BERJULUK JAMES BOND MELAYU, KEPALANYA DIHARGAI USD 50 RIBU

Andy Zulkifli, Pensiunan New York Police Department asal Tanjungpinang

Feature | Senin, 03 Februari 2014 - 18:10 WIB

Andy Zulkifli, Pensiunan New York Police Department asal Tanjungpinang
Andy Zulkifli (kanan) berbincang bersama temannya di kedai kopi Ria Tanjungpinang, Kamis (30/1). FOTO: Yusnadi/Batam Pos

Pria berbadan gempal berkaus abu-abu itu duduk di kedai kopi Ria Jalan Bintan. Ia membuka topi fedoranya. Hampir seluruh rambutnya memutih. Sepintas, tidak ada yang spesial dari Andy Zulkifli. Sampai ia menyeruput teh hangatnya dan berujar, "Saya pensiunan New York Police Department, Amerika Serikat."

FATIH MUFTIH, Tanjungpinang

Baca Juga :Sampaikan Pesan Pemilu Damai ke Nelayan yang Sedang Melaut

KEDAI kopi Ria di Jalan Bintan adalah tempat pertemuan berbagai kalangan. Tidak ada sekat atau batasan status di kedai kopi ini. Mulai dari kalangan pejabat, seniman, pengangguran, pengojek, atau pun pensiunan. Semuanya gemar menyeruput kopi paginya di sini. Termasuk Andy Zulkifli, atau yang biasa disapa Bang Zul, oleh teman-teman semejanya.

Di meja bundar barisan depan, Zul sibuk membolak-balik halaman empat harian pagi yang ia beli di Bintan Agency. Sudah jadi rutinitasnya, membaca koran sambil menyeruput teh. "Saya kurang suka kopi," ujarnya. Karena pasangan kopi adalah rokok, maka pensiunan kelahiran 10 Oktober 1951 silam ini pun tidak merokok. Di atas mejanya, selain koran, ada beberapa biji singkong goreng.

Karena pola hidupnya yang tergolong biasa, tidak banyak orang Tanjungpinang yang mengenalnya. Meski, dirinya pernah 20 tahun tercatat sebagai perwira New York Police Department (NYPD), kantor polisi ternama di kota New York, Amerika Serikat. Kota metropolis dunia dengan tingkat kriminalitas yang tinggi. "Tidak banyak koran lokal yang menulis tentang saya," ujar Zul. Namun, bukan berarti tidak ada media yang pernah menulisnya. Namanya termaktub pada buku 77 Sosok Terkemuka Kepri, karya Trisno Aji Putra. Selain itu, majalah Asia Week yang terbit di Hongkong pernah menulis sosoknya dengan judul "The Hungry Detective". Sementara The Straight Time, harian ternama Singapura, menyebut Zul sebagai James Bond Melayu.

Bagaimana tidak, pria kelahiran Tarempa ini pernah menjabat sebagai detektif internasional untuk membongkar kasus-kasus besar. Semisal, penjualan barang-barang palsu, pencucian uang, hingga mencari buron kelas kakap. "Juga soal traficking di Indonesia," sebut Zul. Bahkan, karena sederet prestastinya membongkar kasus-kasus itu, oleh kantor kerjanya, Zul diminta untuk membongkar kasus perdagangan manusia di kawasan Asia Tenggara. Ajakan itu, tentu tak disia-siakan. "Karena bertugas di kampung halaman," ucapnya.

Prestasi kerjanya sebagai detektif, membanya ke tampuk lebih tinggi. Kemudian Zul dilantik sebagai detective first class. Tidak sembarang orang punya kesempatan mendapatkan jabatan elit di dunia investigasi tingkat dunia. Sehingga, tidak mengherankan pula, kepala Zul pernah dihargai USD 50 ribu, bagi sesiapa yang bisa menembaknya. "Yang melakukan itu para gangster di Manhattan, yang sakit hati dengan saya," kenang bapak dua anak ini.

Ceritanya terhenti sesaat. Ia meraih gelas tehnya dan menyeruputnya. Kemudian, ia mengambil iPad dari tas kecil di sampingnya. Dari situ terlihat, foto-foto yang mengabadikan kehidupan Zul saat di Amerika. Termasuk ketika masih bertugas sebagai anggota elit NYPD. Beberapa kali ia menyebutkan beberapa nama rekan kerjanya. Satu nama pesohor yang ia sebut adalah Robert Michael Gates, yang pernah menjabat sebagai Menteri Pertahanan ke-22 Amerika Serikat. "Whatever, I still love Tanjungpinang," katanya dengan bahasa Inggris, seraya menutup iPad-nya.

Awal Mula Jadi NYPD

Masa kecil Zul, ia habiskan di Tanjungpinang. Namanya tercatat sebagai alumni SDN 06 Tanjungpinang dan SMPN 2 Tanjungpinang. "Di SMAN 1, saya nggak lulus," ujarnya seraya tertawa. Kemudian, ia melanjutkan pendidikan menengah atasnya di Singapura. Nasibnya masih sama. Ia keluar tanpa selembar ijazah. Kata dia, sekolah tidak mengantarkannya pada cita-citanya. "Karena cita-cita anak muda Tanjungpinang tahun 1970-an itu cuma jadi pelaut," ceritanya. "Yes. Being a seaman," tegasnya.

Karena, kata Zul, hanya pelautlah yang paling disegani di Tanjungpinang saat itu. "Di Taman Sari (salah satu kedai kopi, red), mereka bisa traktir seluruh orang yang ngopi," tutur Zul. "Mereka punya segala daya tarik dengan jaket Levi's, rambut panjang, sepatu jenggel. Duitnya pun dollar semua," kenang Zul. Maka, ketika ditawari untuk menjadi pelaut, Zul tidak berpikir dua kali. Ia merasa cita-citanya sudah di depan mata.

Pada 1973, usai ayahnya, Daeng Haji Maekah, meninggal dunia, Zul muda mulai menulis legendanya. Dimulainya dengan pergi ke kawasan Ateng, Singapura. Kawasan itu merupakan tempat pelaut-pelaut Indonesia menanti kapal-kapal besar lego jangkar. Saat itu, seperti yang diterangkan Zul, para pelaut dihadapkan pada dua pilihan. Pertama, naik kapal tangker, yang bongkar-muatnya hanya satu atau dua hari saja. Atau, kedua, naik kapal kargo, yang proses bongkar-muatnya memakan waktu lama di beberapa pelabuhan di penjuru dunia. "Kebanyakan anak muda pilih kapal kargo. Termasuk saya," kata Zul.

Saat itu, Zul muda sudah mempertimbangkan pilihannya. Setiap kapal kargo yang lego jangkar di suatu negara, kata dia, memberikan kesempatan pada pelautnya untuk sejenak menikmati negara-negara yang disinggahi. "Walau hanya sekadar untuk minum," kata Zul.

Pilihan ini melayarkan Zul muda hingga Amerika Serikat. Karena merasa nyaman berada di negeri dollar, Zul muda dan beberapa rekannya, nekat melakukan Jump Ship. Jump Ship merupakan istilah untuk menyebut pelaut muda yang melompat dari kapal dan mendiami negara persinggahan. "Kapal itu hanya batu loncatan saja," kenang Zul sambil terkekeh.

Di negara orang, meski tanpa keluarga dan visa, Zul muda tidak lantas kehabisan akal. Setiba di sana, ia berplesir ke komunitas Indonesia di New York. Di situ, ia berjumpa dengan seorang pelaut tua asal Pulau Buluh, Batam, yang sudah lama menghabiskan waktu di Amerika. Kepada Zul muda, pelaut tua itu memberikan banyak wejangan.

Pelaut tua itu mengajak Zul muda ke sebuah restoran kecil di New York. Di sana, pemuda Tarempa ini diperlihatkan gambaran pelaut yang menghabiskan uangnya di meja-meja judi dan botol-botol wiski. "Di Amerika, hanya dua hal yang bisa kita lakukan. Belajar dan berkerja," kata Zul, mengutip pesan yang didengarnya lebih dari 20 tahun lalu.

Wejangan itu membangkitkan semangat juang Zul muda. Ia pun menanggalkan statusnya sebagai pelaut. Kemudian memilih melanjutkan pendidikan menengah atasnya di New York. "Saat itu, sekolah di Amerika gratis," kenang Zul. Setelah lulus, Zul muda melanjutkan studinya di Fashion Institut Technology (FIT) untuk mendalami bidang fotografi, sinematografi, dan penerbitan.

Sementara untuk menutupi keperluan sehari-harinya, pada siang harinya, Zul muda berkerja sebagai pengantar dokumen di United Nation (UN), yang lebih dikenal dengan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di Indonesia. "Karena kerja di PBB, visa bukan lagi persoalan buat saya," ujar Zul berkelakar.

Di kampus inilah, Zul muda menjaliin kisah cinta dengan Carol, model asal Italia berkebangsaan Amerika, yang menjadi muallaf dan dinikahinya. Menariknya, pernikahan itu digelar di Kijang, Bintan, ribuan mil dari Amerika. "Saya ingin Carol tahu negara saya," ujar Zul.

Usai menikahi Carol, Zul muda mundur dari pekerjaannya. Lantaran ada peraturan hukum di Amerika yang menyebutkan, orang luar yang menikahi warga Amerika, punya kesempatan menjadi warga Amerika. Meski berat, Zul pun beralih status sebagai warga negara Amerika. Karena ia ingin melanjutkan studinya di John Jay College Criminal Justice pada 1979. Kampus di New York ini dikenal banyak melahirkan kader-kader petugas pemadam kebakaran dan aparat kepolisian. Tesisnya tentang kasus traficking di Indonesia, mengakhiri tiga tahun studinya. Kemudian, usai melewati serangkaian tes, Zul muda pun tercatat sebagai personel NYPD pada 1984 diusianya ke-33.

Di sela-sela kesibukannya sebagai perwira kepolisian, Zul masih menyempatkan dirinya untuk mengembangkan ilmu seni bela diri. Ia mengklaim, menguasai segala teknik bela diri. Ai ki do, karate, taekwondo, apalagi pencak silat. "Saya ikut mendirikan Pencak Silat of America," terangnya. Selain itu, Zul juga memiliki dojo, tempat latihan bela diri di New York.

Menikmati Hari Tua di Tanjungpinang

Pada tahun 2004, James Bond Melayu ini mengakhiri kisah panjangnya di NYPD. Pangkat terakhirnya kolonel. Setelah 20 tahun hidup di tengah gemerlap kota New York, segenap eksotisme Tanjungpinang mengajak Zul menikmati hari tuanya di kampung halaman. "Indonesia negara yang free. Free of everything. Kita mau meludah atau buang sampah sembarangan pun tidak masalah," katanya nyinyir.

Kenyinyiran Zul ini beralasan. Lantaran, dirinya sudah terbiasa hidup dalam aturan yang ketat. Pensiunan NYPD ini menilai ada hal yang dilupakan dari penindakan hukum di Indonesia. "Preventing, itu yang nggak ada," sebutnya. "Kalau hanya menindak dan membina, semua negara sudah menerapkannya. Tapi mencegah?" tegasnya. Kemudian ia mencontohkan satu kasus pembobolan toko emas yang belum lama ini terjadi.

"Kalau ada polisi yang rutin keliling dan berjaga di sekitar, pasti orang akan pikir-pikir juga untuk melakukan aksinya," jelasnya. Selain itu, lanjutnya, dalam membantas kriminalitas, Zul juga mengingatkan kepada aparat penindak lebih memerhatikan aspek psikologi pelaku kriminal. "Dulu, di NYPD, aspek criminal psichology ini harus dikuasai," katanya mencontohkan.

Meski penegakan hukum di Tanjungpinang belum setertib di New York, Zul tetap ingin menikmati hari tuanya di sini. Menurutnya, tiada tempat paling enak untuk minum kopi kecuali di Tanjungpinang. "Apalagi bersama teman-teman lama seperti ini," kata Zul sambil tertawa.

Kakek 62 tahun ini juga tak menampik banyaknya tawaran dari Amerika, Singapura, juga Malaysia, yang memintanya menjadi penasihat aparat kepolisiannya. "Sekarang sudah saatnya saya berbuat untuk Tanjungpinang," jelasnya. Ke depannya, ia ingin menularkan ragam seni ilmu bela diri yang dikuasainya. "Beri saya dojo, saya akan latih anak-anak Tanjungpinang jadi atlit hebat," tantangnya.

Matahari sudah terik. Minuman di gelas pun sudah tandas. Sebelum bersurai, Zul mengeluarkan beberapa lembar rupiah, memanggil Devi, penjaga kedai, dan membayar semua minuman dan penganan di atas meja. Setengah berteriak, Zul memanggil pengojek yang kebetulan melintas. "Selagi muda, belajar dan berkerja!" pesannya. (***)









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook