Presiden SBY Pantau Pelemahan Rupiah

Ekonomi-Bisnis | Sabtu, 30 November 2013 - 07:17 WIB

JAKARTA (RP) - Merosotnya nilai tukar rupiah segera mencuri perhatian Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Menurut Staf Khusus Presiden Bidang Ekonomi dan Pembangunan Firmanzah, SBY terus memonitor perkembangan nilai tukar rupiah dan aktivitas ekonomi regional.

Baca Juga :Sampaikan Pesan Pemilu Damai ke Nelayan yang Sedang Melaut

Orang nomor satu di Indonesia itu pun menginstruksikan para menteri untuk fokus bekerja, khususnya terkait paket kebijakan ekonomi yang telah diluncurkan pemerintah.

‘’Presiden kembali terus meminta para menteri fokus bekerja, untuk mensukseskan reformasi struktural, yang tidak hanya terkait nilai tukar rupiah, namun juga memberikan stimulus kepada dunia usaha. Pemerintah kan telah meluncurkan 17 paket kebijakan, agar itu dijalankan oleh para menteri,’’ papar Firmanzah di Kompleks Istana Kepresidenan, Jumat (29/11).

Menyoal melemahnya nilai rupiah, Firmanzah menekankan, bahwa Presiden SBY menginstruksikan agar hal tersebut segera dievaluasi. SBY pun menegaskan untuk fokus pada mempertahankan daya beli masyarakat.

‘’Presiden menginstruksikan agar kita terus memonitor mata uang regional. Memang yang menjadi fokus, yakni menjaga daya beli masyarakat sehingga tidak terganggu, investasi terus mengalir,’’ jelasnya.

Sebenarnya, lanjut Firmanzah, pemerintah juga melakukan sejumlah langkah untuk mengantisipasi pelemahan terhadap nilai tukar rupiah.

Di antaranya, pemerintah terus berkoordinasi dengan beberapa pihak terkait, seperti otoritas moneter, pengawasan industri keuangan, penjamin simpanan, Kemenkeu dan Bank Indonesia (BI). ‘’Kita terus berkomunikasi, ada bagian fiskal dan bagian moneter BI,’’ lanjutnya.

Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (UI) itu mengakui bahwa kebijakan menaikkan BI rate beberapa waktu lalu, cukup berdampak pada pertumbuhan ekonomi domestik.

Namun, dia menekankan, hal tersebut dilakukan sebagai langkah antisipasi dan stabilisasi nilai tukar rupiah. Di samping itu, pemerintah juga mengeluarkan kebijakan lain. ‘’Kebijakan untuk mengurangi impor diesel dengan bauran biofuel harus dilakukan,’’ ujarnya.

BI Jaga Rupiah

Di bagian lain, akibat pelemahan tajam rupiah dalam beberapa hari terakhir, Bank Indonesia (BI) selaku otoritas moneter pun berupaya mendinginkan pasar. Gubernur BI Agus Martowardojo berjanji, BI akan terus berupaya menjaga stabilitas nilai tukar rupiah. Salah satunya, dengan melakukan intervensi di pasar uang.

‘’Kita ingin jelaskan, kalau BI ada di pasar, kita akan lihat, dan mengambil langkah-langkah intervensi yang diperlukan,’’ ujarnya, Jumat (29/11).  

Menurut Agus, intervensi pasar merupakan salah satu cara untuk meredam fluktuasi rupiah. Namun, selain itu, BI juga merespons depresiasi rupiah dengan bauran kebijakan seperti makroprudensial, maupun penyesuaian tingkat suku bunga acuan BI Rate. ‘’Agenda BI adalah menjaga sistem keuangan kita stabil,’’ katanya.

Agus menyebut, tekanan rupiah dalam beberapa pekan terakhir dipicu oleh banyak hal. Selain faktor eksternal berupa rencana pengurangan stimulus quantitative easing (QE) oleh Bank Sentral AS, juga karena efek seasonal atau musiman akhir tahun. ‘’Mungkin investor-investor global banyak yang sudah ingin cuti liburan dan menutup posisinya,’’ ucapnya.

Yang dimaksud menutup posisi adalah melepas portofolio investasi dalam bentuk rupiah dan mengalihkannya ke dalam denominasi dolar AS yang dinilai lebih aman.

Korporasi Berebut Dolar

Selain itu, keringnya likuiditas dolar diperkirakan bakal semakin parah dengan perebutan dolar oleh korporasi di pengujung tahun ini.

Sebab keperluan perusahaan untuk membayar utang jatuh tempo dalam bentuk dolar di akhir tahun setidaknya mencapai 414 juta dolar AS atau sekitar Rp4,87 triliun. Nilai tukar rupiah dikhawatirkan bakal semakin tertekan jika swasta hanya memburu dolar dari pasar spot valuta asing (valas).

Direktur Eksekutif Departemen Statistik Bank Indonesia (BI) Hendy Sulistiowati mengatakan, sisa utang luar negeri swasta baik bank dan non-bank pada kuartal empat tahun ini sebesar 18,89 miliar dolar AS.

Dari jumlah tersebut, sekitar 11 miliar dolar AS telah terbayarkan pada September maupun Oktober. Namun dari 2.800 perusahaan debitur, masih ada sisa sekitar 8 miliar dolar AS yang jatuh tempo pada Desember 2013.

BI mengambil sampel terhadap 20 perusahaan dari total 2.800 perusahaan pelapor utang. Sebanyak 20 perusahaan tersebut memiliki kontribusi utang sebesar lebih dari 60 persen atau mencapai 5,6 miliar dolar AS. Pada Desember, ke-20 perusahaan tersebut diprediksi hanya membayar utang jatuh tempo sekitar 1,3 miliar dolar AS.

‘’Valas yang sudah ready dibayarkan tercatat 888 juta dolar AS. Sementara yang belum punya valas dan berpotensi beli dollar untuk bayar utang mencapai 414 juta dolar AS,’’ terangnya di Gedung BI Jumat (29/11).

Beberapa perusahaan itu antara lain datang dari sektor keuangan, persewaan, jasa perusahaan, industri pengolahan, sektor pertambangan dan penggalian.

Sementara itu, lanjut Hendy, sekitar 4,6 miliar dolar AS utang jatuh tempo dijadwal ulang pembayarannya. ‘’Karena perusahaan afiliasi gampang di-reschedule. Ini bukan karena kesulitan likuiditas, tapi memang tergantung kebutuhan anak dan induk perusahaan kapan akan dibayar,’’ katanya.

Namun demikian, Hendy mengatakan bahwa kebutuhan valas utamanya dolar yang melonjak pada akhir tahun tidak hanya disebabkan oleh pembayaran utang luar negeri.

Ada juga faktor pembayaran repatriasi atau transfer keuntungan perusahaan asing di Indonesia kepada induknya di luar negeri.

Repatriasi dalam bentuk portofolio pada kuartal tiga 2013 sekitar 716 juta dolar AS. Dan memiliki kecenderungan sama pada kuartal empat 2013.

‘’Sebaliknya profit transfer berbentuk FDI (foreign direct investment) per kuartal tiga sekitar 2,59 miliar dolar AS, itu 50 persennya ditanamkan kebali ke Indonesia,’’ katanya.

Gubernur BI Agus DW Martowardojo menegaskan kepada perusahaan-perusahaan yang tengah membutuhkan valas dolar, untuk menggunakan fasilitas lindung nilai dibandingkan pasar spot valas. Langkah ini dinilai sangat krusial untuk dilakukan sekarang mengingat nilai tukar rupiah kian melemah.

‘’Apakah keperluan dolar untuk awal 2014 sudah menggunakan hedging? Masih sedikit sekali. Semua cenderung di pasar tunai dan spot. Jadi tekanan menjadi tinggi. Ini yang perlu diperbaiki,’’ ujarnya.

Ia juga menyentil perusahaan-perusahaan yang menggunakan dolar untuk bertransaksi di dalam negeri. Sebab ada 31 persen permintaan dolar perusahaan besar di tanah air digunakan untuk transaksi di dalam negeri. Transaksi dengan dolar itu salah satunya terjadi pada aktivitas pembelian gas.

Di satu sisi, Agus juga menekankan perbaikan kepatuhan perusahaan untuk membayar dana hasil ekspor (DHE). Bahkan, ia tak meminta DHE dikonversi pada rupiah, namun diizinkan tetap dalam dolar.

‘’Dana itu harus masuk ke Indonesia dulu untuk menghormati Indonesia. Tidak ada kewajiban untuk menahan di Indonesia. Masuk ke Indonesia hanya supaya bisa dicatat ekspor dan impornya,’’ katanya.

Sementara Menteri Keuangan Chatib Basri mengatakan, dirinya meyakini jika BI tidak akan membiarkan rupiah melemah terlalu tajam. Caranya, melalui intervensi di pasar ketika rupiah menembus level 12.000 per dolar AS.

‘’Ini memberi confidence (kepercayaan, red) di pasar bahwa memang ada yang menjaga (rupiah, red),’’ ujarnya. (ken/owi/gal/sof)









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook