Laporan JPNN, Tokyo
Mumi jarang dikaitkan dengan Jepang. Tapi, di Kuil Emas ada tiga penguasa masa lalu yang menjadi mumi. Kuil di Prefektur Iwate itu saat ini direnovasi setelah tahun lalu ikut terkena gempa.
Suhu hampir nol derajat ketika kami sampai di kompleks Kuil Chuson-Ji di Hiraizumi. Kompleks itu berada di atas pegunungan di Prefektur (Provinsi) Iwate. Bangunan utamanya berupa kuil induk dan, ini yang istimewa, Konjikido alias Balai Emas. Di pertamanan kompleks itu banyak pagoda dan kuil yang lebih kecil. Bangunan asli yang lestari dari kompleks itu adalah Konjikido dan repository atau tempat penyimpanan sutra (kitab-kitab yang disucikan).
Di kuil induk, sisi kiri masih ditutup tripleks. Akibat terdampak gempa tahun lalu, beberapa bangunan kuil yang sudah tua retak. Setelah setahun bencana 11 Maret 2011 itu berlalu, renovasi belum tuntas. Sebab, membangun kembali situs tua itu butuh kehati-hatian. Prefektur Iwate termasuk terparah terkena gempa, tapi kebanyakan kerusakan terjadi di pantai akibat tsunami.
Jalan yang basah sudah dibersihkan dari salju. Onggokan salju membukit di beberapa tempat. Seorang pendeta berwajah damai, Choujun Kanno, menyambut kami. Tangannya terus memutar tasbih sembari memberikan wawancara kepada tujuh wartawan internasional, termasuk JPNN, yang diundang pemerintah Jepang. ‘’Kuil ini dibangun untuk kedamaian,’’ kata kepala pendeta itu tentang kuil yang dibangun pada abad ke-12 (sekitar tahun 1.100) itu.
Kuil yang terletak lebih dari 200 Km di timur laut Tokyo itu dijadikan warisan dunia oleh UNESCO sejak Juni 2011. Ini menjadi penyemangat bangkitnya turisme Jepang yang terkulai oleh gempa, tsunami, dan kecelakaan nuklir di Fukushima. Lokasi ini sangat jauh di luar pengaruh kecelakaan nuklir itu.
Pembangun kuil cantik tersebut adalah Kiyohira, pemimpin pertama Klan Oshu Fujiwara. Dasarnya berbentuk bujur sangkar 5,5 meter dan tinggi sekitar delapan meter. Di dalamnya terpacak 32 patung berbagai sosok yang disucikan. Mestinya 33, tetapi hilang satu. Pose patung itu seperti adegan di singgasana raja. Kuil ini sangat mencorong karena dinding, lantai, tiang-tiang, langit-langit, plafon, singgasana, patung, dan aneka ornamennya dilapisi emas atau disemprot makie (cairan emas dan perak). Permata, yang waktu itu diimpor dari luar Jepang, ikut menambah kerlap-kerlip kuil.
‘’Semua dibangun dari hasil keuntungan dagang,’’ kata Choujun Kanno. Jadi, pembangunannya tak membebani rakyat. Setelah berhasil menjinakkan serangan ganas pemerintah pusat Tokyo, Klan Oshu Fujiwara berhasil membawa kedamaian di Jepang Utara. Karena itulah, perdagangan berkembang. Setelah membangun kastil dan kota di tanah datar di kaki pegunungan, yakni Kota Hiraizumi, sang samurai membangun kuil istimewa di pegunungan yang jaraknya sekitar tiga kilometer dari sana. Hiraizumi kini hanya salah satu kota kecil di Iwate.
Itulah hasil ikhtiar membangun kuil kedamaian itu. Kuil Emas yang megah, dikitari bangunan lain yang anggun. Kini, terlebih setelah jadi, kuil itu tak dibiarkan terkena terpaan salju dan panas. Kuil mungil itu kini bertempat dalam bangunan berbentuk kuil yang lebih besar. Pengunjung bisa menikmati kuil kuning kemilau itu dari balik kaca yang mengitarinya.
Nah, di bawah lantai kuil itu bersemayam tiga penguasa Klan Oshu Fujiwara. Yakni, Kiyohira, Motohira, Hidehira, dan Yasuhira. Namun, hanya tiga yang mengalami pemumian utuh. Ketika terakhir diperiksa pada 1950, mumi Kiyohira berada di altar tengah. Sedangkan mumi Motohira terbujur di altar barat laut; dia diidentifikasi meninggal karena perdarahan di kepala.
Sedangkan mumi Motohira di altar tenggara. Di peti mati Motohira juga ditemukan mumi kepala putranya, Yasuhira, yang dipenggal dengan pedang tumpul pada 1189. Tragedi ini mengakhiri kekuasaan Klan Oshu Fujiwara yang sudah menebar kesejahteraan seratus tahun. Kotak penyimpan kepala ini ditempatkan di etalase pameran benda peninggalan klan Oshu Fujiwara. Kotak itu seukuran kardus kemasan mie instan, berwarna hitam. ‘’Memumikan mayat memang bukan ajaran Buddha. Tapi, pemumian ini terjadi secara alami,’’ kata sang pendeta beralis putih ini.
Tak ada perlakuan khusus untuk memumikannya. Sang pendeta tak langsung mengatakan itu sebagai keajaiban meskipun itu mengherankan. Kalau pemumian terjadi karena meninggal saat musim dingin, kata sang pendeta, ketiganya meninggal di musim berbeda. Pendeta Kanno menceritakan, berbagai penelitian berusaha menjawab misteri mumifikasi di Kuil Emas itu. Muncul dugaan, mayat mereka terawetkan karena dimakamkan dengan peti mati dari cemara khas daerah itu. Tetapi, memang belum ada konfirmasi, apakah mayat lain yang dimakamkan dengan peti cemara itu juga mengalami pemumian.
Yang jelas, keanehan ini menjadi daya tarik tambahan dari kemilau Kuil Emas. Sekalipun ketika datang ke sana. pengunjung hanya bisa membayangkan ada tiga mumi utuh plus satu mumi kepala. Suasananya yang remang plus narasi dari sound system menambah imajinasi peristiwa satu milenium yang lalu. Apalagi, di sekelilingnya ada etalase berbagai benda peninggalan, seperti mangkok, perhiasan, sisa-sisa jubah, hingga patung Buddha bertangan banyak.
Lokasi yang tenang itu menjadi tujuan turis Jepang sendiri maupun asing, terutama dari Cina. Selain hanya melihat-lihat, beberapa pengunjung melempar sedekah ke kotak amal di pintu kuil dan bersembahyang. Kotak amal itu sangat besar, sebesar kotak wayang para dalang dengan diberi teralis di bagian atas. Glodak... cring... begitu bunyi yang terdengar setiap orang melemparkan uang logam ke dalamnya.
Kedamaian di lokasi itu terpelihara. Hutan-hutan di sekelilingnya terawat baik. Tak heran bila orang senang mengunjungi situs paling kemilau di Jepang itu.(ari/ila)