Ribuan warga di sepanjang Sungai Tapung bergembira. Mereka merayakan melimpahnya hasil tangkapan ikan saat tradisi Menubo Tapung. Tua-muda, lelaki dan wanita juga anak-anak, semua turun berbasah-basah di Sungai. Semeriah apa suasananya?
Laporan BUDDY SYAFWAN, Tapung
MATAHARI mulai tegak di atas kepala, sinarnya terik menyengat ke kulit. Namun, suasana di tengah dan pinggir sungai seolah tak berubah, sama seperti pagi hari. Penuh hiruk pikuk, teriakan dan canda tawa.
Layaknya pasar ikan di pinggir sungai, antrean ratusan sampan yang hendak berlabuh ke tepian juga seolah tak pernah henti. Baru saja beberapa warga menaikkan sampan ke darat, sudah menepi lagi beberapa sampan lainnya. Mereka datang dari berbagai penjuru. Ada yang dari kampung Majapahit, Sriwijaya, Bencah Kelubi, bahkan ada juga yang datang dari Bangkinang, Kampar juga Pekanbaru.
Sebelum sampan dinaikkan ke darat, beberapa orang awak yang kulitnya sudah hitam terbakar matahari memindahkan muatan di dalam sampan menggunakan goni, tempayan rotan, tong ikan yang terbuat dari stereoform bahkan plastik asoi.
Ratusan tombak bermata dua seperti trisula juga menjadi bagian yang tak terpisahkan dari pemandangan tersebut. Beberapa diantara para pemilik sampan juga terlihat memindahkan ikan-ikan dari lambung perahu yang sudah penuh ke tempat penampungan yang sudah disediakan di tepi sungai oleh rekan-rekan mereka. Sementara puluhan kaum ibu menyiangi isi perut ikan agar tak cepat busuk.
Tak jarang ikan-ikan seperti juaro dan baung yang masih dalam kondisi segar berloncatan kembali ke air dan menjadi bahan tangkapan bagi anak-anak kecil yang ikut membantu orang tuanya menangkap ikan seperti patin, baung, kelabau, geso, sekilu, juaro dan beberapa lainnya. Bahkan banyak diantaranya yang berukuran diatas setengah kilogram.
‘’Kalau ditimbang semuanyadopeklah 25 kilo,’’ ungkap salah seorang pemilik sampan yang sudah menepi hendak meninggalkan arena menangkap ikan tersebut.
Setidaknya, mulai pukul 11.00 hingga pukul 12.00 WIB, ada tak kurang dari belasan alat penampung ikan ditarik dari bibir pantai. Ada pemilik yang mengaku seluruh ikan hasil tangkapan tersebut akan dijual ke pasar di wilayah Kampar, namun banyak juga yang mengaku akan digunakan sendiri di rumah. Diolah menjadi ikan salai atau dibagi-bagikan kepada warga di sekitar.
Itulah suasana pesta rakyat saat tradisi Menubo Tapung yang artinya menuba ikan di Sungai Tapung, Sabtu (30/7) kemarin. Pesta ini adalah tradisi turun-temurun yang sudah dilaksanakan selama berpuluh-puluh tahun di kawasan yang saat ini hampir sebagian besar wilayahnya seolah disulap menjadi areal perkebunan sawit tersebut.
Menurut Nurbayus, tokoh masyarakat Tapung yang juga menjadi Kepala BPD Pantai Cermin, tradisi ini awalnya hanya dilakukan warga di Pantai Cermin saja. Namun, lama-kelamaan, berkembang sehingga hampir setiap kampung yang ada di sepanjang Sungai Tapung juga melaksanakan kegiatan serupa di setiap kemarau panjang.
Selain ditujukan untuk mengambil manfaat dari aliran sungai yang mengitari pemukiman mereka, tujuan utama dari pelaksanaan Menubo Tapung ini adalah bersilaturahmi, membangun kebersamaan dengan masyarakat. ‘’Kalau turun ke sungai seperti sekarang ini, biasanya bukan warga kita yang masih tinggal di kampung saja yang ikut menangkap ikan, namun juga warga dari kampung-kampung lain. Bahkan, banyak juga warga yang sudah merantau ke daerah lain pulang ke kampung untuk bersama menubo,’’ papar Nurbayus.
Untuk prosesi menubo, sebenarnya ada beberapa tahapan yang lazimnya dilakukan. Misalnya, dari proses pembuatan tuba dari akar pohon, melarutkannya ke air sungai, sampai proses berburu dan menangkap ikan.
Sepintas, mungkin orang-orang hanya melihat kebersamaan ini tergambar dari saat berburu dan menangkap ikan. Namun, sebenarnya keakraban dan kebersamaan tersebut sudah tergambar sehari sebelumnya, dari proses persiapan menubo.
‘’Tadi malam sampai subuh, sudah ada ratusan warga turun bersama untuk menubo, mereka naik sedikit ke hulu untuk menabur tuba. Disana, sebenarnya, proses keakraban itu sudah dibangun. Mereka bermalam di lokasi itu dan selanjutnya menghilir perahu baik bermesin maupun sampan dayung pada pagi hari. Jadi sebagian yang ada di sini, semalam dari atas (hulu-red),’’ jelas dia lagi.
Hal tersebut juga dikuatkan Iwan, Warga Pekanbaru yang mengaku kalau ini adalah tahun pertama sekali dia mengikuti iven ini. ‘’Kebetulan, memang istri saya orang sini, sayanya dari Pekanbaru. Tapi terus terang, saya suka suasananya. Benar-benar penuh kekeluargaan dan kita bisa refreshing sambil membawa ikan. Lagi pula lokasinya tidak jauh dari Pekanbaru,’’ ungkap lelaki yang mengikuti kegiatan ini sejak pukul 07.00 WIB.
Tak banyak alat yang dibawa Iwan saat turun ke sungai bersama ribuan masyarakat dan ratusan sampan milik warga. ‘’Ya, cuma tombak dan tangguk saja saya bawa dari Pekanbaru. Kalau sampan dan yang lain semuanya menumpang sama keluarga yang ada di sini,’’ ujar dia.
Mengacu pada tradisi awalnya, Nurbay menjelaskan, pelaksanaan Menubo Tapung ini memiliki beberapa rangkaian acara yang bersumber dari budaya masyarakat setempat. Sayangnya, semenjak 5 tahun terakhir tradisi seperti membunyikan alat musik tabuh menjelang turun ke sungai sudah jarang dilakukan. Namun, bagian dari tradisi yang melekat tersebut misalnya kebersamaan ibu-ibu memasak makanan, membuat kue dan wajik serta kaum laki-laki berangkat ke lokasi menubo tetap dilakukan.
Tak Merusak Alam
Beberapa kali warga yang ditemui Riau Pos membantah mereka merusak alam. Mereka menganggap apa yang dilakukan sama sekali berbeda dengan cara menangkap ikan yang merusak alam. ‘’Ini bukan memotas (menggunakan putas), tapi menubo. Tubo akar namanya. Bahan ini hanya membuat ikan keluar ke permukaan air,’’ sebut Ardi, salah seorang pemuda setempat.
Zat ini, menurut dia, diambil dari getah akar tanaman yang digunakan untuk menuba. Tanaman ini bahkan sengaja dipelihara warga dan digunakan untuk momen-momen seperti ini. ‘’Kalau terkena air yang tidak terkontaminasi tuba, sebenarnya ikan sehat kembali,’’ imbuh Nurbay mencoba meluruskan perihal penggunaan tuba akar ini.
Sembari menunjukkan kondisi air sungai, Nurbay juga menjelaskan bahwa dia menjamin sampai kapan pun ikan tetap akan banyak di kawasan ini. ‘’Sederhananya, kalau memang tuba ini merusak lingkungan, sekarang pasti akan banyak ikan kecil mati di sini. Tapi, jangankan baung atau juaro, bilis pun tak ada nampak ke permukaan,’’ sebut dia.
Masyarakat di Pantai Cermin, jelas Nurbay, juga punya pemahaman tersendiri terhadap kelangsungan manfaat sungai. ‘’Tradisi ini sudah ada seumur saya. Sekarang saya sudah 47 tahun. Tapi ikan tangkapan di sini tetap banyak. Bahkan, hampir setiap hari, ada warga sekitar maupun pendatang datang memancing karena di sini ikan memang banyak,’’ jelas lelaki yang punya obsesi ke depan, tradisi Menubo Tapung ini menjadi agenda wisata lingkungan di Tapung ini.
Dengan memasang tuba tidak jauh dari perkampungan, dia juga menjelaskan bahwa itu adalah bentuk komitmen untuk tidak menghabisi alam. ‘’Kami tidak menuba di hulu, tapi masih di sekitar kampung ini, supaya tak semua ikan bisa ditangkap dan kehidupannya terus berlanjut,’’ imbuhnya.
Bahkan, ada aturan baku bahwa untuk menangkap ikan yang sudah dituba, warga hanya diperkenankan menggunakan tombak atau tangguk. Warga yang hendak menangkap ikan, baik lokal ataupun dari luar, sebelum turun ke sungai sudah diingatkan tidak boleh menggunakan jaring. Meski begitu, dia tidak menampik, di desa lain, tetap ada juga yang menggunakan jaring.
Pantai Cermin adalah salah satu desa yang terletak di pinggir Sungai Tapung, Kecamatan Tapung Kabupaten Kampar. Di sekitar desa ini ada sekitar 10 desa, mulai dari Majapahit, Bencah kelubi, Sriwijaya, Mataram, Singosari, Pagaruyung, Karya Indah, Petapahan. Sungai Tapung ini mengalir hingga ke Sungai Siak. Sementara di sisi hulunya, sungai ini melintasi wilayah Rokan Hulu seperti Kasikan.
Camat Tapung, Hambali yang ikut turun bersama warganya juga mengaku gembira dengan polah kebersamaan yang ditunjukkan warganya. Bahkan bersama anak-anaknya, Pak Camat ikut bertarung mendapatkan ikan. ‘’Kebetulan saya dapat dua ekor, besar-besar,orang di Pantai Cermin bilang ikan kelabau dan geso,’’ sebut dia.
Hambali juga tidak menyangka bila di wilayahnya juga ada tradisi yang bisa mempersatukan masyarakat dari berbagai desa secara rukun dan aman. ‘’Saya tak hanya melihat potensi wisata dengan pasir putih dan pulau-pulau yang menawan di sepanjang Sungai Tapung, namun juga kekompakan mereka dan rasa saling menghargai. Misalnya, saat menombak ikan, bila ada yang sudah angkat tombak, warga yang lain tidak akan memperebutkannya. Begitupun kalau sudah ada yang mengejar, yang lain hanya menunggu. Jadi, saya benar-benar terhibur dengan acara tersebut,’’ ucap lelaki yang mengaku tidak punya hobi memancing ikan itu.
Dia pun tidak menapik bila iven ini bisa dijadikan agenda wisata yang menarik di Tapung yang bisa dilaksanakan sekali setahun, walaupun, sebenarnya, bagi warga, kegiatan menubo ini bisa dilakukan dua atau tiga kali dalam setahun.
Kegiatan Menubo di Pantai Cermin boleh saja usai sekitar pukul 14.00 WIB. Namun, itu berarti dimulai bagi desa-desa lain yang terletak lebih hilir seperti Bencah Kelubi, Karya Indah yang posisinya lebih ke hilir dan prosesinya, bisa berlangsung hingga tengah malam mengiringi aliran air di Sungai Tapung hingga bermuara ke Sungai Siak. ***