JAKARTA (RP) - Angka utang Indonesia terus meningkat secara kumulatif. Pada 2004 angka utang mencapai Rp 1.299,5 triliun. Jumlah tersebut meningkat menjadi Rp 2.177,95 triliun pada posisi Agustus 2013. Namun, fakta itu dibarengi rasio utang dibanding produk domestik bruto (PDB) yang mengalami penurunan luar biasa. Yakni dari 150 persen pada 1998 menjadi 24 persen tahun ini.
Staf Khusus Presiden Bidang Ekonomi dan Pembangunan Firmanzah mengatakan, hal tersebut menandakan bahwa kemampuan pemerintah untuk membayar utang menjadi lebih baik. "Ya, kemampuan kita lebih baik. Salah satu indikator yang digunakan adalah jumlah PDB kita. APBN kita juga memiliki ruang bayar cicilan dan utang pemerintah," paparnya Selasa (29/10).
Firmanzah menguraikan, pada 2012 PDB yang berhasil dicapai lebih dari Rp 8.241 triliun. Sementara pada akhir 2013 PDB hampir mendekati Rp 9.000 triliun. Terkait dengan rasio utang dibanding PDB, pada 2000 mencapai 89 persen, sedangkan pada 2004 mengalami penurunan menjadi 56 persen.
Jumlah tersebut terus turun pada 2009 menjadi 28 persen. Yang terkini, pada 2013 rasio utang dibanding PDB menjadi 24 persen. "Hal ini karena pengelolaan utang RI terus kita jaga dalam proporsi yang aman," imbuh guru besar FE UI tersebut.
Sebelumnya Sekretaris Kabinet (Seskab) Dipo Alam menyatakan, pada 1998 rasio utang terhadap PDB mencapai 150 persen. Hal tersebut mengakibatkan perekonomian Indonesia saat itu masuk dalam krisis ekonomi yang cukup parah.
Dipo melanjutkan, Presiden SBY telah menunjukkan komitmennya untuk menurunkan utang yang berasal dari pinjaman luar negeri. Antara lain dengan pelunasan utang kepada Dana Moneter Internasional (IMF) pada 2006 dan pembubaran Consultative Group on Indonesia (CGI) yang di era Orde Baru memperbesar utang luar negeri RI pada 2007.
"Sejak pelunasan utang IMF dan pembubaran CGI itu, Indonesia mendapatkan kembali kedaulatan ekonomi dan terbebas dari tekanan lembaga internasional mana pun. Bahkan, IMF pun meminta bantuan ke Indonesia," jelas dia.
Menurut Dipo, pemerintah terus berkomitmen agar Indonesia lebih mandiri dan utang terkelola dengan baik. Karena itu, presiden telah berkali-kali memberi arahan agar pinjaman luar negeri terhadap proyek-proyek yang diminati BUMN, swasta dalam dan luar negeri, dibatasi serta dihindari.
"Jadi, tidak perlu dibiayai APBN, apalagi utang luar negeri, karena bisa dilakukan melalui investasi public-private investment atau investasi murni swasta," ujarnya.
Dipo melanjutkan, sebagai Seskab, pihaknya juga telah mengeluarkan Surat Edaran Nomor SE-592/seskab/XI/2012 yang mengingatkan tentang pembatasan pinjaman luar negeri. (ken/c9/agm)