Kalla dan Haji Mai, dia membantu pendirian Akademi Komunitas Tanahdatar yang dirintis di Nagari Tigojangko, Lintau.
Saat sampai di rumahnya, seorang perempuan setengah baya mempersilakan masuk. Saat itu Pak Haji sedang menerima tamu di ruangan yang berseberangan dengan pagar. Ternyata tamu yang datang adalah Haji Mai, tokoh masyarakat Lintau. Mereka membicarakan kelanjutan pembangunan Akademi Komunitas Tanahdatar di Lintau. Pantas saja hampir semua masyarakat mengenal Pak Haji.
Selain besar, rumah itu juga megah dan ramai dikunjungi orang. Bahkan, di dalam rumah ada meja makan dengan desain prasmanan, semua tamu bisa menikmati makan layaknya makanan di RM Sederhana.
Tak jauh dari rumah itu, Pak Haji juga membangun masjid yang tak kalah megahnya. Karena telah berjanji sebelumnya, Haji Bustaman langsung menyambut.
Selanjutnya dia membicarakan perjuangannya dari susah hingga berhasil dengan antusias. “Orang yang bisa sukses adalah orang susah yang menyadari kesusahannya, dan mau berbuat untuk mengubah hidup. Kalau orang sudah tidak sadar susah, dia tidak akan berusaha. Atau, orang yang sadar susah, namun tidak mau berusaha, juga tidak bisa sukses,” ujar Pak Haji yang hanya menempuh pendidikan hingga kelas 2 Sekolah Rakyat itu membuka percakapan.
Dia mengaku tidak mengetahui akan mendapatkan kesuksesan di usaha rumah makan. Menurutnya, dia dulu awalnya sempat bekerja sebagai cuci piring dan pelayan di rumah sakit.
Kemudian, saat dia bekerja di toko sembako di Jambi, dia menyadari, ternyata kedai nasi itu selalu ramai dikunjungi orang. Melihat itu, dia berdoa dalam hati. “Ya Allah, kapan saya bisa hidup sukses seperti itu,” doa Haji Bustamam dalam hati.
Setelah timbul niat berjualan secara mandiri, Bustamam pun merantau ke Jakarta. Dia memulai karir sebagai pedagang dengan berjualan rokok memakai gerobak di kawasan Matraman. Ternyata ketika itu, orang Minang bentrok dengan warga setempat, Bustamam memutuskan pindah ke Pejompongan.
“Akhir tahun 1971 itu, hidup semakin susah. Jualan tidak berkembang, hanya bisa untuk bertahan. Coba yang lain, juga tidak berhasil. Akhirnya saya bersama istri memutuskan untuk jualan nasi,” jelasnya.
Bustamam pun mulai mencari tempat jualan. Sadar tidak mampu menyewa tempat mewah, dia mendekati tokoh pemuda atau yang dikenal sebagai preman di Bendungan Ilir dan dapat menyewa tempat di emperan dengan harga Rp 3 ribu ketika itu.
“Ternyata dua bulan pertama, jualan saya belum laris. Bahkan, saya harus mendorong gerobak ke Senayan, saat itu ada final Sea Games Indonesia lawan Myanmar. Karena tidak tahu, kami jual nasi dengan harga yang sama. Sementara yang lainnya jual dengan harga lebih mahal. Tentu saja dalam sekejap nasi kami sudah habis,” kenangnya.
Jualan selama 4 bulan, cobaan lainnya datang ke Bustamam dan istrinya. Ketika itu ada penertiban dari trantib. Setiap orang hanya diberi ruang semeter untuk jualan. Sementara untuk dapat tempat harus diundi dulu.
Bustamam pun menyiasati lagi. Dia menemui pihak terkait agar dapat tempat yang strategis tanpa harus diundi. Berkat lobi dan pendekatan yang baik, usahanya berhasil. Dia dapat dua tempat dan saat itu kontraknya Rp 5.000.
Ternyata, penertiban itu membawa berkah. Setelah dibenahi, tempat itu ramai dikunjungi orang. Bustamam pun ketiban rezeki nomplok, jualannya laris manis.
“Semua yang dimasak habis. Saya belanja dan masak, istri melayani pelanggan. Kami belum pakai karyawan karena belum sanggup menggajinya,” ujar Bustamam.
Selama merintis usaha itu, banyak suka duka yang dialami Bustamam. Pernah suatu ketika tangannya tersayat pisau ketika sedang mencukur tunjang. “Ketika itu saya menangis. Menangis bukan karena sakitnya sayatan, tapi menangis karena susahnya hidup,” ujarnya dengan mata berkaca-kaca mengenang perjuangannya.
Perlahan usaha Bustamam berkembang. Awalnya hanya menanak nasi 30 liter sehari, berkembang menjadi 60 liter. Nah, ketika itu, dia kembali dapat cobaan. Kebetulan, untuk menambah modal, dia bekerjasama dengan oknum polisi. Melihat kemajuan usahanya, oknum itu datang tengah malam dan minta tempat beserta karyawan.
Suatu ketika, Bustamam makan di kedai nasi lain. Ternyata, masakan di tempat orang itu lebih enak dari masakannya. Dia pun sadar bahwa dia harus lebih banyak belajar. Dia memberanikan diri minta resep pada tukang masak di rumah makan tersebut. Ternyata disambut baik.
“Tidak hanya dikasih resep, saya juga dikasih teori masak. Yang saya pakai sampai saat ini adalah resep dari tukang masak tersebut. Sayangnya, ketika saya sudah berhasil, saya cari-cari dia tidak ketemu lagi. Padahal jasanya sangat besar pada saya,” ulas Pak Haji.
Pengalaman belajar dari tukang masak itu menjadi pemicu baginya untuk terus belajar. Caranya, di mana pun ada kedai nasi yang ramai, maka dia akan makan di sana dan mempelajari kelebihan dan kekurangan dari saingannya itu. “Saya pelajari trik orang yang maju dan pelajari juga kekurangan orang yang gagal,” ujarnya.
Bustamam menceritakan, sebenarnya dia tidak pernah terbayang akan memiliki cabang di hampir seluruh Indonesia, seperti sekarang. Namun, suatu ketika pelanggannya bernama Eri Sembiring menyarankan agar dia membuka cabang, karena masakannya memiliki kekhasan dan sesuai dengan lidah berbagai suku.
“Saya buka cabang pertama di Pekanbaru pada tahun 2002. Setiap memasuki daerah baru, saya kunjungi kedai nasi yang paling ramai dan mempelajari kelebihan dan kekurangannya. Tujuannya untuk belajar dan mencari peluang. Dari kekurangannya, kita belajar dan mendapatkan peluang. Intinya, dalam berusaha kita harus menguasai kelebihan dan kelemahan kawan,” paparnya.
Sekarang Haji Bustamam sudah memiliki 100 rumah makan di seluruh nusantara. Di Indonesia dia sudah memiliki cabang di seluruh provinsi, kecuali Papua.
Selain mempelajari kelebihan dan kekurangan lawan, kiat sukses Pak Haji adalah tidak pernah meremehkan karyawan. Dia sangat yakin, setiap orang ada kelebihan. “Yang penting memiliki semangat tinggi dan fokus. Kalau ada orang bersemangat namun tidak fokus, maka tidak akan sukses. Apa pun pekerjaan, jangan tanggung-tanggung, karena tidak ada orang yang tanggung-tanggung yang berhasil,” jelasnya. (rpg)