JAKARTA (RP) - Rencana pemerintah untuk menekan kuota subsidi BBM pada 2014 menuai kritik.
Pasalnya, penekanan pertumbuhan dinilai tak sesuai dengan kondisi-kondisi tahun depan. Namun, pemerintah tetap mengaku yakin bisa memenuhi target tersebut.
Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Susilo Siswoutomo mengatakan, pihaknya bakal berupaya sepenuhnya untuk menjaga kuota BBM pada Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2014 sebesar 48 juta kl. Angka tersebut memang tak berbeda dengan kuota APBN-P 2013.
‘’Kami akan cukup-cukupkan kuota yang tersedia,’’ jelasnya di Jakarta, akhir pekan lalu.
Dia mengaku target tersebut hampir pasti diraih jika pihaknya menerapkan Peraturan Menteri ESDM Nomor 1 Tahun 2013 secara konsisten.
‘’Semua tentunya punya cara pengendalian dan pengawasan yang lebih intensif lagi. Lalu, kami juga ajak masyarakat yang mampu jangan beli BBM bersubsidi lah. Jadi ada kesadaran,’’ tambahnya.
Selain itu, pihaknya juga mempunyai cara-cara untuk menjamin tak ada penyalahgunaan BBM. Salah satunya, dengan pengendalian BBM melalui mekanisme pembelian memakai kartu nontunai.
‘’Dengan kartu, maka masyarakat yang tidak berhak tidak membeli BBM bersubsidi lagi. Dengan ini, pengendalian bakal mempunya alat dan regulasi. Kalau lewat pemantauan saja kan tidak efektif,’’ jelasnya.
Dia menjelaskan, rencana transaksi non-tunai untuk pembelian BBM bersubsidi ditempuh agar ada alat pengendalian secepatnya.
Sebab, program RFID yang dilakukan Pertamina dan PT INTI masih molor karena permasalahan melemahnya nilai tukar rupiah. Selain itu, pengaplikasiannya juga lebih lambat.
‘’Memasang chip ke depo memang tidak banyak. Paling-paling 30-40. Tapi ada 5.425 SPBU plus SBPUN yang juga perlu dipasaang. Jadi itu perlu waktu. Belum lagi. kendaraan bermotor 87 juta unit dan mobil 12 juta unit. Tolong kasih kesempatan Pertamina dan kontraktor yang ditunjuk untuk selesaikan,’’ terangnya.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Bambang PS Brodjonegoro mengatakan, membengkaknya subsidi BBM lantaran terpukulnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Akibatnya, pemerintah pun mengubah asumsi rupiah pada tahun depan.
Awalnya kami optimistis rupiah di kisaran Rp9.750 per dolar AS tahun depan. Namun, melihat kondisi perekonomian saat ini, nilai tukar rupiah pun disesuaikan menjadi Rp10.500 per dolar AS,’’ jelasnya.
Padahal, asumsi harga ICP (Indonesian Crude Oil Price) justru menurun. Asumsi harga ICP yang diputuskan untuk tahun anggaran 2014 adalah 105 dolar AS per barel.
Lebih rendah baik dari asumsi APBNP 2013 yang sebesar 108,0 dolar AS per barel, dan RAPBN 2014 sebesar 106 dolar AS per barel. Namun, itu tak bisa menutup perbedaan asumsi kurs dolar yang tinggi. Hal tersebutlah yang menyebabkan pemerintah mencoba menekan kuota BBM.
Sayangnya, keyakinan pemerintah tampaknya dinilai tak masuk akal oleh pengamat. Salah satunya, Wakil Direktur Reforminer Institute Komaidi Notonegoro.
Menurutnya, niat pemerintah untuk menekan konsumsi BBM tahun depan kemungkinan besar gagal. Pasalnya, ada salah satu program pemerintah yang sangat kontradiktif dengan upaya tersebut. Yaitu, program produksi massal low cost green car (LCGC).
‘’Saya memang mendukung upaya pemerintah untuk menekan subsidi. Di sisi lain, saya juga tidak anti subsidi. Subsidi itu perlu bagi yang memang membutuhkan. Tapi, kalau sudah kontradiktif seperti ini rasanya konyol,’’ jelasnya.
Pendapat tersebut, lanjut dia, datang dari pasar LCGC yang mengincar masyarakat kelas bawah. Hal tersebut tentu saja bakal meningkatkan konsumsi BBM, terutama premium, secara besar-besaran.
‘’Mobil untuk orang kaya pun masih ada yang isi premium. Sekarang bayangkan kalau yang punya mobil masyarakat kelas bawah, sudah pasti pakai premium,’’ terangnya.(gal/bil/fas)