Laporan HARY B KORI’UN, Pekanbaru
Kebakaran hutan dan lahan yang menimbulkan bencana asap di Riau mengundang pemikiran beberapa pakar lingkungan dan kehutanan dari beberapa lembaga penelitian.
Intinya, penanganannya harus komprehensif dan mendalam, dan tak menyederhanakan masalah.
Persoalan kebakaran lahan yang menimbulkan kabut asap di Riau dan beberapa daerah lainnya, adalah persoalan kompleks yang harus ditangani secara multidimensional.
Harus dipelajari pola-pola persoalan yang muncul satu per satu, diurai akar masalahnya, kemudian dicarikan solusinya secara konferehensif.
Jika masalah atau variabel satu dengan lainnya dipisahkan cara penanganannya, maka tak akan selesai dengan
tuntas. Sebab, selain hutan atau lahan yang terbakar yang kemudian menimbulkan asap, ada persoalan ekonomi dan sosial masyarakat yang berakar di dalamnya, dan ini perlu penanganan khusus, mendalam, dan serius.
Benang merah ini didapat dari beberapa pakar kehutanan, lingkungan, gambut, dan pakar khusus kebakaran hutan, dalam sebuah diskusi, Jumat (30/8/2013) di Pekanbaru.
Direktur Jenderal Center for International Forestry Research (Cifor), Dr Peter Holmgren, menjelaskan, penanganan untuk menyelesaikan kebakaran hutan dan lahan bukan sesederhana hanya dengan menangkap dan menghukum si pembakar, baik perusahaan yang terbukti, atau masyarakat tempatan.
‘’Yang saya temukan dan menurut saya ini penting adalah adanya kegiatan pertanian masyarakat yang menjadi roda ekonominya, dan ini adalah persoalan sosial, bukan hanya soal memadamkan apinya dan kemudian masalahnya selesai,’’ jelas Peter.
Setiap terjadi kebakaran di Riau dan provinsi lainnya yang asapnya sampai ke Singapura, Malaysia dan negara tetangga lainnya, banyak muncul pemberitaan di media luar negeri yang menyederhanakan masalah, bahwa dengan menangkap si pelaku dan memprosesnya secara hukum, semuanya akan selesai.
Mereka menuding pemerintah Indonesia tak punya keinginan untuk menyelesaikan masalah yang menurut mereka sederhana itu.
‘’Saya mencermati berita-berita media asing itu. Mereka menyederhanakan masalah. Mereka tak tahu kondisi sosial-ekonomi yang terjadi di daerah yang terbakar lahan dan hutannya itu. Inilah yang menjadi basis penelitian kami, untuk mencari akar masalahnya dan kemudian menemukan solusi yang konferehensif karena menyangkut banyak hal,’’ ungkapnya.
David Gaveau, peneliti dan pakar tentang kebakaran hutan milik Cifor yang sudah sering melakukan penelitian kebakaran hutan dan lahan di Riau, memiliki analisa sendiri.
Ia membandingkan kebakaran hutan yang pernah terjadi di Kalimantan pada 1982-1983 dengan kebakaran hutan 1997-1998 yang berdampak besar pada hancurnya perekonomian Indonesia.
Menurutnya, pada 1982-83, murni kebakaran pada hutan tropis karena kemarau. Tetapi, pada kebakaran 1997-1998 yang terjadi bukan hanya di hutan alam, melainkan juga pada lahan-lahan yang sudah dibuka beberapa tahun sebelumnya untuk tujuan penanaman kelapa sawit.
Kebakaran yang terjadi setiap tahun setelah itu, termasuk tahun 2013 ini, menurut David, kebanyakan terjadi di area konsesi kehutanan perusahaan, tetapi banyak perusahaan yang mengklaim itu di luar area mereka.
Salah satu contohnya di Bukitbatu. Di sana ada perusahaan HTI, dan ternyata terjadi konflik dengan masyarakat.
‘’Menurut saya ada hal yang sangat penting yang harus diselesaikan adalah adanya tumpang-tindih peta lahan yang dimiliki Kementerian Kehutanan, Kementerian Pertanian, Dinas Kehutanan Provinsi, dan Dinas Kehutanan kabupaten. Permasalahan rencana tata ruang wilayah (RTRW, red) harus disesaikan karena itulah menurut saya inti masalah sebenarnya,’’ jelas lelaki kelahiran Prancis ini.
Khusus kebakaran di lahan gambut, Dr Basuki Sumawinata, salah seorang pakar gambut dari Institut Pertanian Bogor (IPB) yang juga Sekretaris MRV (Measurement, Reporting and Verification) bagi kegiatan operasional PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) di Semenanjung Kampar bentukan Kementerian Kehutanan, menjelaskan, yang perlu dipahami adalah bagaimana pengelolaan lahan gambut dengan teknologi ekohidro.
Menurut Basuki, lahan gambut harus tetap memiliki kadar air yang maksimal. Jika kadar airnya rendah atau kering, maka gambut akan mudah terbakar dan sulit dipadamkan.
‘’Lahan gambut harus selalu basah. Jika dia mengering akan mudah terbakar. Selama ini kita salah dalam menafsirkan tentang mengelolaan lahan gambut seolah-olah tidak bisa dikelola. Padahal, jika kadar airnya tetap baik, lahan gambut bisa dimanfaatkan, termasuk untuk Hutan Tanaman Industri (HTI),’’ jelasnya.
Basuki mencontohkan, salah satu pengelolaan lahan gambut yang berhasil adalah di Indragiri Hilir (Inhil). Ketika kelapa rakyat ditanam dan berhasil, perusahaan besar seperti PT Pulau Sambu kemudian melakukan pembukaan lahan gambut secara besar-besaran untuk kebun kelapa, dan sukses.
‘’Yang dilakukan adalah dengan mengontrol air agar lahan gambut tetap basah. Makanya PT Sambu membuat pintu-pintu air sedemikian rupa agar areal kebun kelapanya tetap basah,’’ ungkapnya.
Di lain hal, Basuki menjelaskan tentang maraknya kebakaran hutan dan lahan yang terjadi saat ini. Menurutnya, sejak zaman dahulu kala, salah satu cara pembukaan hutan di masyarakat manapun adalah dengan membakar.
Persoalannya, ketika itu yang melakukan pembakaran adalah masyarakat untuk membuka areal pertanian skala kecil. Ketika membuka lahan untuk industri kelapa sawit sekala besar, maka landclearing yang dilakukannya adalah dengan penggunaan alat berat.
‘’Kalau masyarakat membuka lahan 1-2 hektare menggunakan alat berat, pasti mahal. Persoalannya akan terjadi jika perusahaan besar yang membuka lahan dengan areal luas melakukan pembakaran, itu yang akan menjadi masalah besar,’’ ungkapnya.
Jika masyarakat diminta untuk tak membakar dalam pembukaan lahan sekala kecil, harus diajarkan dan dibantu bagaimana caranya.
‘’Selama ini kan tak pernah masyarakat diajarkan dan dibantu. Semua harus dicarikan solusinya. Kalau ada perusahaan besar nakal membakar ya ditangkap dan diadili, tetapi masyarakat harus dicarikan solusi yang baik, termasuk membuka lahan tanpa bakar,’’ jelas Basuki.
MRV untuk HTI Semenanjung Kampar
Tentang program MRV, Basuki menjelaskan, adalah sebuah program yang dibentuk Kementerian Kehutanan untuk mendapatkan data dan bukti apakah pengelolaan hutan tanaman di lahan gambut melalui penerapan ekohido berdampak positif terhadap kesejahteraan masyarakat, lingkungan, dan produktivitas hutan tanaman akasia.
Tim MRV, menurutnya, menyampaikan laporan hasil evaluasi dan verifikasi mereka yang dilakukan setiap 6 bulan sekali sejak pertengahan 2010 kepada Menteri Kehutanan melalui Direktur Jenderal Bina Usaha Kehutanan (BUK).
‘’Sejauh ini, hasil evaluasi dan verifikasi tersebut menunjukkan penerapan ekohidro mampu menjaga ketinggian air secara optimal, baik di kawasan hutan tanaman akasia, karet, dan kawasan konservasi, sehingga hal ini dapat meminimalisir subsidensi atau penurunan gambut, emisi CO2, dan risiko kebakaran hutan, serta dapat meningkatkan produktivitas lahan dan pengelolaan kawasan secara berkelanjutan,’’ kata Basuki. Dian Novarina, Deputy Director Sustainability PT RAPP menerangkan, sebagai pengembangan dari program MRV, Himpunan Ilmu Tanah Indonesia (HITI) dan Himpunan Gambut Indonesia (HGI) telah menginisiasi dilakukannya beberapa Focused Group Discussion (FGD) di antara para pakar dan praktisi untuk mendiskusikan isu-isu terkait pengelolaan lahan gambut di Indonesia, seperti subsidensi, emisi dan penyerapan CO2, kedalaman gambut, termasuk penerapan ilmu dan teknologi untuk memperbaiki pengelolaan lahan gambut.
‘’Salah satu rekomendasi dari FGD yang ke-5 adalah penerapan remote sensing atau penginderaan jauh dan teknologi georadar untuk menduga cadangan karbon di lahan gambut. Bila radar adalah untuk menduga cadangan karbon di atas permukaan tanah, maka georadar adalah pendugaan cadangan karbon di tanah dan di bawah tanah. Penggunaan teknologi radar untuk pendugaan stok karbon diharapkan dapat memberikan hasil pengukuran yang lebih akurat dan mengurangi perdebatan di antara banyak pihak. Meski demikian, tentunya teknologi ini perlu diuji coba dengan pengukuran di lapangan,’’ imbuh Dian.
Menindaklanjuti hasil FGD tersebut, HGI bekerja sama dengan IPB, BPPT (Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi) dan PT RAPP melakukan uji coba penggunaan instrumen georadar dan geolistrik untuk mengukur ketebalan gambut. Survei lapangan dilakukan di lokasi PT RAPP Estate Meranti di Semenanjung Kampar pada 25-28 Agustus 2013.
Pakar HGI yang juga ahli remote sensing, Mahmud Raimadoya, menjelaskan, tiga komponen penyimpan karbon adalah biomassa tanaman, bahan organik mati di permukaan tanah seperti serasah daun dan ranting, dan tanah gambut.
Pada komponen tanah gambut terutama tentang kedalaman gambut masih terjadi kontroversi dalam cara pengukurannya, terutama terkait dengan pengukuran kedalaman gambut.
‘’Maka diperlukan adanya teknologi yang tepat guna untuk membantu mengurangi ketidakpastian tersebut. Teknologi georadar mengukur kedalaman gambut dengan menggunakan pulsa radar tanpa merusak tanah gambut, sehingga bisa diperoleh hasil pengukuran dengan cara yang lebih cepat dan bisa menyimpan rekaman hasil pengukuran dalam dua dimensi,’’ jelas Mahmud.
Pada uji coba yang dilakukan di lokasi PT RAPP di HTI Semenanjung Kampar, jelas Mahmud, hasil pengukuran kedalaman gambut dari georadar tersebut dibandingkan dengan pengukuran geolistrik dan bor gambut.
Geolistrik mengukur hambatan listrik dari media yang dilewatinya, sehingga dari nilai hambatan itu bisa menentukan jenis media dan kedalamannya dalam hal ini tanah gambut.
Sedangkan bor gambut adalah metode konvensional yang selama ini digunakan untuk mengukur ketebalan gambut namun tidak mempunyai rekaman data yang dapat diverifikasi tanpa harus datang ke lapangan.
Menurut Mahmud, kesimpulan awal dari kegiatan uji coba bersama tersebut adalah bahwa teknik georadar dapat dimanfaatkan untuk pegukuran kedalaman gambut di Indonesia seperti juga yang dilakukan di luar negeri, tanpa menimbulkan kontrovesi yang baru karena hasil pengukuran dari ketiga metodologi tersebut, yaitu georadar, geolistrik, dan bor gambut, dapat dibandingkan satu dan lainnya dengan hasil yang konsisten.
Hasil kajian ini akan disampaikan dan ditindaklanjuti dalam forum internasional Oktober mendatang.
Mulia Nauli, Direktur PT RAPP, menyatakan apresiasinya terhadap inisiatif Cifor sebagai lembaga penelitian kehutanan internasional yang membuka diri untuk berdialog dengan para pemangku kepentingan dan melakukan kunjungan lapangan untuk mendapatkan gambaran lebih lengkap terhadap kondisi aktual di lapangan terkait dengan isu kebakaran dan asap di Riau.
Juga penelitian yang dilakukan oleh berbagai tim independen lainnya.
‘’Kami berharap Cifor melalui riset dan kajian yang dilakukan dapat membantu pengelolaan hutan secara berkelanjutan di Indonesia, dengan memanfaatkan pengalaman internasional yang dimiliknya. Terkait isu kebakaran hutan dan asap, Cifor perlu melibatkan para pemangku kepentingan untuk memperoleh informasi yang lebih obyektif, sehingga bisa menghasilkan solusi terbaik,’’ ungkap Mulia Nauli.***