JAKARTA (RP) - Nilai tukar Rupiah terus melemah bahkan menembus Rp12.000 per dolar AS.
Depresiasi tajam ini direspons Bank Indonesia (BI) dengan mengerek suku bunga acuan BI Rate. Langkah pengetatan oleh BI ini pun memantik kekhawatiran baru.
Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa mengakui, fundamental ekonomi Indonesia menghadapi tantangan berat dengan defisit transaksi berjalan. Inilah pemicu depresiasi rupiah.
‘’Stabilitas rupiah penting, tapi jangan sampai kita korbankan pertumbuhan ekonomi,’’ ujarnya, Kamis (28/11). Ucapan Hatta ini merujuk langkah BI yang agresif menaikkan BI Rate yang memicu kenaikan suku bunga kredit. Teorinya, ketika terjadi defisit transaksi
berjalan akibat besarnya impor, maka laju pertumbuhan ekonomi harus direm dengan cara kenaikan suku bunga. Dengan begitu, impor pun akan turun. Selain itu, kenaikan suku bunga atau imbal hasil, juga diharapkan bisa membuat investor asing untuk tetap menempatkan dananya di Indonesia.
Sebagai gambaran, defisit transaksi berjalan Indonesia pada triwulan III 2013 tercatat 8,4 miliar dolar AS atau 3,8 persen dari produk domestik bruto (PDB). Angka ini lebih baik dibanding defisit pada triwulan II 2013 lalu yang sempat mencapai 9,9 miliar dolar AS atau 4,4 persen PDB.
Menurut Hatta, saat ini Indonesia tengah berada dalam momentum laju pertumbuhan ekonomi. Dia mengakui, pesatnya pertumbuhan ekonomi Indonesia selama ini ditopang oleh besarnya impor.
Karena itu, upaya menekan impor memang seharusnya dilakukan. ‘’Tapi, jangan terlalu ditekan karena nanti momentum (pertumbuhan ekonomi) akan lewat,’’ katanya.
Ekonom Sustainable Development Indonesia (SDI) Dradjad H. Wibowo mengatakan, langkah agresif BI mengerek BI rate hingga level 7,50 persen memang langsung berdampak pada pelaku usaha.
‘’Banyak sektor sudah menjerit, salah satunya properti, karena tingginya suku bunga jelas berdampak pada kinerja properti. ini bahaya karena krisis ekonomi seringkali dipicu jatuhnya sektor properti,’’ ujarnya.
Menurut Dradjad, BI mestinya memahami jika depresiasi rupiah saat ini tidak bisa lagi diredam dengan cara menaikkan BI rate. Sebab, kondisi defisit transaksi berjalan memang tidak bisa diselesaikan secara instan.
‘’Karena itu, BI jangan terus-terusan menaikkan BI rate. Sebab, akibatnya bisa buruk, sektor usaha bisa dua kali kena pukul. Pertama dipukul pelemahan rupiah, kedua dipukul suku bunga tinggi,’’ jelasnya.
Apalagi, lanjut Dradjad, kenaikan tajam BI rate sudah terbukti tidak berpengaruh signifikan pada rupiah. Buktinya, rupiah terus melemah tajam dalam beberapa pekan terakhir.
‘’Sebab, faktor fundamental kita memang kurang baik. Selain itu, ada pula pengaruh eksternal rencana tapering off (pengurangan stimulus di AS) yang membuat investor cenderung menarik dana dari emerging market. Ini di luar kendali kita,’’ ucapnya.
Sementara itu, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS akhirnya menembus level Rp12.000 di pasar spot. Data kompilasi Bloomberg menunjukkan, kemarin rupiah ditutup di posisi Rp12.018 per dolar AS, melemah 132 poin atau 1,11 persen dibanding penutupan Rabu (27/11) di posisi Rp11.886 per dolar AS. Ini merupakan pelemahan terbesar terhadap dolar AS dibandingkan seluruh mata uang utama Asia Pasifik lainnya.
Sedangkan nilai tukar rupiah berdasar Jakarta Interbank Spot Dollar Offered Rate (Jisdor) yang dirilis Bank Indonesia (BI) menunjukkan, rupiah kemarin ditutup di posisi Rp11.930 per dolar AS, melemah 117 poin dibanding penutupan sehari sebelumnya yang di posisi Rp11.813 per dolar AS.
Ini merupakan level terendah sejak 18 Maret 2009. Ketika itu, rupiah ada di posisi Rp11.979 per dolar AS. Dengan posisi saat ini, maka sepanjang tahun ini (year-to-date), rupiah sudah melemah 2.245 poin atau 23,18 persen dibanding posisi awal tahun yang di level Rp9.685 per dolar AS.
Namun, perbankan kemarin juga sudah memperdagangkan dolar AS di atas Rp12.000 per dolar AS. Misalnya, Bank Mandiri mematok harga jual di posisi Rp12.077 per dolar AS, lalu Bank Central Asia Rp12.040, dan Bank Negara Indonesia sebesar Rp12.100 per dolar AS.
Pelemahan rupiah yang cukup dalam belum dilihat sebagai ancaman oleh Bank Indonesia (BI). Gubernur BI Agus Martowardojo meyakini, fundamental perekonomian internal masih cukup baik. Di satu sisi, ia juga yakin bahwa pengurangan stimulus moneter AS tak akan berjalan pada Desember 2013.
‘’Nggak papa, nggak masalah (rupiah paling lemah sejak 2009). Mohon semua paham. Situasi empat tahun terakhir terlalu likuid, terlalu murah bunganya, terlalu longgar. Sekarang dunia mempersiapkan diri untuk situasi yang lebih cepat, kita harus siap,” paparnya di Hotel Dharmawangsa, Kamis (28/11).
Menurutnya, saat ini Indonesia sudah harus bersiap pada ekonomi 2014 yang dinilai tidak jauh lebih baik dari tahun ini. ‘’Pada 2014 situasi keuangan Indonesia dan dunia ada perubahan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Kita harus persiapkan diri dengan baik, tapi tetap positif,’’ tuturnya.
Di tempat terpisah, Direktur Eksekutif BI Difi A Johansyah menerangkan, saat ini pihaknya sedang mengejar taget current account deficit atau defisit transaksi berjalan di bawah 2,7 persen.
Tak pelak, kini BI sedang memperketat kebijakan moneternya untuk kembali membawa rupiah pada level stabilitas.
‘’Jadi kalau market melihat policy adalah konkrit, kami akan yakin rupiah bakal positif. Hanya saja ini akhir tahun, di mana orang memprediksi tapering akan terjadi,’’ terangnya.
Apalagi, BI dalam rangka melatih rupiah bergerak berdasarkan pasar dan fundamental ekonomi. Tak pelak, intervensi kian dikurangi meski tetap menjaga pasar berjalan dua arah. ‘’Intervensi itu dilakukan jika pasar berjalan satu arah,’’ ungkapnya.(owi/gal/gen/jpnn)