Kepenghuluan Muktijaya yang berada di wilayah Kecamatan Rimbamelintang, Kabupaten Rohil merupakan salah satu daerah sentra yang memiliki berbagai potensi. Karena memiliki potensi, daerah ini sering mendapat penghargaan baik tingkat kabupaten, provinsi bahkan nasional.
Laporan HENNY ELYATI, Pekanbaru
LETAK geografis Kepenghuluan Mukti Jaya Kecamatan Rimba Melintang Kabupaten Rokan Hilir berada di daerah aliran sungai (DAS) Rokan. Dengan kondisi pasang surut tipe C membuat daerah tersebut menjadi subur. Kesuburan lahan menjadikan salah satu daerah penghasil padi di Kecamatan Rimbamelintang Kabupaten Rokan Hilir dengan indeks pertanaman (IP) 200 persen (padi-padi).
Daerah berpenduduk 3.358 orang (987 KK) ini memiliki lahan kering 1.750 hektare dan lahan basah 3.250 hektare. Lahan basah dan kering dimanfaatkan warga secara maksimal sehingga guna memenuhi kebutuhan akan pangan tercukupi bahkan bisa mensuplai untuk daerah lain.
Lingkungan Kepenghuluan Mukti Jaya ini sangat asri, segar, indah dan sejuk. Sejauh mata memandang hamparan padi hijau terbentang. Pekarangan rumah warga termaksimalkan dengan berbagai tanaman sayur-sayuran, buah-buahan, kolam ikan dan sebagainya.
Berawal dari daerah transmigrasi, Kepenghuluan Mukti Jaya kini menjadi daerah percontohan yang menerapkan program kampung iklim. Tidak hanya itu, masyarakat di sana juga sudah mampu memenuhi swasembada pangan bahkan berkelanjutan yakni memasok beras guna memenuhi kebutuhan beras di Kabupaten Rohil dan Provinsi Sumatera Utara.
Ketua Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) Kabupaten Rohil, Alkahfi Suktikno SE yang dihubungi Riau Pos, Selasa (30/10) menjelaskan, Kepenghuluan Mukti Jaya telah mengukir sejumlah prestasi baik di tingkat nasional maupun provinsi. Prestasi yang telah diukir tersebut di antaranya seperti program Tata Air Mikro (TAM) tahun 2006, program Ketahanan Pangan tahun 2007, Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) berprestasi tahun 2011, penyuluh petani swadaya tahun 2012 dan program kampung iklim (Proklim) dan tahun ini Kepenghuluan Mukti Jaya juga berhasil mengukir prestasi tingkat Provinsi Riau melalui lomba desa. Sementara untuk Proklim, Kepenghuluan Mukti Jaya merupakan satu-satunya di Pulau Sumatera sementara di Indonesia baru tujuh daerah yang melaksanakannya.
‘’Untuk prestasi penyuluh pertanian swadaya ini, saya sendiri yang menerimanya,’’ ujar Alkahfi.
Alkahfi menuturkan, saat warga transmigran di Kepenghuluan Mukti Jaya memasuki daerah transmigrasi tahun 1981 lalu, kondisi perekonomian masyarakat sangat memprihatinkan. Anak-anak warga transmigran banyak yang putus sekolah karena faktor ekonomi dan geografis daerah. Tidak hanya putus sekolah, kesehatan warga juga tidak terjamin bahkan guna memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari warga sangat kesulitan.
‘’Saya baru ikut bergabung di sana tahun 1984. Tahun 1992, untuk peningkatan SDM, ada dua warga yang bernama Azas san Chaidir merintis pendidikan luar sekolah di sana. Masyarakat sekitar pun diajak untuk ikut pendididkan luar sekolah ini termasuk saya sendiri ikut bergabung,’’ sebutnya.
Sejak mulai berkiprahnya pendidikan luar sekolah, masyarakat pun membentuk lembaga pendidikan berupa pusat kegiatan belajar masyarakat (PKBM) Melati yang di dalamnya memiliki program pendidikan paket A setara lulusan SD, paket B setara lulusan SMP dan paket C setara lulusan SMA. Selain itu ada juga program keaksaraan fungsional yakni masyarakat buta akrasa diajari keterampilan, ada kelompok belajar usaha. Dari program-program ini SDM masyarakat Kepenghuluan Mukti Jaya semakin meningkat dan pendidikan teratasi.
Dari program pendidikan kesetaraan ini masyarakat yang lulus paket C 38 orang sudah menjadi pegawai negeri, 28 orang selesai S1 dan 6 orang jadi kepala desa. ‘’Dengan peningkatan pendidikan ini secara otomatis perekonomian masyarakat juga ikut meningkat,’’ tuturnya.
Bentuk Kelompok Tani, Tingkatkan Hasil Pertanian
Setelah pendidikan masyarakat mulai terangkat, masyarakat juga membentuk kelompok tani yang tujuannya juga sama yakni untuk meningkatkan kesejahteraan dan SDM masyarakat. Dengan adanya kelompok tani memudahkan memberikan penyuluhan (ada informasi dan keterampilan).
Di Kepenghuluan Mukti Jaya saat ini ada 14 kelompok tani, 6 kelompok wanita tani, 2 gabungan kelompok tani, 6 kelompok pembudidaya perikanan, 2 kelompok peternakan. Setiap satu kelompok tani terdiri dari 25 orang. ‘’Dengan cara membentuk kelembagaan yang mengikat mereka dan sebagai wadah menerima informasi dan pendidikan sekaligus untuk melaksanakan program kelompok itu, makanya kita sepakat membentuk kelompok tani,’’ sebut petugas penyuluh lapangan (PPL) pertanian ini.
Di awal membuka lahan transmigrasi, petani hanya bisa menanam padi satu kali dengan hasil 2,5 ton hingga 3 ton per hektare. Namun setelah diberi penyuluhan tentang teknologi pertanian akhirnya petani bisa dua kali setahun menanam padi dan hasilnya meningkat menjadi 4 ton per hektare dan terus meningkat sampai sekarang sudah 5,5 ton per hektare dengan masa dua kali setahun menanam padi.
Untuk peningkatan diversifikasi pangan, petani Kepenghuluan Mukti Jaya diarahkan agar tidak hanya menghasilkan satu tanaman saja, pematang sawah dimanfaatkan tanaman lain untuk menambah peningkatan perekonomian masyarakat. Hal ini dilakukan untuk menghabat masuknya hama dan bisa menahan angin sehingga tanaman petani lebih tahan hama dan kualitas lebih terjamin. Pola ini sudah diterapkan sejak 2001 lalu.
Untuk memasyarakatkan pola ini, para petani diberi contoh terlebih dahulu dan ternyata contoh yang diberikan sangat cocok dan bermanfaat besar bagi petani sehingga pola ini sudah diikuti semua petani di sana. Selain di persawahan, masyarakat juga memanfaatkan pekarangan rumah dengan membuat kawasan rumah pangan lestari (KRPL). 70 persen kebutuhan rumah tangga bisa dipasok dari pekarangan karena di pekarangan ini mereka punya sayur, bumbu dapur, ada tanaman obat, punya buah, punya daging, telur, ikan dan gas. Hingga kini sudah 90 persen masyarakat Kepenghuluan Mukti Jaya sudah menerapkannya. Program KRPL ini dilaksanakan dengan cara bermitra dengan Badan Ketahanan Pangan Provinsi Riau.
Dengan pola seperti ini kesehatan masyarakat juga terjamin karena tanaman warga merupakan tanaman organik tanpa menggunakan bahan kimia baik untuk pupuk maupun pemberantas hama seperti pestisida. Pupuk diolah sendiri yang dibuat dari kotoran ternak yang dipelihara warga dan limbah pertanian.
‘’Anak-anak mereka menjadi mengerti pola tanam yang baik seperti itu dan ini menjadi sarana hiburan, kami menerapkan ke petani harus punya tujuh jenis sayuran di pekarangan. Artinya mereka berganti sayuran setiap hari dan mereka bertambah sehat, balitanya juga akan sehat. Insya Allah tahun depan pelatihan program kampung iklim dipusatkan di sini,’’ terangnya.
Tujuan awal terapkannya program ini bagaimana untuk mengelola kebutuhan rumah tangga sendiri. Di mana masyarakat/petani tidak memasok kebutuhan rumah tangga terutama pangan dari luar Desa Muktijaya. Untuk kebutuhan hasil pertanian Kepenghuluan Mukti Jaya sudah berlebih dan bisa memasok untuk daerah lain seperti beras.
Dikatakannya program ini menjadi tulang punggung penanggulangan kemiskinan. Kuncinya bagaimana memanfaatkan sumberdaya dan teknologi dalam memanfaatkan sentra-sentra pertanian unggulan. Sehingga meningkatkan pertumbuhan ekonomi pedesaan. Melalui gerakan ini dapat memenuhi produksi beras dan swasembada pangan.
‘’Dalam mewujudkan swasembada berkelanjutan dan sasaran produksi tanaman pangan ditempuh melalui catur strategi tanaman pangan di antaranya peningkatan produktivitas, perluasan areal tanam, pengamanan produksi dan penguatan kelembagaan dan pembiayaan. Makanya kita mulai intens membina petani dan mengajak kembali melakukan penanaman padi melalui cetak sawah dan pemberian berbagai teknologi pendukung peningkatan produksi nantinya,’’ terangnya.
Kemandirian Pangan Menjadi Keharusan
Kemandirian pangan menjadi keharusan yang tak bisa ditawar oleh setiap daerah di Indonesia. Karena, tanaman pangan adalah urusan pokok bagi masyarakat. Oleh karena itu harus dilakukan perhatian khusus bagi tanaman pangan.
Demikian disampaikan Direktur Alat Mesin Pertanian Kementrian Pertanian, Bambang Santosa saat datang ke Riau beberapa waktu lalu. ‘’Saya mohon komitmen kepala daerah seluas 3.000 hektare lahan pertanian khususnya tanaman padi yang ada bisa diselamatkan dan dilindungi. Kemandirian pangan menjadi keharusan yang tak bisa ditawar lagi. Karena pangan adalah urusan pokok,’’ katanya.
Menurut Bambang mempertahankan luasan lahan pertanian tak terlepas juga dari komitmen penyuluh dan petani sendiri. Lebih jauh selain selain alih fungsi lahan yang menjadi kekhawatiran, perubahan iklim ekstrim dan rusaknya infrastruktur menjadi kendala yang harus diatasi. ‘’Makanya kerusakan infrastruktur pertanian seperti masalah irigasi dan cetak sawah menjadi perhatikan khusus bagi kita,’’ ujarnya.
Dia juga menginginkan kepala daerah dapat membuat Peraturan Daerah (Perda) tentang Perlindungan Tanaman Pangan dan meminta para petani jangan tergiur untuk mengalih fungsikan lahan sehingga dapat mempertahankan luasan bagi tanaman pangan.
Riau Kekurangan 273 Ribu Ton Beras
Sementara itu Kepala Dinas Tanaman Pangan dan Hultikultura Provinsi Riau, Basriman mengungkapkan dari data tahun 2012 lalu Provinsi Riau masih defisit beras sebesar 273 ribu ton dari kebutuhan 594.922 ton. Sementara produksi beras baru sebanyak 312 ribu ton atau Riau masih defisit sekitar 46 persen lebih.
‘’Defisit ini dipicu oleh berbagai persoalan seperti berpacu dengan pertumbuhan penduduk, tingginya alih fungsi lahan di seluruh wilayah di Riau, keterbatasan infrastruktur berupa kerusakan jaringan irigasi. Tahun 2009 lalu saja alih fungsi lahan sebanyak 2.500 hektare lebih dan data terakhir 3.800 hektare sehingga penurunan produksi. Kemudian 51,2 persen irigasi mengalami kerusakan, belum lagi kualitas SDM yang masih rendah,’’ terangnya.***