Letaknya terselit dari hiruk pikuk kemajuan kota. Sulitnya jalur transportasi membuat Tasik Serai jarang dijamah para wisatawan dan terkesan masih perawan. Hanya saja bunyian mesin robin dan percikan air daun dayung para nelayan mengharu di tengah luas membentang Tasik Serai.
Laporan ERWAN SANI, Tasikserai
‘’INILAH Tasik Serai.’’ Ucapan itu keluar dari mulut Kepala Desa Tasik Serai Timur, Basri S sambil menunjuk dataran rendah berisikan air yang menghitam, rumput padi-padi yang terhimpun rapi di tepian air dan rimbunan rasau terlihat dari kejauhan. Selain itu bentengan hutan terlihat mengelilingi tasik ketika mata ditujukan jauh nun di sudut tasik.
Tasik Serai yang terletak di koordinat 1°4’52"N 101°30’22"E. Kawasan Tasik Serai lebih dekat dicapai melalui Desa Tasik Serai Timur. Desa berdekatan langsung dengan tasik ini berjarak dari ibu kota Kecamatan Pinggir atau dari Duri hanya sejauh 58 kilometer.
Perkampungan Tasik Serai Timur terkesan sangat sejuk dan asri, karena di setiap pemukiman dan kiri kanan jalan dikelilingi rimbunan pohon karet dan sawit. Hawa sejuk membuat hati Riau Pos menggebu untuk cepat sampai ke tasik yang luasnya mencapai delapan kilometer persegi. Hembusan angin dari rimbunan daun-daun pohon karet di tepi jalan menyegarkan napas dan badan, walaupun Kamis (30/1) itu jam sudah menunjukkan pukul 14.00 WIB.
Berjalan sekitar pukul 15 menit menggunakan mobil dan sepedamotor baru tiba di tepian air Tasik Serai. Tiba di tepian air, jejeran sampan kolek dan pompong terlihat bertambat pada pancang dari kayu seukuran lengan orang dewasa. Beberapa nelayan tampak sibuk mengundurkan sampan mereka dengan cara mengondan (mendorong) ke alur suak yang agak dalam.
Bersamaan dengan itu, beberapa pompong berukuran agak besar sudah menunggu di tepian suak. Rombongan tim kecil Riau Pos menyegerakan diri untuk turun ke air. Air hitam di tepian Tasik Serai ini kian menghitam ketika para nelayan dan rombongan mengarunginya. Lumpur-lumpur dari tanah gambut dan sisa kulit kayu dan rumput tepian suak terlihat berburak (mengeruh) ke dasar air. ‘’Hati-hati lumpurnyo agak dalam,’’ jelas Kepala Dusun I Tasik Serai, Jiun (45) sambil terus melangkah ke air.
Air tasik yang mulai mengering dua pekan terakhir membuat sampan kolek dan pompong nelayan terkering di atas lumpur. Akhirnya harus mengondan sampan dan pompong agak jauh ke tengah alur suak yang ada. Sekitar 30 menit berjibaku dengan lumpur dan dangkalnya air suak tepian tasik akhirnya baru bisa Amran (38) sang pemilik pompong menhidupkan mesin robinnya.
Pompong berbobot 1,5 ton tersebut terlihat sarat, karena jumlah penumpang di dalam pompong milik nelayan Tasik Serai Timur ini over kapasitas. Sekitar 10 penumpang di dalamnya, sehingga jarak air tasik dengan pompong sekitar sejengkal. ‘’Kita tak bisa laju-laju ko. Pelan-pelan ajo yo,’’ ucap Amran sambil menurunkan gas robin yang diberi alat khusus berupa sap panjang dan kipas besi diujungnya.
Berjalan sekitar 10 menit, hawa air dari dalam Tasik Serai mulai menyapa hidung. gemercik air dari haluan pompong membuat tak sabar tangan untuk meraih air. ‘’Air tasik ini bersih, cobalah diminum,’’ ucap Kepala Dusun III, Jantan (48) kepada Riau Pos saat itu. Dengan adanya ucapan itu, seketika itu juga Riau Pos mulai memasukkan air dari tangan ke dalam mulut. Ternyata benar air berwana kehitaman dan seperti air teh segar di tenggorokan.
Sedangkan mata disapa pemandangan yang hijau dan rimbun. Rimbunan pulau-pulau rasau berukuran raksasa terconggok di pepak tasik air yang hitam ini. Tanpa sadar ratusan rasau terlampaui pompong. Sibuk mengambil momen indah dari tengah Tasik Serai, tak sadar sudah satu jam berkeliling.
Pulau Pancur yang Menghijau
Sekitar pukul 15.30 WIB tiba di pulau besar di Tasik Serai. Pulau yang diberi nama Pulau Pancur, karena rimbunan pucuk pepohonan daun hutan bersatu di puncak pulau.
Pulau yang memiliki luas kurang lebih delapan hektare jika air tasik susut, sedangkan kalau air Tasik Serai tinggi hanya bersisa kurang lebih dua hektare. Berbagai pohon kayu ada di dalam pulau yang masih perawan ini.
Pulau yang terlihat melintang di tengah Tasik Serai dan dipadukan dengan belasan pulau rasau terkesan sangat eksotik. Apalagi pantai yang landai ditumbuhi rumput padi dan pohon sigogah (sebutan tanaman bagi warga setempat) memagari pulau kecil ini. Sedangkan di tengah pulau ini terdapat berbagai pohon kayu yang mahal dan menjadi obat-obatan. Di antaranya ada pohon pasak bumi (pitalo bumi sebutan warga setempat), meranti, medang, rengas, punak dan tambusu air.
‘’Sebenarnya kalau dilihat dari jauh ada dua pulau. Tapi realitanya hanya satu pulau. Ini dikarenakan pucuk-pucuk pohon kayunya bersatu sehingga terlihat lekukkan,’’ jelas Basri yang saat itu bersemangat mengajak para rombongan ke dalam pulau.
Pulau Pancur menjadi kebanggaan masyarakat Tasik Serai Timur, karena di pulau ini saja masih terdapat tegakkan hutan yang alami. Sedangkan di tepian tasik tak adalagi tegakan hutan yang banyak. Sebagian sudah dikelolla perusahaan dan sebagian sudah dijadikan masyarakat perkebunan.
Melihat hijau dan lebatnya tegakkan kayu hutan di tengah Pulau Pancur, membuat Riau Pos mencoba untuk menghampirinya. Ternyata ketika turun dari pompong tak bisa berjalan melenggang masuk ke tengah pulau. Dalamnya lumpur di tepian pulau membuat kaki terpesuk hingga sebatas lutut. ‘’Jalannya dipercepat pak. Kalau tidak terpenam kaki kat lumpur,’’ terang Ketua RW 01 Desa Tasik Serai Timur, Ismail (46).
Sekitar sepuluh menit berjibaku dengan lumpur di tepian pulau akhirnya baru bisa berjalan di atas tanah keras. ‘’Akhirnya sampai juga,’’ ucap Riau Pos kepada Basri yang sudah duluan masuk ke tengah hutan.
‘’Inilah hutan kami yang tinggal pak. Kalau berdekatan dengan kampung tak ado lagi do,’’ jelasnya sambil tangnya memegang salah satu pohon medang saat itu.
Cerita Basri, pulau pancur sendiri pernah dicoba masyarakat untuk membuka perkebunan. Akan tetapi karena kesigapan dari seluruh masyarakat Desa Tasik Serai Timur, akhirnya tak jadi dikelola. ‘’Ada warga coba menebas dan membersihkan hutan di Pulau Pancur. Tapi seluruh aparat desa melarang, akhirnya tak jadi. Kan nampak tu sebagian sudah dibersihkan, karena cepat diambil kebijakan akhirnya tak jadi,’’ jelas Basri sambil menunjuk semak-semak belukar yang sudah ditebas warganya.
Keberadaan Pulau Pancur sendiri ke depannya, kata Basri bakal ditetapkan sebagai hutan desa. Karena masyarakat desa dan perangkat desa sudah membuat kesepakatan segera membuat Peraturan Desa (Perdes), tetang pelarangan untuk menebang hutan di tengah Pulau Pancur. Keinginan membuat hutan desa, paling tidak bisa menyelamatkan air di dalam Tasik Serai, kemudian diyakini bisa mengurangi kerusakan habitat di dalamnya.
Dari dua pulau berhutan tegak, yaitu Pulau Pancur dan Pulau Bulu yang bisa terselamatkan hanya Pulau Pancur. Karena Pulau Bulu sudah habis hutannya karena terbakar. ‘’Kalau tak ada hutan di pulau ini susah lagi warga mencari akar Pitalo Bumi. Sebab Pulau Bulu hutannya sudah hangus terbakar,’’ ucap Basri.
Saat berada di tengah Pulau ini kemarin, beberapa warga menyempatkan diri mendapatkan akar Pitalo Bumi. Dino bersama Jantan saat itu menyempatkan diri menebang satu pohon Pitalo Bumi. ‘’Alhamdulillah dapat oleh-oleh untuk dibawa pulang,’’ jelas Ismail sambil memikul akar Pitalo Bumi sebesar pangkal lengan orang dewasa.
Berkeliling Pulau Rasau Hingga Kuala Tasik
Berada 45 menit di dalam Pulau Pancur akhirnya rombongan kepala desa kembali ke pompong. Perjalananpun dimulai kembali terutama mengelilingi beberapa pulau rasau besar di tengah Tasik Serai.
Perjalanan yang awalnya sedikit panas karena cerahnya matahari, sore itu berubah menjadi redup. Pompong melintasi dari satu pulau rasau ke pulau rasau lainnya. ‘’Tujuan kita sekarang menuju muara Tasik Serai,’’ ucap Basri dan diiakan Amran sang kapten pompong.
Dengan perlahan menyusur tengah Tasik Serai sore itu terkesan lebih eksotik lagi, selain bisa melihat berbagai kegiatan para nelayan mengangkat jaring dan para nelayan yang memasang belat (empangan dari jala yang diberi kayu sebagai pancang dan ada pundinya) di beberapa suak yang airnya sungai menipis. Beberapa kali pompong harus melintas di tengah belat milik nelayan.
Angin turun sepoi-sepoi sore itu benar-benar menyejukkan perasaan dan menyejukkan mata melihat pulau-pulau rasau. ‘’Kalau angin kuat muatan pompong tak bisa sebanyak ini, bisa tenggelam pompong kena ombak (gelombang air,red) Tasik Serai ini,’’ jelas Jantan. Karena Tasik Serai jika air tinggi gelombangnya bisa mencapai satu hingga dua meter.
Makin ke muara Tasik Serai semakin banyak pondok warga berdiri, karena sebagian warga memilih mandah untuk mengumpul ikan. Pemandangan pondok-pondok bertiang tinggi di tepian tasik membuat Tasik Serai begitu indah dan sejuk.
Tiba di muara Tasik Serai, Amran mulai mematikan mesin robin dan merapat di salah satu pondok nelayan. Pondok nelayan bernama Nasir (40) menjadi tempat peristirahatan sebentar. Sambil minum dan makan ikan salai.
Selain itu pemandangan berjejer pondok di muara membuat indahnya hulu Siak Kecil saat itu. Di muara rombongan tak berlama-lama karena matahari semakin condong ke barat. Akhirnya diputuskan untuk kembali ke pangkalan yang merupakan salah satu suak tempat berlabuh para nelayan Desa Tasik Serai Timur.
Tasik Serai Jadi Tujuan dan Pelopor Hutan Desa
Kearifan lokal yang dihembuskan masyarakat Tasik Serai membuat tasik yang luas tetap terjaga keasriannya. Apalagi kebijakan masyarakat untuk tidak menebang hutan-hutan tegak di pulau-pulau tengah tasik.
‘’Ini yang bisa kita lakukan untuk menyelamatkan tasik ini. Kalau tidak tentu kita sulit, sebab tasik ini menjadi tumpuan masyarakat melanjutkan hidup,’’ ucap Basri.
Tasik serai menjadi tujuan wisata tetap menjadi impian baginya, akantetapi sulitnya medan menuju perkampungan yang terletak antara Duri, Pinggir, Mandau, Siak dan Bukitbatu ini masih tetap terbiar potensinya. ‘’Jalan lintas menuju kampung kami ini masih sulit. Kalau mau jalan bagus harus melintas jalan perusahaan. Kalau orang baru sulit untuk masuk karena jalannya berputar-putar,’’ jelasnya.
Padahal jarak Desa Tasik Serai Timur atau Tasik Serai hanya berkisar 58 kilometer. Namun jalan rusak, berlumpur waktu hujan, berdebu waktu panas dan bergelombang membuat lama perjalanan dari Duri sampai Tasik Serai hingga dua jam perjalanan. ‘’Kalau alam rasanya tak kalah dengan yang ada di daerah lain. Hanya saja kita terselit di tengah rimbunan sawit, karet dan HTI milik perusahaan,’’ jelas Basri.
Melihat kearifan lokal ini, koordinator Jikalahari Riau, Muslim menegaskan bahwa apa yang dilakukan masyarakat Tasik Serai Timur sangat tepat. Karena mereka ingin tetap memiliki hutan dan alam yang terus bersahabat dengan mereka. ‘’Menjaga hutan tegakkan dan tak merusak alam di dalam tasik kearifan lokal tak terbantahkan dan harus didukung semua elemen. Pemerintah, perusahaan dan tokoh adat di Riau,’’ jelasnya.
Sejak lama dirinya paham, bahwa keperluan akan kayu hutan dan segala isinya menjadi hal utama. Namun dirinya yakin jika masyarakat mengelola dan dilakukan berbagai aturan mengikat tak akan dirusak semuanya. ‘’Kearifan lokal yang ada pasti berbuah manis untuk penyelamatan hutan dan lingkungan,’’ jelasnya.
Begitu juga ungkapan yang disampaikan Direktur Mitra Insani, Zainur Hasyim, kearifan lokal harus terus dijaga. Karena kearifan lokal tak merusak hutan, merusak air dan merusak habitat yang ada di dalamnya bisa berbuah manis penyelamatan tasik dan sungai. ‘’Dari sekarang mari kita dukung keinginan masyarakat untuk sadar lingkungan. Dengan begitu dirinya yakin tasik dan hutan bisa terselamatkan. Karena kesadaran masyarakat di kedepannya,’’ jelas Zainuri.
Kepala Desa Tasik Serai Timur, Basri menegaskan agar hutan dan tasik tak rusak bersama masyarakat sudah membuat kebijakan. Terutama tidak membenarkan masyarakat menuba tasik, menyentrum ikan dan alat merusak lainnya. Kemudian larangan menebang hutan yang ada di pulau-pulau di tengah tasik. ‘’Ini upaya kita agar alam kami tetap asri dan segala bermanfaat di dalamnya masih bisa terjaga dan dikecapi masyarakat,’’ jelasnya.
Terpenting perhatian pemerintah kabupaten dan provinsi bagaimana alam yang indah ini tetap terjaga dan menjadi roda ekonomi masyarakat. ‘’Tolonglah promosi alam kami ini biar dia dikenal orang banyak. Sehingga tasik ini menjadi tujuan wisata,’’ lanjutnya.
Semoga mimpi dan kearifan lokal masyarakat tercapai dan tetap terpahat sehingga manusia tetap bersahabat dengan alam. ***