Laporan LUKMAN PRAYITNO, Kamparkiri Hulu redaksi@riaupos.co
Tingginya curah hujan sejak beberapa bulan terakhir membuat kondisi jalan yang menghubungkan Lipatkain dengan 16 desa di Kecamatan Kamparkiri dan Kamaparkiri Hulu rusak parah. Bahkan 4 desa di Kamparkiri Hulu saat ini terisolir dan terancam rawan pangan.
Gerimis masih turun saat Riau Pos memacu kendaraan roda dua menuju Desa Lubukcimpur, Kecamatan Kamparkiri, Kampar Selasa (31/12) pukul 14.25 WIB lalu.
Di desa yang terbentang di tepi Sungai Subayang tersebut, Riau Pos berjanji bertemu dengan M Pozir (19), salah seorang warga Desa Kuntu. Ia yang menjadi pemandu menuju empat 4 desa terisolir di Kecamatan Kamparkiri Hulu.
Karena menurut pengakuannya, ia telah lima kali berkunjung ke Desa Batusasak, yang berbatasan dengan Desa Lubukbigau, salah satu desa yang terisolir.
Sekitar 15 menit menunggu, Pozir muncul diantar Aryan Sakri (18), pemuda desa yang sama yang juga sering berkunjung ke sana.
Tak menunggu lama, sepedamotor pun dipacu melewati jalan lintas yang menghubungkan Jalan Lipatkain-Kuntu dan juga Jalan Lipatkain-Lubukagung. Hingga akhirnya jalan mulus berubah menjadi seperti kubangan.
‘’Nah ini contoh awal kondisi jalan yang akan kita lalui nanti. Rusak parah dan berlumpur, bahkan lumpurnya melewati gigi tarik sepedamotor. Kalau kondisi jalan sedang parah, kadang bukan motor yang membawa kita. Tapi kita sendiri yang akan mengangkat kendaraan agar bisa melewati kubangan lumpur tebal,’’ ungkap Pozir.
Hujan kian lebat dan memaksa untuk menghentikan perjalanan. Pozir langsung memakai jas hujan, sedangkan Riau Pos hanya mengenakan jaket antiair dan celana pendek berbahan kain antiair. ‘’Ayo kita tancap, nanti telanjur malam,’’ ajak Riau Pos.
Perjalanan pun dilanjutkan dengan kecepatan di speedometer hanya di bawah 50 kilometer per jam. ‘’Kalau kondisi jalan buruk seperti ini biasanya kecepatan hanya bisa dipacu hingga 45-50 kilometer per jam. Namun jika kondisi jalan bagus kecepatan bisa ditambah hingga 60 kilometer per jam,’’ jelas Pozir.
Setelah lebih kurang 8 kilometer berkendara, tiba di Desa Tanjung Mas, Km 13 jalan lintas Lipatkain-Lubuk Agung. Kondisi jalan mulai berlumpur dengan ketebalan 20-30 centimeter mulai menjadi pemandangan yang biasa. Berkendara baru terasa nyaman saat melewati jalan berbatu.
Tiba di Desa Sungai Raja, sekitar 8 kilometer berkendara, kondisi jalan lumayan mulus karena telah disemenisasi. Sehingga kecepatan bisa dipacu hingga 60-70 kilometer per jam.
Tanpa terasa kondisi jalan mulus masih terasa meski masih berbatu menuju Desa Lubukagung. Namun di desa ini kondisi jalan kembali mulus dan telah beraspal. Begitu juga jalan menuju Desa Muaraselaya. Pemandangan di kanan kiri jalan dihiasai keindahan alam kawasan Bukit Barisan.
Mulusnya jalan beton menuju Muara Selaya memudahkan untuk melewati turunan curam dan berkelok menuju desa tersebut. ‘’Terasa malu melintas di sini sepedamotor berlumpur. Kondisi jalan sangat bagus layaknya jalan nasional, tapi sayangnya setelah ini kondisi jalan tak ubahnya jalan menuju hutan,’’ terang Pozir.
Usai melewati Desa Muara Selaya, kondisi jalan mulai rusak. Sepanjang mata memandang, hanya jalan tanah dan berlumpur di beberapa bagian ruas jalan. Namun di beberapa pendakian kondisi jalan telah disemenisasi, namun panjangnya hanya hitungan puluhan meter. Terkadang hanya mencapai belasan meter saja.
Rasa lelah sangat terasa begitu mendapati bukit yang akan dilewati kemiringannya mencapai hingga 50 derajat. Namun trek yang mesti dilalui berlumpur dan licin karena air juga mengalir dari mata air di kaki bukit. Di sebelah kiri terdapat Bukit Sianik, sedangkan di kanan jalan hanya ada lembah curam dengan pemandangan bukit barisan nan eksotis.
Bersama Pozir sebelum mendaki bukit curam, beristirahat sebentar. Selang beberapa menit beristirat, suara khas sepeda motor meraung dari atas bukit, disusul dua kendaraan muncul perlahan menuruni jalan curam berlumpur. Meskipun jauh di tengah hutan dan perbukitan, sinyal handphone terlihat masih ada.
Ketika melihat warga yang turun dari atas bukit, Riau Pos pun bertanya seberapa jauh perkampungan warga. ‘’Sekitar 10 menitan lagi berkendara, jaraknya sekitar 3 kilometer lebih,’’ ujar pria yang baru menuruni jalan curam bukit tersebut tanpa sempat berkenalan.
Waktu menunjuk pukul 17.35 WIB. Langit mendung membuat jalan semakin gelap. ‘’Ayo kita berangkat lagi, keburu malam tiba di Desa Batu Sasak,’’ ajak Pozir.
Jalan terjal mesti kami lalui, sesekali kendaraan mesti didorong karena buruknya kondisi jalan. Menjelang sampai di Desa Batusasak, terlebih dulu melewati Desa Derastajak yang berjarak sekitar 8 kilometer dari Desa Muaraselaya. Jalan yang dilewati tak ubahnya kelok 44 Sumatera Barat dengan kondisi rusak parah dan berlumpur.
Sejumlah jembatan beton yang dilewati dipenuhi lumpur sedalam lebih 20 centimeter. ‘’Lucu, di atas jembatan ada pula lumpur setebal ini. Sehingga memicu jembatan cepat rusak karena selalu tergenang air dan lumpur tebal,’’ tutur Pozir.
Langit kian gelap, begitu tiba di Desa Tanjung Karang, sekitar 3 kilometer dari Desa Derastajak. Kondisi pemukiman yang berada di kaki Bukit Barisan ini terlihat sepi. Hanya ada beberapa warga yang duduk-duduk di depan rumah. Maklum saja waktu telah menunjukkan pukul 18.17 WIB.
Mengingat waktu semakin sempit dan matahari sudah meninggalkan peraduannya, Riau Pos agak ragu melanjutkan perjalanan. Bahkan berniat bermalam di Desa Tanjungkarang. Berencana mencari rumah kepala desa untuk bermalam. Namun semangat juang yang tinggi ditunjukkan Pozir.
‘’Sudah tanggung, jaraknya tinggal sekitar 7 kilometer lagi. Sekitar 30 menitan kita bisa tiba di sana,’’ jawabnya Pozir.
Pozir terlihat cekatan berkendara melewati trek berlumpur dan licin. Meski terkadang Riau Pos mesti turun dan mendorong kendaraan agar bisa melewati jalan menanjak dan berlunpur. Sesekali harus berjalan kaki menyusul Pozir yang telah terlebih dulu memacu kendaraan hingga ke puncak bukit.
Sekitar pukul 18.58 WIB, baru tiba di Desa Batusasak. Di sini Pozir langsung mengarahkan kendaraan menuju rumah keluarga Ismail (62). Karena sudah saling kenal, langsung diminta untuk masuk ke dalam rumahnya. ‘’Pak, kalau tempat cari sinyal handphone di mana ya?’’ tanya Riau Pos, usai memperkenalkan diri. ‘’Kalau cari sinyal handphone ada dekat Puskesmas. Di sana ada kursi kayu, sekitar dua meter di sekeliling kursi biasanya ada sinyal,’’ terangnya.
Riau Pos pun memutuskan untuk menginap di rumah Ismail dan melanjutkan perjalanan esok harinya. Menurut Beni (33), menantu Ismail, kondisi jalan yang akan dilewati menuju desa berikutnya rusak parah. Beberapa jembatan kayu rusak dan putus.
Menurut Ismail, baru 3 jembatan yang diperbaiki, itupun jembatan kayu. Padahal ada sekitar sembilan atau sepuluh jembatan menuju Desa Lubukbigau.
Kondisinya memang sudah rusak parah dan tidak bisa dilewati sejak enam bulan terakhir. Biasanya masyarakat di sana berbelanja sembako langsung Kabupaten Limapuluh Kota, karena lebih dekat. ‘’Namun kondisi jalan dan jembatan di sana juga telah banyak yang rusak. Sehingga bahan pangan sangat susah masuk ke sana. Kalaupun masuk harganya tentu sangat mahal,’’ paparnya.(*4/bersambung)