Anak Trenggiling Itu pun Lahir di Karung Tertutup

Feature | Senin, 03 Desember 2012 - 11:06 WIB

Anak Trenggiling Itu pun Lahir di Karung Tertutup
Seekor bayi trenggiling mendekap induknya di dalam kandang yang disediakan BBKSDA Riau usai diamankan dari tangan penyeludup, Ahad (2/12/2012). Foto: DIDIK HERWANTO/RIAU POS

Laporan BUDDY SYAFWAN dan DIDIK HERWANTO, Pekanbaru

Tubuh induk trenggiling itu terlihat lemah beberapa saat setelah dikeluarkan dari karung yang terbuat dari rajutan nilon berwarna biru yang dikumpulkan di lantai dasar Kantor Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Riau, Jalan Soebrantas, Pekanbaru.

Baca Juga :Sampaikan Pesan Pemilu Damai ke Nelayan yang Sedang Melaut

Dari balik sisik-sisiknya yang coklat kehitaman, jari-jari kecil muncul. Mulutnya menyusu sambil mendekap perut ibunya.

Ahad (2/12) kemarin, harusnya menjadi hari bahagia bagi induk trenggiling dewasa itu. Karena, dia berhasil melahirkan seekor bayi mungil seukuran  dua ibu jari orang dewasa  dengan panjang sejengkal dalam kondisi sehat.

Namun malang, suasana tersebut tentu saja tidak tergambar dari kondisi sang induk. Karena, proses kelahiran bayi trenggiling itu terjadi bukan di alam bebas, melainkan di balik jeratan karung nilon berwarna biru tua.

Itu pun diketahui setelah salah seorang petugas penyidik Polisi Kehutanan BBKSDA melihat ada kejanggalan di dalam karung tersebut.

Tampak ada sosok kecil lebih mirip sisik ular berwarna coklat keputihan tertutupi sisik induk trenggiling yang berhasil mereka amankan dari perairan Bantan, Kabupaten Bengkalis Riau, Sabtu (1/12) malam lalu.

Karena penasaran, akhirnya petugas membuka karung berukuran 30x50 centimeter itu dan terlihatlah seekor induk trenggiling dengan panjang sekitar 80 centimeter sedang berjuang mengeluarkan sang bayi.

Plasenta masih melekat di tubuh induk dan bayi itu. Sehingga, petugas pun berinisiatif mengeluarkan sang induk dari dalam kantong jerat —yang biasa digunakan dalam setiap kali transaksi jual beli ilegal trenggiling di Riau— dan meletakkannya di sebuah kerangkeng di halaman kantor BBKSDA.

Kabid Penindakan BBKSDA Riau Syahimin mengatakan, bayi trenggiling tersebut diberi nama Desi, karena lahir di bulan Desember.

‘’Kalau mau dikasih nama, ya Desi sajalah, kan dia lahirnya di bulan Desember,’’ gelak Syahimin.

Induk Desi berhasil ditemukan bersama 24 ekor trenggiling lainnya dalam sebuah operasi penyergapan yang dilakukan Satuan Polisi Hutan Reaksi Cepat (SPoRC) Polisi Kehutanan BBKSDA Riau di perairan Bantan Bengkalis.

Hewan langka itu akan diseberangkan menuju perairan Malaysia.

Ini hanya beberapa hari setelah jajaran Polres Bengkalis berhasil menggagalkan penyeludupan serupa di kawasan pesisir Riau yang berbatasan langsung dengan Malaysia tersebut.

‘’Rencana penyeludupan trenggiling antarnegara tersebut berhasil digagalkan setelah SPoRC BBKSDA melakukan penelusuran selama dua bulan untuk mengungkap jaringan perdagangan trenggiling di Sumatera, khususnya wilayah Riau, Jambi, Sumbar dan Sumatera Utara,’’ ungkap Kepala BBKSDA Riau Ahmad Sairozi kepada Riau Pos kemarin petang.

Bahkan Ahmad Sairozi mengindikasikan Riau termasuk sebagai salah satu kawasan perdagangan antarnegara satwa dilindungi Apendix 1 tersebut. Apalagi, dari fakta pengungkapan baik di kepolisian maupun BBKSDA, beberapa kali terjadi di Bengkalis.

‘’Terakhir sebelum tertangkap ini, ada satu rombongan pemberangkatan kapal yang lolos dari penyergapan dan menurut laporan masyarakat, memang mengangkut puluhan ekor trenggiling juga,’’ ucap Sairozi.

Ditambah lagi beberapa kejanggalan dari penyergapan yang dilakukan di Bengkalis oleh BBKSDA, pihaknya semakin yakin kalau ada ‘’pemain besar’’ di Bengkalis.

‘’Saya berpikiran sederhana. Kalau ditangkap di Teluk Merbau Kepulauan Meranti kenapa harus dibawa ke Bengkalis. Bukannya dari Kepulauan Meranti bisa langsung dibawa ke luar negeri? Tapi saya tak ingin menyimpulkan dulu, sampai kita gulung sindikatnya hingga tuntas,’’ ungkap pria yang sempat menangkap beberapa kali penyeludupan trenggiling di tanah air ini.

Ia mengungkapkan, pelaku perdagangan satwa liar dilindungi dengan spesifikasi Apendix 1 bisa dipidana maksimal 5 tahun atau denda sekurang-kurangnya Rp100 juta sesuai Undang-undang Nomor: 5/1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.

Karena itu, Syahimin yang didampingi penyidik Putraper menegaskan tidak ada toleransi terhadap para pelaku. ‘’Kita akan jerat dua tersangka yang kita amankan dengan UU tersebut,’’ ungkap Syahimin.

‘’Dari penangkapan yang dilakukan BBKSDA ini, keterangan sementara yang kita peroleh keduanya hanya sebagai awak pompong (kapal). Tapi kita akan telusuri lebih jauh untuk memastikan sampai pada penampung utamanya,’’ ungkap dia.

Kasus penyeludupan trenggiling di Riau bukan baru kali ini saja terjadi. Sepanjang 2012, setidaknya ada tiga kasus, dua tertangkap dan satu lolos.

Satu kasus ditangani oleh Polres Bengkalis dengan jumlah 106 ekor dan kedua oleh BBKSDA Riau sebanyak 29 ekor serta satu kasus masih di Bengkalis pelaku lolos dari penyergapan.

Sementara pada 2011 lalu, juga terjadi kasus serupa di wilayah Kampar dan barang bukti diperkirakan berasal dari Sumatera Barat dan hendak dibawa ke Riau.

Selain itu juga ada beberapa kasus penangkapan oleh pihak kepolisian. Syahimin menyebutkan, kalau banyaknya kasus penyeludupan trenggiling ke Riau menunjukkan banyaknya populasi satwa bermuncung lancip tersebut di wilayah Riau.

‘’Ada, ya pasti, tapi kalau banyaknya belum pernah ditelusuri,’’ ujarnya.

Perdagangan Trenggiling sendiri, sebenarnya tidak dilarang, sepanjang itu dilakukan sesuai dengan ketentuan, terutama tidak merupakan keturunan pertama yang diambil dari kawasan hutan.

‘’Sekarang juga boleh menjual beli, tapi, itu yang ditangkar. Sama dengan arwana. Tapi sejauh ini, di Sumatera baru di Sumut yang ada, itupun belum berhasil. Kalau yang diambil dari alam, itu sudah melanggar hukum dan sanksinya berat,’’ ungkap Putraper.

Nilai Ekonomi Tinggi

Mengapa penyeludupan satwa dilindungi seperti trenggiling ini menjadi demikian marak beberapa tahun terakhir? Penelusuran World Wild Fund for Nature (WWF) menyebutkan, itu tak terlepas dari motif ekonominya.

Tiger Protection Unit and Wildlife Trade WWF, Osmantri menyebutkan, maraknya penjualan trenggiling disebabkan motif ekonomi.

Harga trenggiling yang sangat tinggi di pasar gelap internasional membuat para pemburu yang kebanyakan adalah masyarakat lokal tergiur.

Selain berkhasiat untuk obat-obatan, hampir seluruh bagian tubuh trenggiling memiliki nilai jual yang mahal. Untuk per kilogram trenggiling dijual dengan harga berkisar Rp800 ribu.

Hal tersebut belum lagi terkait dengan informasi seputar sisik trenggiling yang konon banyak dimanfaatkan untuk pembuatan kosmetik bahkan bahan baku pengolahan sabu-sabu kualitas mahal.

Saat ini, lanjutnya, ekspor trenggiling secara ilegal sebagian besar dibawa ke Cina dan Hongkong. Di sana trenggiling tersebut dimanfaatkan untuk bahan baku Traditional Chinese Medicine (TCM) dan juga kosmetik.

Sementara menanggapi isu mengenai sisik trenggiling yang dijadikan bahan baku utama pembuatan sabu-sabu, Abeng menegaskan kevalidan datanya masih perlu dipertanyakan.

‘’Sejauh ini belum pernah saya temukan jurnal yang menyebutkan bahwa sisik trenggiling merupakan bahan baku sabu,’’ ujar pria yang akrab disapa Abeng ini.

Untuk distribusi trenggiling , lanjutnya, lalu lintas terbesarnya berada di pesisir seperti Siak, Bengkalis, Rokan Hilir dan Indragiri Hilir.

Keberadaan trenggiling awalnya masuk dalam kelompok Apendix 2.

Seiring terus menyusutnya populasi satwa ini, pemerintah menaikkan tingkat kekritisan populasinya menjadi Apendix 1, yakni dilindungi sejajar dengan populasi harimau, gajah, beruang juga rusa dan kancil.

Sebagai satwa menyusui, trenggiling hanya melahirkan satu ekor anak setiap masa kehamilannya dan sangat jarang bisa terpantau.(ila)









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook