PEKANBARU (RIAUPOS.CO) - Sejumlah pembangunan di Kota Bertuah yang diprakasai Pemerintah Provinsi (Pemprov) Riau tak selesai hingga akhir 2018 ini. Lantaran dalam mengerjaan mengalami kendala, meski begitu pihak rekanan terancam menerima sanksi denda.
Proyek tersebut yakni, pembangunan dua flyover di Simpang Mal SKA dan Pasar Pagi Arengka. Lalu kelanjutan pembangunan Jembatan Siak IV menghubungkan kawasan Rumbai dengan Jalan Sudirman serta pembangunan Jembatan Buluk Nipis.
Dalam mengerjaan proyek-proyek besar yang bersumber dari APBD Riau tahun anggaran 2018 itu, mendapat pendampingan dari Tim Pengawal dan Pengaman Pemerintah dan Pembangunan Daerah (TP4D) Kejaksaan Tinggi (Kejati) Riau.
Kasi Penerangan Hukum (Penkum) dan Humas Kejati Riau Muspidauan tak menampik, ada sejumlah kendala yang dihadapi rekanan dalam penyelesaian proyek tersebut.
Disampaikannya, proses penyelesaian pekerjaan dua flyover terkendala akibat terlambatnya kedatangan sejumlah komponen proyek, seperti gilder dan aramko. Dua komponen ini dipasok oleh PT Bukaka Teknik Utama.
“Mereka (rekanan,red) itu mesan gilder, aramko, itu kan (dengan) Bukaka. Janji mereka (PT Bukaka,red) bulan Juli dulu itu sudah sampai di sini, estimasinya,” sebut Muspidauan, Kamis (27/12).
Lanjut Muspidauan, jika gilder dan aramko datang sesuai perencanaan, diyakini pengerjaan proyek akan selesai sesuai kontrak. Namun, kenyataannya berbanding terbalik. “Tapi karena molor hingga hari ini, baru sampai kemarin. Dalam bulan Desember ini baru sampai, estimasi pekerjaan itu tidak terkejar, sehingga terlambat,” sampainya.
Terhadap pembangunan Jembatan Siak IV, dia mengatakan pihak rekanan dalam hal ini PT Abipraya Brantas, terlambat memulai pekerjaannya. Hal itu dikarenakan adanya proses pemeriksaan oleh Kementerian Pekerjaan Umum (PU) melalui tim Keselamatan Jembatan dan Terowong, atas kelaikan besi sebelum dilanjutkan pembangunannya.
“Kalau Siak IV itu, kami mendampingi dari sisi yuridis. Ketika kontrak itu ditandatangani, datang surat dari kementerian yang mengharuskan bahwa pekerjaan yang lama itu diperiksa dulu sebelum dikerjakan lagi. Dan itu wajib,” kata Muspidauan.
Dipaparkan mantan Kasi Datun Kejari Pekanbaru itu, proses pemeriksaan ini memakan waktu tiga bulan, sehingga perencanaan pembangunan yang telah dirancang mengalami keterlambatan.
“Dalam masa pemeriksaan itu termakan waktu tiga bulan. Seharusnya mereka (PT Abipraya, red) sudah kerja tiga bulan. Sehingga waktu tiga bulan itu, seharusnya sudah banyak progres yang dikerjakan, harus terlambat. Efeknya pada pekerjaan berikutnya sampai bulan ini menjadi terlambat,” terangnya.
Dengan ada tidak selesainya pembangunan itu sesuai kontrak, maka pihak rekanan akan menerima konsekuensinya. Tapi hal ini, Pemprov Riau harus melakukan kajian mendalam. “Itu harus dikaji juga. Apakah itu kelalaian mereka atau tidak,” papar Muspiauan.
Adapun konsekuensi tersebut, diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 54 tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Pada aturan itu, jika pekerjaan tidak selesai karena kesalahan atau kelalaian dari rekanan, pekerjaan itu harus dihentikan sepihak dan bisa diberikan kesempatan kepada rekanan untuk menyelesaikan pekerjaan tersebut.
Akan tetapi, bila bukan karena kelalaian rekanan, maka dapat diberikan perpanjangan waktu. “Kalau kesempatan itu, dia dikenai denda. Kalau perpanjangan waktu, itu tidak dikenai denda,” imbuhnya.
Lantaran, sejumlah proyek itu tidak selesai di dalam tahun berjalan, sesuai pasal 93 Perpres Nomor 4 tahun 2015 tentang Perubahan Keempat atas Perpres Nomor 54 tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) bisa memberikan kesempatan kepada rekanan untuk menyelesaikan pekerjaan maksimal 50 hari, dan dikenai denda.
“Syaratnya ada. Kontraktor harus mengajukan dulu langkah-langkah percepatan untuk bisa menyelesaikan pekerjaan dalam 50 hari itu, dan itu harus dikaji. Apakah percepatan itu mungkin dilaksanakan 50 hari,’’ katanya.(rir)