POHON BERKURANG, TRADISI PACU JALUR TERANCAM HILANG

Menanti Habisnya Tugas Sang Pawang

Feature | Minggu, 01 September 2013 - 09:09 WIB

Menanti Habisnya Tugas Sang Pawang
Setelah prosesi meminta izin penunggu pohon oleh dukun dilakukan, salah seorang warga mulai memotong pohon yang tingginya mencapai 30 meter untuk dibuat Jalur, di Desa Pulau Tengah, Kecamatan Pangean, Kuansing belum lama ini. Foto: julprison/riau pos

Pacu Jalur tidak hanya soal perlombaan perahu siapa yang paling cepat. Tersirat juga makna pemersatu masyarakat, benteng adat dan kebudayaan. Namun kini makin terancam eksistensinya tersebab tidak ada lagi pohon untuk dibuat jalur. Diganti plastik, nilai pemersatu, adat dan kebudayaan bakal hilang

Laporan JUPRISON, Kuansing

Baca Juga :Sampaikan Pesan Pemilu Damai ke Nelayan yang Sedang Melaut

PROSES penumbangan kayu berusia sekitar 30 tahun dimulai di hutan berjarak 2 jam perjalanan dari Desa Pulau Tengah, Kecamatan Pangean. Seorang lelaki paruh baya, mulai mendekat ke bawah pokok kayu berdiameter sekitar 1 meter, tinggi 30 meter. Ia membawa seekor ayam untuk disembelih dan beberapa sesajian. Mulutnya kemudian komat kamit dibawah pohon.

Lelaki paruh baya itu disebut masyarakat dukun. Dukun diyakini warga sebagai orang yang memiliki kepandaian mengucapkan doa dan berkomunikasi dengan mambang atau penghuni pohon. Riau Pos berkesempatan mengikuti dan menyaksikan bagaimana prosesi ini dilangsungkan baru-baru ini. 

Setelah sang dukun selesai, giliran penumbang kayu bekerja. Itu juga ada pantang larangnya. Kayu jalur tidak boleh ditumbangkan ke arah matahari terbit dan tenggelam. Namun harus ke arah utara atau selatan. Karena diyakini, pohon tidak akan bisa melawan apabila tidak mematuhi pantang larang menumbang kayu jalur tersebut.

‘’Terkadang untuk mencari satu kayu jalur yang sesuai dengan ukuran, masyarakat harus berulang kali ke hutan. Karena diyakini, ada juga kayu yang hilang timbul di tengah hutan, karena ada penunggunya secara gaib. Itu yang sering kita temukan pada saat mencari kayu jalur. Tak bisa kita satu kali saja ke hutan. Sekarang sangat langka kayu yang bisa dibuat jalur. Entah tiga atau empat tahun lagi, mungkin tidak ada lagi,” kata Harkenzon, Ketua Jalur Ombak Nyalo Simutu Olang, Desa Pulau Tengah, Kecamatan Pangen kepada Riau Pos.

Pacu jalur ini menjadi unik, karena kekuatan dan keserasian dari para anak pacu dalam mengayuh tidak menjamin menentukan akan meraih kemenangan dalam berlomba. Karena diyakini pula, faktor peranan sang pawang jalur atau dukun jalur juga mempengaruhi hasil pacu.

Hal ini disebabkan, kayu yang telah berusia ratusan tahun itu memiliki mambang atau hantu. Tentu sang dukun itulah yang mengetahui bagaimana cara untuk menaklukkan kayu besar tersebut bisa di jadikan jalur. Setelah menjadi sebuah jalur, masyarakat yang dibantu sang dukun berkeyakinan kalau kayu itu tetap hidup secara gaib.

Sang dukun paham betul bagaimana jalur itu bisa kencang atas pertolongan Tuhan melalui perantara sang dukun. Dan itu pula sebabnya segala prosesi yang berkaitan dengan jalur itu mulai dari mencari, membuat, dan melepas jalur ke gelanggang pacuan di Sungai Kuantan tidak terlepas dari peranan sang dukun. Terkadang, dalam satu jalur itu ada tiga sampai enam orang pawang jalur atau dukun.

Bukan hari itu saja prosesi yang dilalui untuk pembuatan Jalur. Bisa berbulan lamanya. Untuk membuat jalur, masyarakat terlebih dahulu harus bermusyawarah di desa. Setelah itu, masyarakat bersama-sama mencari kayu ke hutan yang harus ditempuh dua hingga tiga jam perjalanan. Setibanya di hutan, karena sulitnya menemukan kayu, masyarakat berjalan di tengah hutan untuk menemukan pohon besar yang bisa dibuat jalur.

Setelah kayu didapat, kayu itu harus ditandai. Biasanya, tanda itu menggunakan cat berwarna merah supaya mudah dilihat. Kayu sudah didapat, masyarakat yang diutus mencari kayu harus kembali ke desa untuk memusyawarahkan rencana penumbangan.

Untuk memastikan masyarakat di desa, biasanya perwakilan masyarakat yang pergi mencari kayu jalur membawa ukuran kayu yang diambil, mulai dari jenis kayu, panjang hingga diameter. Jika sepakat, maka masyarakat kembali rapat di desa untuk merencanakan penumbangan. Rapat pun dilakukan, masyarakat kembali ke tengah hutan. Kali ini, selain perwakilan masyarakat, desa dan pengurus jalur juga membawa sang dukun dan tukang.

Usai jalur ditumbang, para perwakilan masyarakat harus kembali ke desa untuk bermusyawarah menurunkan kayu jalur tersebut. Setelah disepakati hari penurunan kayu jalur, maka masyarakat beramai-ramai pergi ke hutan bergotong royong menarik pohon yang sudah ditumbang tadi. Tapi saat ini, karena kayu yang akan dibawa ke desa letaknya jauh, maka sudah menggunakan alat berat dan kendaraan bermesin.

Untuk mencapai kampung, dibutuhkan perjalanan dua atau tiga hari perjalanan. Lalu, kayu jalur pun tiba di desa. Kendati sudah tiba, namun masyarakat harus kembali musyawarah untuk menetapkan si tukang pembuat jalur. Setelah tukang ditetapkan, baru kayu tersebut dibuat menjadi jalur, tapi tidak bisa langsung dipacukan di Sungai Kuantan.

Kayu jalur sudah dibuat, masyarakat lagi-lagi harus bermusyawarah untuk menentukan kapan pelayuran jalur (memanaskan dengan api agar bukaan kayu menjadi lebar, red). Jalur pun dilayur, dan dikodang selama beberapa hari. Setelah itu, sang tukang kembali menyelesaikan pekerjaannya bagaimana jalur ini bisa indah dan rapi, sehingga layak dipacukan. Jalur pun dicat lengkap dengan pernak-pernik dan asesorisnya, dan siap untuk dipacukan.

‘’Memang untuk membuat jalur kita itu harus melibatkan masyarakat, makanya setiap kerja yang kita lakukan harus kita musyawarahkan. Itu semangat dari pacu jalur. Inilah nilai adat, kegembiraan warga, gotong royong saat setiap tahunnya,” sambung Harkenzon.

Dalam pembuatan jalur, usia kayu jalur tidak begitu mempengaruhi. Justru yang mempengaruhi adalah besar dan kecilnya kayu tersebut. Meskipun kayu itu baru berusia 20 tahun, namun karena sudah memenuhi syarat untuk jalur, diamaternya lebih dari 1 meter dan panjangnya lebih dari 35 meter, tentu kayu itu sudah bisa dibuat jalur. “Itupun kayunya harus kayu yang bisa dibuat jalur, bukan kayu ringan seperti Pulai dan kayu ringan lainnya,” kata Harkenzon.

Jalur yang telah dibuat, untuk bertahan lama tidak lain caranya hanya dirawat serius. Jika jalur itu setiap dipacukan dalam satu hingga dua tahun tidak berprestasi, maka masyarakat yang memiliki jalur tersebut akan berfikir kembali untuk membuat jalur baru. “Jadi, tak ada batasan umur jalur itu berapa lama, karena tergantung dengan prestasi. Kalau setiap tahun jalur itu juara, maka desa itu belum akan berfikir membuat jalur. Sebagus apapun jalur, tapi kalau tidak dirawat, tidak akan bertahan lama,” jelasnya lagi.

Eksistensi budaya pacu jalur ini tergantung dengan ketersediaan kayu. Sekarang untuk mendapatkan kayu jalur masyarakat harus mencari ke daerah yang sangat jauh dengan medan yang cukup berat dan membutuhkan biaya yang sangat mahal.

Untuk membuat jalur, dibutuhkan kayu yang memiliki panjang 30 hingga 35 meter yang diameternya satu meter lebih. Kini, ukuran kayu sebesar itu memang semakin sulit ditemukan di hutan-hutan yang masih ada di Kabupaten Kuansing. Ini sejalan dengan punahnya hutan akibat ekspansi lahan perkebunan.

Alih fungsi hutan menjadi kawasan perkebunan, pertambangan dan permukiman mengakibatkan semakin banyak hutan yang menjadi sumber kayu jalur terkikis habis alias punah. Alih fungsi hutan tersebut yang dilakukan oleh perusahaan dan masyarakat yang tak disertai dengan penyiapan kawasan hutan lestari sebagai sumber kayu jalur. Begitu pula hutan larangan yang ada disejumlah kenegerian juga tak berjalan pelestariannya secara maksimal.

Momen pacu jalur hendaknya menjadi pintu masuk untuk mengkaji ulang kembali pelestarian kayu sebagai sumber kayu jalur di masa-masa mendatang, baik oleh pemerintah, perusahaan swasta dan masyarakat sendiri. Karena memang peran ketiganya sangat penting sekali dalam mengupayakan lestarinya pacu jalur di masa-masa yang akan datang.

Hakekat dari pembuatan jalur pada dasarnya untuk melestarikan kegiatan gotong-royong dan silaturahmi. Dengan berada di dekat desa, maka semua warga desa dapat berbaur bersama-sama mulai dari mencari kayu, menebang kayu, menarik kayu dari hutan ke desa, membuat jalur dan melaksanakan pelayuran jalur.

Akibat jarak kayu yang ditebang cukup jauh dengan perkampungan, saat ini untuk penarikan hanya dilaksanakan oleh kaum laki-laki saja. Dahulu dilakukan oleh pria dan wanita, sehingga terlihat kekompakan diantara warga di desa tersebut. Kaum ibu menyediakan makanannya, dan kaum lelaki menarik kayu jalur.

Pacu Jalur, yaitu perlombaan perahu panjang yang bisa memuat 40-60 pendayung merupakan tradisi yang tumbuh dan berkembang secara turun-temurun di tengah masyarakat Kabupaten Kuantan Singingi sejak ratusan tahun silam. Dari informasi yang dihimpun Riau Pos, sejarah pacu jalur ini bermula pada saat masyarakat pergi menuai padi untuk mengangkut hasil panen padi mereka dengan menggunakan perahu. Mereka pada waktu itu menyeberangi Sungai Kuantan beriringan untuk pulang ke rumah masing-masing sambil membawa hasil panen padi mereka. Sambil beriringan, mereka dengan gembira, saling berpacu di Sungai Kuantan tersebut.

Kondisi ini terus terjadi hingga masyarakat mulai berfikir bagaimana untuk mengembangkannya. Sehingga masyarakat pada waktu itu berinisiatif untuk menambah muatan perahu. Nah, dalam perjalanannya, masyarakat berhasil membuat perahu panjang dan besar dengan muatan yang lebih banyak. Dan mereka secara bersama-sama mengisi perahu tersebut untuk mengangkut hasil panen padi mereka tersebut.

Seiring dengan perkembangannya pula, selesai masyarakat melaksanakan panen raya, mereka berinisiatif untuk melaksanakan perlombaan. Tujuannya hanya ingin untuk merajut silaturahmi antar sesama masyarakat.

Setelah itu, pacu yang menggunakan perahu panjang ini terus mengalami perkembangan dan kemajuan, sehingga dinamakan pacu jalur pada masa penjajahan Belanda. Sehingga untuk merayakan ulang tahun Ratu Wilhelmina Belanda, digelarlah lomba pacu jalur dengan hadiahnya berupa kue, dan sejenis makanan tradisional lainnya. Kini Pacu Jalur diperlombakan di Agustus, bertepatan dengan peringatan kemerdekaan Indonesia.

Sulitnya masyarakat mencari kayu jalur diakui Kepala Dinas Kehutanan Kuansing, Febrian Swanda SHut. Dia mengatakan, saat ini sebagian kayu jalur berasal dari hutan lestari yang ada di lahan milik perusahaan. Karena jaraknya jauh, tak jarang warga meminta bantuan alat berat perusahaan untuk mengeluarkan kayu dari hutan dan selanjutnya dibawa masyarakat ke desa masing-masing.

Sebenarnya, pihaknya sudah melakukan antisipasi soal kayu jalur ini. Salah satunya dengan program penghijuan dan reboisasi, baik di hutan maupun di kawasan penduduk. Diharapkan kayu-kayu yang ditanam tersebut dipelihara secara terus menerus hingga berumur cukup (20 sampai dengan 35 tahun). Setelah kayu besar, diharapkannya dapat dijadikan bahan baku kayu jalur.

“Kayu jalur itu kan syaratnya harus besar, dan tidak harus hidup di hutan. Kalau di desa seperti di kebun ada kayu besar sebenarnya dapat dijadikan kayu jalur. Karena itu kita rajin memberikan bantuan bibit kepada desa untuk ditanam,” ujarnya.

Begitu juga dengan bibit yang diberikan kepada warga, menurutnya, sebagian besar merupakan jenis Meranti yang menjadi dasar bahan baku kayu. “Jenis kayu dalam bahasa lokal seperti Tonam, Kuyuang yang menjadi bahan dasar jalur kan keluarga Meranti sebenarnya,” ujar Febrian Swanda. Apalagi saat ini ada rekayasa teknologi, katanya, dengan Iptek diharapkan kayu yang berumur 20 tahun sudah dapat dijadikan kayu jalur. Kalau dihutan alam biasanya sampai berumur 35 tahun.

Menanggapi ancaman terhadap kelangsungan tradisi pacu jalur ini, tokoh masyarakat Kuansing, Ir Mardianto Manan MT menilai, sulitnya masyarakat sekarang untuk mendapatkan kayu jalur diakuinya merupakan ancaman bagi budaya yang membanggakan bagi masyarakat Kuansing ini. “Sekarang pemerintah harus bersikap tegas, dan mulai melakukan upaya untuk menyelamatkan pacu jalur ini dengan cara menanam pohon-pohon yang bisa dibuat jalur,” sarannya.

Untuk mendapatkan kayu jalur, sekarang masyarakat sudah merambah hutan tetangga di Pelalawan. Sebagai aset budaya nasional, menurutnya, semua daerah di Riau termasuk Pelalawan tentunya harus mendukung tradisi ini. Sekarang, saran Mardianto, pemerintah harus melakukan penyelamatan terhadap pacu jalur. Ya, caranya harus dimulainya penanaman kayu-kayu jalur di tingkat desa. “Tapi masyarakat harus menjaganya,” katanya.

Selain pemerintah, perusahaan perkebuan ataupun perusahaan yang menggarap hutan di Kuansing juga harus ikut bertanggungjawab secara moral terhadap budaya ini. Karena masyarakat Kuansing tidak mungkin akan kehabisan kayu untuk membuat jalur jika hutan Kuansing tidak ditebang untuk usaha perkebunan. “Kalau kayu jalur tidak bisa lagi kita dapatkan, tentu jalur nantinya akan dibuat dari plastik,” ujar Ahli Perencanaan Tata Ruang dan Wilayah ini.

Kendati pacu jalur ini adalah tradisi yang tumbuh dan berkembang di masyarakat Kuansing, namun budaya ini merupakan aset nasional yang harus dijaga dan dipertahankan oleh semua pihak, baik pemerintah maupun masyarakat, mulai dari kabupaten, provinsi hingga pusat.

‘’Ini memang tradisi Kuansing, tapi ini sudah menjadi budaya Riau bahkan nasional. Kewajiban semua kita di Riau ini untuk menjaga dan melestarikannya,’’ kata Kepala Dinas Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda dan Olahraga (Disbudparpora) Kuansing, Maifadal Mu’in SSos MM.

Pohon yang sesuai tidak ada lagi dan jika terpaksa menggunakan perahu plastik, tentunya nilai pemersatu, adat dan kebudayaan akan hilang. Tidak ada lagi gotong royong dan musyawarah. Serta hilangnya kebudayaan bernuansa magis yang biasa dilakoni dukun atau pawang. Perlu kepedulian bersama untuk tetap mempertahankan iven yang sudah menjadi agenda pariwisata nasional tersebut.(hpz)









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook