27 NEGARA BAHAS MASA DEPAN BISNIS KELAPA SAWIT DI BANDUNG (1)

Memutus Tudingan sebagai Perusak Lingkungan

Feature | Selasa, 03 Desember 2013 - 10:15 WIB

Catatan MHD NAZIR FAHMI mhdnazirfahmi@riaupos.co

Untuk kali pertama, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono hadir di Indonesia Palm Oil Conference and Price Outlook 27-29 November 2014, Bandung.

Baca Juga :Sampaikan Pesan Pemilu Damai ke Nelayan yang Sedang Melaut

Pertemuan para pelaku di industri sawit ini, sudah yang ke sembilan kalinya diadakan di Indonesia. Setiap tahun peserta terus bertambah. Tercatat 1.360 peserta dari 27 negara terlibat dalam konferensi.

Tahun ini, Indonesia menjadi penghasil terbesar minyak sawit. Ada 9 juta hektare kebun. 25 persen atau 2,2 juta hektare lahan ada di Riau.

Ini menobatkan Riau sebagai provinsi terluas kebun sawitnya di Indonesia. 9 juta hektare lahan menghasilkan minyak sawit 23 hingga 25,7 juta ton. Ini pun menobatkan Indonesia di urutan pertama penghasil kelapa sawit di dunia.

‘’Kita sudah melampaui Malaysia sejak 2006 lalu. Minyak sawit lebih produktif dari minyak nabati lainnya. Kelapa sawit merupakan salah satu keperluan penting dari masyarakat untuk ketahanan pangan dan energi dan sedang digunakan untuk bio fuel,’’ kata Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), Joefly J Bahroeny, di hadapan peserta konferensi.

Menurut Joefly, terdapat banyak kelebihan industri kelapa sawit. Industri ini menyerap tenaga kerja 47 juta orang dan menjadi penghasil devisa terbesar setelah minyak dan gas bumi. Kontribusinya sekitar Rp200 triliun. Hampir tidak ada impor dalam neraca perdagangan minyak sawit.

Selain itu, jelasnya, industri kelapa sawit juga berperan besar dalam pelestarian lingkungan dan rehabilitasi hutan karena menggunakan bekas HPH yang sudah ditinggalkan oleh industri lain.

Secara lengkapnya, industri kelapa sawit mengikuti prinsip pro-job, pro-goods, dan pro-environment. Hanya saja, industri yang sangat menjanjikan ini menghadapi berbagai tantangan dan permasalahan.

Menurut Menteri Pertanian Suswono, saat ini di industri sawit masih rendah tingkat produktivitas perkebunan rakyat karena tidak menggunakan Good Agriculture Practices (GAP). Di samping itu, Perkebunan Inti Rakyat (PIR) perlu peremajaan.

Penyediaan infrastruktur, kata Suswono, juga masih lemah. Dengan luasan 100.000 hektare akan menghasilkan 200-300 ribu ton kelapa sawit. Dukungan infrastruktur yang baik menjadi sangat penting. ‘’Persoalan konflik sosial juga perlu penanganan serius agar tidak mengganggu keberlanjutan industri kelapa sawit,’’ ujarnya.

Yang sangat mengganjal dan menjadi mitos, kata Suswono, adalah isu lingkungan. Kelapa sawit digaungkan sebagai perusak lingkungan. Dikampanyekan beberapa pihak mengurangi keanekaragaman hayati. Deforestasi, efek rumah kaca dan nilai negatif lainnya.

‘’Pada 2006, isu lingkungan didengungkan bahwa kelapa sawit identik dengan kerusakan lingkungan. Makanya, untuk menghadapi semua itu, Indonesia dan Malaysia bekerja sama menghadapi isu tersebut,’’ kata Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, saat memberi sambutan.

Menurutnya, 2010 dan 2013 diadakan diskusi dengan Non Government Organisation (NGO) untuk bekerja sama dengan semua stake holder untuk mengatasi isu lingkungan tersebut. Kemudian disosialisasikan bahwa sawit Indonesia ramah lingkungan dan jangan dihambat di pasar dunia.

Benarkah perkebunan kelapa sawit menjadi penyebab deforestasi? ‘’Itu, absolutely mitos,’’ tegas Direktur Tropenbos International, Dr Petrus Gunarso pada presentasinya dalam IPOC 2013.

Lembaga kajian lingkungan yang berpusat di Belanda ini, telah melakukan banyak penelitian yang hasilnya mematahkan tudingan bahwa sawit adalah penyebab kerusakan lingkungan dan deforestasi.

Menurut lembaga riset yang berbasis di Belanda ini, berdasar hasil penelitian pada 1990-2010, hanya 0,2 persen dari hutan perawan dan 6 persen lahan gambut yang dikonversikan menjadi perkebunan kelapa sawit.

Studi tersebut mencakup tiga negara yaitu Indonesia, Malaysia, dan Papua Nugini. Di Malaysia, konversi menjadi perkebunan kelapa sawit terjadi pada perkebunan karet dan bukan pada hutan perawan.

Petrus Gunarso mengatakan, sustainability atau kelestarian kelapa sawit berfokus pada empat hal yaitu legally correct, enviromentally sound, socially acceptable, dan economically viable. Dalam perkebunan sawit, keempat aspek tersebut bisa diamati bersama-sama terjadi.  

‘’Dengan demikian, keberlanjutan kelapa sawit bukan lagi suatu mitos. Namun untuk mewujudkannya bergantung pada tata kelola, kepastian hukum dari penggunaan lahan, pemahaman mengenai sustainabiity oleh pemerintah serta sinergi antara perkebunan besar dan kecil termasuk petani swadaya,’’ ujar Petrus.

Ia menambahkan, dalam sektor kehutanan, 98 persen lahan dimiliki perusahaan besar dan hanya 2 persen dikelola oleh masyarakat. Namun perkebunan sawit justru membuka kesempatan yang luas bagi petani hingga bisa mengelola sampai di atas 40 persen dari total luasan lahan.

Sementara itu, dalam IPOC 2013, juga dibahas tentang program Partnerhip for Indonesia’s Sustainable Agriculture (PIS Agro). Ini program kemitraan publik dan swasta untuk meningkatkan produktivitas pendapatan petani.   

‘’Melalui PIS, dikenalkan innovative financing, yaitu modul yang dikembangkan bukan hanya mencakup tiga aspek yakni food security, kesempatan ekonomi, dan keberlanjutan lingkungan. PIS Agro diharapkan menjadi pilot project komoditas pertanian,’’ jelas CEO Sinarmas Group, Franky Widjaja.

Franky menyebutkan, program Innovative Financing ini diharapkan dapat diadopsi ke dalam program plasma inti, sehingga lebih efektf dalam pelaksanaan.

Program ini sangat penting untuk membantu biaya hidup bagi petani selama empat tahun masa replanting, sehingga para petani dapat termotivasi untuk melanjutkan program plasma inti terkait.

Seperti diketahui, produktivitas sawit lahan masyarakat Indonesia masih berkisar 3 ton/ha/tahun. Dari 9 juta hektare lahan sawit yang sudah ditanami, 43 persen adalah lahan masyarakat.

Dari jumlah lahan masyarakat, 2 juta hektare di antaranya dikelola petani independen dengan produktivitas yang hanya 2-2,5 juta ton/ha/tahun. Replanting merupakan cara paling optimal untuk meningkatkan produktivitas.

Untuk memaksimalkan program replanting dengan inovasi pembiayaan, manajemen kebun sepenuhnya dilakukan oleh Inti (perusahaan) untuk menjamin terlaksananya budidaya pertanian yang akan menghasilkan yield yang lebih tinggi. Selain itu, Inti juga dapat menjadi penjamin.

Dijelaskan Franky, petani juga harus dikoordinir menjadi kelompok koperasi, agar pengelolaan lebih efisien. Innovative financing penting untuk mendukung minyak sawit sebagai pemasok minyak nabati dunia sumber bio energi dunia. Untuk menyukseskan green energy, maka bangsa, pemerintah, bisnis, NGO dan masyarakat perlu bekerja sama.

‘’Dengan adanya profit maksimal dan pertumbuhan produksi, pembayaran kredit yang diberikan oleh program innovatif financing ini dapat berjalan dengan efektif,’’ kata dia.(bersambung)









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook