KENAIKAN HARGA PONSEL LEBIH DIKHAWATIRKAN KETIMBANG KENAIKAN HARGA LAUK PAUK

Pelemahan Rupiah Lebih Populer Ketimbang Konvensi Demokrat

Ekonomi-Bisnis | Sabtu, 31 Agustus 2013 - 04:34 WIB

Pelemahan Rupiah Lebih Populer Ketimbang Konvensi Demokrat

Jakarta (RP) - Melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS benar-benar disorot publik. Pantauan terkini Prapancha Research (PR) menemukan bahwa penurunan nilai rupiah lebih banyak dibicarakan oleh pengguna jejaring sosial Twitter dibandingkan isu konvensi Capres Partai Demokrat, suap SKK Migas maupun penembakan polisi.

"Perbincangan rupiah saat ini jauh meninggalkan berbagai isu hangat lainnya," ujar analis PR, Adi Ahdiat, dalam keterangan persnya yang diterima redaksi, Sabtu (31/8).

Baca Juga :Sampaikan Pesan Pemilu Damai ke Nelayan yang Sedang Melaut

Dia menjelaskan, PR menemukan perbincangan tentang rupiah sebanyak 1,5 juta celoteh selama setahun belakangan dari 30 Agustus 2012-29 Agustus 2013, yang 227 ribu atau sekitar 15 persennya berlangsung hanya dalam sembilan hari terakhir Dalam sembilan hari terakhir, perbincangan tentang Demokrat yang sedang hangat-hangatnya menjelang konvensi hanya mencapai 123 ribu kicauan, SKK Migas 36 ribu, dan penembakan polisi telah menurun hingga 15 ribu.

Menurut Adi, tingginya perbincangan tentang rupiah dibandingkan isu-isu lain dikarenakan dampak penurunan mata uang yang secara langsung mengusik kehidupan sebagian besar warga.

"Semarak apa pun isu konvensi Demokrat, rata-rata dari kita hanya menjadi penonton dan tak merasa berkepentingan. Berbeda dengan kenaikan rupiah yang spontan mengakibatkan harga-harga melonjak," tambah Adi.

Terbukti dari seluruh pembicaraan tentang rupiah, sebanyak 2 persen atau 5 ribu kicauan dengan eksplisit menyinggung kenaikan harga tahu dan tempe. Salah satunya adalah dari akun Iwan Fals (@iwanfals) yang dikicaukan ulang 410 kali. "Rupiah melemah, eh tempe tahu ikut2an, bukan maiiiin." Meski begitu, pada saat yang sama, tampak juga fakta bahwa kekhawatiran akan kenaikan harga komoditas tersier lebih mengemuka di media sosial. Bahkan kecemasan ini tampak lebih ramai ditampilkan dibanding keresahan akan naiknya harga lauk pauk pokok. Hal ini terlihat dari lebih maraknya perbincangan tentang Rupiah yang dikaitkan dengan dampaknya terhadap harga laptop, ponsel, mobil, dan berbagai peranti elektronik.

"Jumlahnya mencapai 7 ribu kicauan, lebih tinggi dari perbincangan tentang dampak pelemahan Rupiah ke bahan makanan,” imbuh Adi.

Jika diperbandingkan, fenomena ini tak dijumpai pada jejaring sosial warga India, yang saat ini juga sedang dihadapkan pada kemerosotan nilai mata uangnya, Rupee. Dari 137 ribu pembicaraan tentang Rupee pada sembilan hari terakhir, tak terlalu nampak celoteh-celoteh yang mencemaskan kenaikan harga barang-barang tersier sebagaimana di Indonesia. Kalaupun ada, jumlahnya tak lebih dari puluhan atau terbilang tak signifikan.

"Perbandingan kontras ini memperlihatkan kultur gandrung belanja kelas menengah kita," imbuhnya.

Dengan potensinya menggoyang stabilitas, kata Adi mengingatkan, pelemahan mata uang adalah momok menakutkan bagi pemerintahan suatu negara. Dalam sejarahnya, rezim sekuat Orde Baru sekalipun tumbang bermula dari melemahnya mata uang yang tak lama mengakibatkan kepanikan dan huru-hara. Dengan kondisi seperti ini, di tengah-tengah kebutuhan menekan belanja impor, menurut Adi, menahan laju kenaikan rupiah dengan sendirinya menjadi tantangan yang lebih besar.(dem/rmol/jpnn)









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook