Setelah cukup lama vakum dari berbagai aktivitas karena sakit, musikus dan pengusaha Setiawan Djody kembali mengadakan konser di Gelora Bung Karno Jumat malam lalu. Mengusung Kantata Barock, bersama Iwan Fals dan Sawung Jabo, pria yang baru saja ganti hati itu tampil prima. Tak terlihat bahwa dia baru sembuh dari sakit keras.
Laporan Sugeng Sulaksono-Dian Wahyudi, Jakarta
‘’SAYA ingin tetap berjuang. Lebih baik mati bersemangat sambil teriak di panggung konser-konser daripada mati menua dan pikun di rumah.’’
Itulah penegasan Setiawan Djody ketika ditanya tentang alasannya kembali menghelat konser akbar bersama Iwan Fals dan Sawung Jabo, di Stadion Gelora Bung Karno, Jakarta, Jumat (30/12) malam. Prinsip itu, menurut dia, juga sudah disampaikan pada dua rekannya tersebut. ‘’Kami sepakat dan jadilah konser kemarin,’’ kata Setiawan di rumahnya kawasan Kemanggisan, Jakarta Barat, Sabtu (31/12) sore.
Apa yang dikatakan itu tercermin dalam aksi panggungnya ketika menghelat konser Kantata Takwa— membawa nama Kantata Barock. Di usianya yang sudah 62 tahun, dia masih kuat bermain 3,5 jam. Bernyanyi dan berteriak penuh tenaga, sembari bermain gitar.
‘’Gitar khusus yang saya pakai beratnya lumayan juga lho, sekitar 5 kilo. Nanti persisnya saya timbang,’’ canda pemilik nama lengkap Kanjeng Pangeran Haryo Salahuddin Setiawan Nur Hadiningrat itu, lantas tertawa.
Meski dominan berdiri, sesekali memang Setiawan beristirahat dan panggung diserahkan ke Iwan Fals. Selebihnya, kalaupun berat gitar itu terasa makin membebani, cucu pahlawan nasional dr Wahidin Sudirohusodo itu memanfaatkan kursi yang ada di panggung sambil bermain gitar. ‘’Saya setengah duduk saja. Kan itu bagian dari style juga,’’ imbuh pria kelahiran Solo, 13 Maret 1949 tersebut.
Pada Juni 2009 Djody menjalani sebuah operasi besar di Rumah Sakit Siloam Gleneagles, Singapura. Dia harus operasi setelah penyakit sirosis liver yang positif dideritanya sejak 2007 tak kunjung sembuh. Bahkan, kondisinya makin memburuk. Selama proses operasi, beberapa titik kritis antara hidup dan mati harus dilewatinya. ‘’Namun, perbedaan tentu ada. Saya yang sekarang tentu beda dengan saya dulu. Saya sebelum sakit tentu beda dengan setelah sakit,’’ katanya.
Dia mengaku, setelah sembuh dari sakit, kemampuannya bermusik sedikit beda. Terutama dalam bermain gitar. Dia merasa ada yang beda dalam memainkan senar-senar gitar listriknya. ‘’Ibarat seorang samurai, bermain gitar saya sekarang lebih memakai mata hati. Kalau dulu itu kan 50 persen pakai mata sambil bermain melihat gitar dan 50 persennya pakai hati,’’ jelasnya.
Di balik lantangnya suara dan lincahnya jemari memainkan gitar merahnya, pria yang juga pengusaha minyak itu mengakui minta izin pada dokter sebelum manggung. Intinya, apa dia tetap bisa meneruskan hobi bermain musik atau tidak.
Dia merasa gembira karena sang dokter mengatakan tak ada larangan untuk melakukannya. Meski demikian, sang dokter tetap memberi beberapa pantangan. Salah satunya tak mengambil nada vokal (oktaf) tinggi. ‘’Katanya baru boleh setelah tiga tahun (pascaoperasi, red),’’ ujar suami Etty itu.
Dalam beberapa kali sesi latihan hingga gladi resik, pantangan sang dokter dapat dilewati. Tapi, apa daya, atmosfer konser yang berhasil menjual lebih dari 50 ribu tiket itu begitu tinggi. Totalitas bermusik di atas pentas pun tergugah. ‘’Begitu lagu ‘’Nyanyian Jiwa’’ sama ‘’Mata Dewa’’ itu, saya ambil nada tinggi dan lepas. Mudah-mudahan tidak apa-apa,’’ harapnya, lantas tersenyum.
Meski demikian, bukan berarti dia tak melakukan upaya protektif terhadap kondisi kesehatannya. Tak seperti Iwan Fals atau Sawung Jabo yang lebih terbuka melayani permintaan salaman atau sekadar foto dengan penggemar, dia lebih selektif.
Ketika turun dari panggung, dia memilih menyamarkan diri. Dengan memakai jaket, topi, dan kacamata hitam, dia memisahkan diri dari Iwan Fals dan Sawung Jabo. ‘’Bukannya sombong, tapi ini juga saran Mas Dahlan (Menteri BUMN Dahlan Iskan, red) yang juga pernah operasi ganti hati, agar saya tidak mengumbar salaman dengan terlalu banyak orang,’’ katanya.
Selain dokter, pihak yang sempat mengutarakan kekhawatirannya terhadap konser itu adalah keluarga. Namun, kekhawatiran mereka lebih pada keselamatan, bukan faktor kesehatan. ‘’Soal kesehatan sih keluarga tidak begitu khawatir. Takutnya, katanya ada orang yang tidak suka karena, kan biasa, isinya kritik dan saya banyak orasi,’’ ucapnya.
Justru karena isi lagu dan orasi yang kental dengan kritik terhadap pemerintah dan berbagai kecurangan di Indonesia itulah yang membuatnya tambah bersemangat. Dalam konsernya, kritik itu memang sangat nyata. Selain dari ucapan, juga dari faktor pendukung, terutama video dan foto-foto yang ditayangkan dalam layar raksasa sebagai latar belakang panggung dan empat layar pendukung. Dua di sisi kiri dan dua di sisi kanan.
Kritik pada pemerintah sekaligus pesan sosial diselaraskan dengan lagu yang sedang dilantunkan. Tata kelola video dan foto yang diurus sutradara Hanung Bramantyo itu beragam. Mulai dokumenter perang dunia kedua, pidato Presiden AS JF Kennedy, pidato Presiden Soekarno, pidato Osama bin Laden, Gayus Tambunan, sampai penampilan foto besar Tan Malaka, tokoh nasional yang terlupakan.
Foto dan video kerusuhan yang belakangan terjadi juga tak luput ditampilkan. Di akhir penayangan video yang berisi kekejaman manusia itu terdapat rentetan tulisan: ‘’Kenapa ada banyak agama di dunia? Kenapa ada perbedaan di antara kita? Apa Kabar Toleransi?’’
Sikap kritis memang kental terasa. Di sela-sela wawancara, sejumlah keprihatinan terhadap kondisi bangsa beberapa kali diselipkannya. Mulai persoalan hukum, politik, sosial, hingga ekonomi. Tak hanya mengkritik, sejumlah solusi juga diungkapkannya. Misalnya, soal kesejahteraan petani dan nelayan. Dia mengusulkan pemerintah mendirikan dua perusahaan holding yang masing-masing membidangi urusan pertanian dan kelautan.
Dua holding itu diharapkan bisa mengambil alih sejumlah usaha milik swasta yang bergerak di bidang tersebut. Tentu dengan cara legal dengan membeli asetnya. Selanjutnya, dari dua perusahaan itulah, keuntungan secara khusus dikembalikan ke para petani dan nelayan di seluruh Indonesia. ‘’Sekarang kan swasta masih lebih banyak menguasai sejumlah usaha di dua bidang itu. Konsep ini selaras dengan UUD 1945 pasal 33,’’ ujarnya.
Bagaimana kelanjutan Kantata Takwa? Dengan tegas Djody mengatakan konser Kantata Barock dua hari lalu bukan yang terakhir. Rencananya, mereka juga menghelat konser lagi. Setidaknya di Surabaya dan Bali. ‘’Istirahat dulu sekitar tiga bulan, sembari mempersiapkan untuk yang Surabaya dan Bali,’’ imbuhnya.
Kantata Barock juga berencana masuk dapur rekaman lagi. ‘’Ini penting, karena itu bagian dari upaya membangun mesin kebudayaan lewat Kantata Barock untuk melakukan revolusi,’’ ujarnya.(c2/nw/jpnn)