MENELUSURI 4 DESA RAWAN PANGAN DI KAMPARKIRI HULU (2-HABIS)

”Kondisi Jalan Membuat Kami Belum Merdeka’’

Feature | Jumat, 03 Januari 2014 - 08:27 WIB

”Kondisi Jalan Membuat Kami Belum Merdeka’’
Pozir, warga yang menemani Riau Pos terjatuh dari sepeda motor di jalan licin dan mendaki menuju desa Lubukbigau, Kamparkiri Hulu, Kampar, Kamis (2/1/2014). Foto: LUKMAN PRAYITNO/ RIAU POS

Riau Pos berhasil mencapai Desa Kebuntinggi dan Lubukbigau, Kamparkiri Hulu, Kampar, Kamis (2/1). Warga desa yang ditemui menyarankan untuk tidak melanjutkan perjalanan ke Desa Pangkalankapas dan Tanjungpermai, karena medannya lebih parah lagi.

Laporan LUKMAN PRAYITNO, Kamparkiri Hulu

Baca Juga :Sampaikan Pesan Pemilu Damai ke Nelayan yang Sedang Melaut

Setelah beristirahat satu malam di rumah salah seorang warga Desa Batusasak bernama Ismail, Riau Pos melanjutkan perjalanan menuju Desa Kebuntinggi, Kamis (2/1) pukul 09.30 WIB.

Desa ini merupakan satu dari empat desa yang terancam rawan pangan akibat putusnya jembatan dan rusaknya jalan akibat banjir. Tiga desa lainnya adalah Desa Lubukbigau, Pangkalankapas dan Desa Tanjungpermai.

Menantu Ismail, Beni, sempat menemani hingga ujung desa sembari mengajak mencari sinyal di puncak bukit yang telah ditanami pohon karet. Sepanjang berjalan kaki di kebun karet nan lembab, pacet telah bergelayutan di kaki menghisap darah. Namun sinyal tak juga didapatkan.

Akhirnya perjalanan dimulai melintasi jembatan kayu yang baru dibangun dan disambut bukit dengan ketinggian hampir 75 meter.

Setidaknya harus melewati 28 bukit terjal dengan kemiringan mencapai 60 derajat. Trek yang mesti dilalui mulai dari pendakian dan penurunan berlumpur nan curam hingga bukit batu yang licin karena dialiri air.

Perjalanan terasa lebih panjang karena lebih banyak berjalan kaki. Karena untuk mendaki ataupun menuruni bukit, sepedamotor tak bisa dinaiki dua orang karena berisiko terbalik atau tergelincir ke jurang.

Sedangkan Pozir, yang menemani Riau Pos sejak awal perjalanan terkadang bisa menunggangi sepedamotornya, namun lebih sering mendorong.

Licinnya bebatuan membuat roda belakang sepeda motor bebeknya itu hanya berputar di tempat, sehingga mesti didorong dan sesekali diangkat berdua. Setidaknya diperlukan waktu satu jam untuk berkendara sejauh 5 kilometer.

Setiba di Desa Kebuntinggi, Riau Pos bertemu dengan Fatimah (40) yang sedang membersihkan pakis di pondok seluas 2x3 meter.     

‘’Desa terdekat masih jauh mak?’’ sapa Riau Pos sembari memperkenalkan diri. ‘’Sekitar setengah jam perjalanan lagilah,’’ jawabnya seolah memberi harapan bahwa tempat yang hendak dituju sudah dekat.

Berbekal informasi dari Fatimah, Riau Pos kembali melanjutkan perjalanan menuju Desa Lubukbigau. Baru lima menit berkendara, sepedamotor harus melintasi sungai dengan kedalaman mencapai 30 centimeter. Airnya mengalir deras dan dipenuhi bebatuan dengan ukuran sebesar kepala orang dewasa.

Usai melewati sungai ini, perjalanan kembali terasa panjang karena bukit yang didaki kian terjal dan licin. Sesekali juga harus berjalan kaki mendaki bukit sejauh 100 meter.

Di tengah pendakian, terdengar suara raungan sepedamotor dari puncak bukit. Ternyata Babinsa Batusasak, Sertu Sugeng Waluyo sedang menuruni bukit bersama seorang anggota berpangkat Prajurit Satu.

‘’Saya tadi malam berangkat ke Desa Kebuntinggi. Setidaknya kami 3 kali terjatuh saat mendaki maupun menuruni bukit-bukit terjal. Begitu juga sesampai di Kebuntinggi, kami berenang di Sungai Batang Kapas yang deras. Kedalamannya mencapai lebih dari pinggang. Sebab jembatan gantung di sana sudah putus,’’ ujar Sertu Sugeng kepada Riau Pos.

Ia mengaku sangat kasihan dengan warga di empat desa tersebut.

‘’Bayangkan saja, dengan sepeda motor jenis trail saja sangat susah berkendara apalagi dengan sepeda motor biasa. Kemudian bagaimana mereka mendapat pasokan bahan makanan. Kalau seandainya ada wanita hamil. Bagaimana mereka bisa mendapat perawatan yang layak saat persalinan,’’ tambah Sugeng.

Usai berbincang sejenak dengan Sertu Sugeng, Riau Pos melanjutkan perjalanan. Hampir satu jam berjalan, tapi tak juga perkampungan dituju tampak.

‘’Tandanya tiba di kampung kalau dari puncak bukit terlihat pohon kelapa. Namun kalau belum terlihat berarti masih jauh,’’ ujar Pozir.

Dalam catatan Riau Pos, untuk mencapai Desa Lubukbigau, lebih 20 bukit terjal, 3 jembatan kayu yang baru dibangun, 10 jembatan rusak serta dua anak sungai harus dilewati.

Di tengah perjalanan Riau Pos sempat bertemu dengan Ari, seorang aktivis LSM yang juga warga Desa Lubukbigau. Di tangan kirinya ia memegang kamera digital 12 megapixel. Kamera tersebut ia gunakan untuk memotret kondisi jalan dan dijadikan bahan proposal untuk perbaikan jalan.

‘’Kalau bukan kami sendiri yang menunjukkan ke dunia luar, siapa lagi. Tidak mungkin orang luar mau turun melihat secara langsung kondisi yang kami alami,’’ ujar Ari.

Sebelum berpisah, Ari meminta Riau Pos untuk singgah di rumah saudaranya, Lisdawati (33), sehingga bisa menumpang untuk sekadar beristirahat ataupun menumpang untuk makan siang. Pukul 13.50 WIB, atau sekitar tiga jam perjalanan, Riau Pos tiba di Desa Lubukbigau.

Sembako dari Sumbar

Di desa ini Riau Pos menemui Lisdawati atau yang akrab disapa Ilis. Dari dia terungkap bahwa selama ini warga desa mendapatkan sembako dari Pasar Taram, Kabupaten Limapuluh Kota yang berjarak sekitar 2-3 jam perjalanan dengan menggunakan sepedamotor dari Lubuk Bigau. Kebetulan suami Ilis sering berbelanja untuk dijual lagi.

‘’Diangkut menggunakan garendong (keranjang yang terbuat dari rotan dan digantung di belakang sepedamotor, red). Kalau musim kemarau bisa memuat sekitar 100-120 kilogram sembako untuk satu kali angkut. Namun di musim penghujan hanya bisa mencapai 90 kilogram,’’ ungkapnya.

Saat perjalanan dilanjutkan, Riau Pos melintasi Sungai BatangKapas yang melewati Desa Lubukbigau. Jaraknya lima menit perjalanan dari rumah Lisdawati. Meluapnya sungai ini yang menyebabkan Desa Lubukbigau sempat banjir dengan ketinggian hingga satu meter.

Menjelang Desa Kebuntinggi, Riau Pos disambut Agus (33), pria yang beralih profesi jadi tukang rakit sejak 15 hari lalu. Rakitnya itu digunakan warga menyeberangi Sungai Batangkapas. Untuk tarifnya tidak pernah ia tetapkan, walau rata-rata sekali jalan biasanya dibayar Rp2 ribu.

‘’Sejak jembatan putus, saya menambang rakit di sini. Karena memotong karet pun sudah tidak memungkinkan untuk dijadikan sumber mata pencaharian selama musim penghujan,’’ terang warga asal Manggilang, Sumbar itu.

Rakit ukuran 2x3 meter tersebut diikatkan dengan dua tali di dua sisi sungai. Kemudian untuk menyeberanginya, Agus menarik sekuat tenaga karena aliran air Sungan Batangkapas cukup deras. Tangannya dilapisi sarung tangan agar tidak lecet.

‘’Bayarnya ketika pulang ya bang. Nanti kami balik lagi ke sini,’’ ujar Riau Pos. ‘’Iya nanti saja,’’ balasnya.

Warga Memakan Buah Toghok   

Saat memasuki Desa Kebuntinggi, sebagian rumah dibangun berbentuk rumah panggung dengan ketinggian hampir 1 meter. Riau Pos singgah di sebuah sebuah rumah yang cukup ramai warga berkumpul untuk menanyakan jalan menuju Desa Tanjungpermai dan Desa Pangkalankapas.

‘’Kalau ke Tanjungpermai jalannya ke kiri, tapi jalannya rusak parah, setidaknya perlu satu jam perjalanan ke sana. Sedangkan kalau ke Desa Pangkalankapas masih perlu waktu 2,5 hingga 3 jam lagi,’’ ujar salah seorang warga, Ira (25).

Ira saat itu bersama Yusrizal (30) dan Railis (54) sedang asyik memakan biji buah toghok yang mereka sebut kacang.

‘’Kalau di sini inilah kacang yang biasa kami makan. Cara membuatnya, buah toghok dioseng, untuk memakannya kulit kacang mesti dilepas dulu,’’ celetuk Railis seraya mengajak bergabung.

Menurut cerita mereka, sejak musim penghujan ekonomi sangat sulit. Pohon karet yang mereka sadap tidak menghasilkan banyak getah. Kemudian harganya hanya berkisar Rp5 ribu-Rp7 ribu.

Begitu juga dengan bahan pangan yang melonjak sejak jalan menuju Pasar Taram, Limapuluh Kota rusak. Sangat jarang pedagang bergarendong mampir ke rumah mereka.

‘’Kalaupun masuk, tapi uang untuk membelinya juga tidak ada, ekonomi sangat sulit. Saat ini kami hanya bertahan dengan bantuan rawan pangan yang diberikan pemerintah beberapa hari lalu. Kalau tidak masuk bantuan, kami mesti makan apa? Ya buah toghok inilah,’’ ujar Railis seraya tertawa.

Di dinding rumah tempat berkumpul itu masih jelas terlihat bekas garis hitam menunjukkan ketinggian air saat banjir kemarin. Namun mereka mengaku sudah terbiasa dengan banjir tahunan tersebut.

‘’Impian kami selama ini hanya perbaikan kondisi jalan. Kondisi jalanlah yang membuat kami belum merdeka. Kalau Desa Muaraselaya dan Lubukagung itu mereka telah lama merdeka. Kalau kondisi jalan sudah bisa dilewati kendaraan roda empat, biaya angkut karet bisa lebih murah, kemudian mudah bagi kami untuk berhubungan dengan warga desa-desa tetangga,’’ timpal Ira.

Waktu yang tertera di layar handphone sudah menunjukkan pukul 14.25 WIB. Riau Pos memutuskan tidak melanjutkan perjalanan dan kembali ke rumah Ilis di Desa Lubukbigau untuk makan siang. Tiba di rumah Ilis, beberapa warga yang didominasi kaum ibu ini langsung menyambut.

‘’Kalau ke Pangkalankapas, waktu 2-3 jam itu hanya untuk orang lihai. Kalau kalian yang ke sana, 4-5 jam belum tentu akan tiba di sana. Keluarga kami saja ada yang sudah jatuh melewati jembatan kayu dan hampir tertimpa sepedamotornya. Sangat sulit untuk sampai ke sana,’’ jawab Eni (35).

Menurutnya, jembatan menuju Desa Pangkalankapas kebanyakan hanya berupa kayu bulat. Bagian tengah untuk roda kendaraan, sedangkan dua kayu di kiri dan kanan untuk penopang kaki.

Usai makan siang perjalan pulang dilanjutkan karena waktu telah menunjukkan pukul 15.30 WIB.

Saat pulang sepeda motor yang ditumpangi terjatuh dan hampir bergulingan saat mendaki bukit terjal. Riau Pos dan rombongan kecil ini tiba sekitar pukul 18.10 di Desa Batusasak. Kemudian perjalanan dilanjutkan menembus malam menuju Lipatkain.(esi/fia)









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook