Konflik AS-Tiongkok Tekan Perekonomian 2020

Ekonomi-Bisnis | Selasa, 29 Oktober 2019 - 19:15 WIB

Konflik AS-Tiongkok Tekan Perekonomian 2020
Ilustrasi aktivitas ekspor-impor, konflik perdagangan AS-Tiongkok terus mengancam perekonomian global. (JawaPos.com)

JAKARTA (RIAUPOS.CO) -- Belum meredanya perang dagang Amerika Serikat-Tiongkok diprediksi akan semakin menekan perekonomian global, termasuk kawasan Asia tahun depan. Meningkatnya ketidakpastian akibat konflik dua negara adidaya ini telah membuat pertumbuhan perdagangan global turun sejak 2017 yaitu dari 4,6 persen menjadi 2,6 persen.

Konflik ini juga telah menekan arus investasi langsung sekitar 72 persen. Dana Moneter Internasional (IMF) telah menurunkan prediksi pertumbuhan dunia dari 3,3 persen menjadi 3 persen untuk 2019.


"Ketegangan perdagangan global telah mengganggu pertumbuhan ekonomi dan berdampak kepada aliran pasar keuangan dan modal, serta menyebabkan ketidakpastian dalam pelaksanaan kebijakan makro di berbagai negara, terutama di kawasan Asia," ujar Prof. Dr Mari Elka Pangestu, direktur dan salah satu founder Indonesia Bureau of Economic Research (IBER) dalam simposium dengan tema Asia’s Trade and Economic Priorities 2020 di Jakarta, Selasa (29/10).

Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo saat membuka simposium mengatakan terdapat sedikitnya tiga isu utama yang harus Indonesia dan negara-negara Asia lainnya hadapi, yakni pelambatan ekonomi global, in-efektivitas kebijakan moneter yang bergantung pada suku bunga dan digitalisasi dan transformasi ekonomi dan finansial.

"Bank Indonesia, bersama pemerintah dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tengah bekerja keras untuk mendorong lima area kebijakan yang menjadi prioritas kami," kata Perry Warjiyo.

Menurutnya, lima prioritas tersebut adalah memastikan stabilitas dan ketahanan ekonomi; menemukan sumber baru pertumbuhan ekonomi dari sektor manufaktur, pariwisata, dan ekonomi digital; melakukan reformasi-reformasi yang dibutuhkan untuk mendukung pembangunan infrastruktur, mendorong investasi dan zona ekonomi khusus; terlibat dengan negara-negara lain untuk mempromosikan perdagangan yang lebih terbuka; serta memperkuat kerja sama regional dalam sektor finansial dan jaring keamanan finansial.

Buruknya iklim perdagangan dunia membuat integrasi pasar yang selama ini dibangun untuk menopang pertumbuhan mulai terpecah, dan ini berdampak negatif terhadap rantai pasok dan jaringan produksi di berbagai negara Asia.

Sebuah studi oleh konsultan Baker dan McKenzie terhadap perusahaan-perusahaan multinasional, menemukan bahwa hampir setengah dari 600 perusahaan yang disurvei membuat perubahan besar pada rantai pasokan mereka dan sekitar 12 persen diantaranya sedang mempertimbangkan perubahan sistem rantai pasoknya secara total.

Situasi perdagangan juga telah mengancam integrasi pasar keuangan dan menekan pertumbuhan ekonomi dan mengurangi kualitas standar hidup. “Ancaman terhadap integrasi pasar keuangan menimbulkan ketidakpastian terhadap pertumbuhan ekonomi dan investasi, dan ini akan kian mempersulit pengambilan keputusan dalam kebijakan makro,” kata Mari, Menteri Perdagangan 2004-2011.

Negara Asia harus memperkuat kerja sama Asia juga harus meningkatkan kerja sama melalui forum regional dan global seperti APEC, ASEAN, KTT Asia Timur, dan G20 dalam kerangka Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP).

Negosiasi RCEP yang mengkonsolidasi perjanjian perdagangan antara ASEAN dengan mitranya yaitu Tiongkok, Jepang, Korea, Australia-Selandia Baru, dan India, diharapkan akan selesai pada KTT ASEAN minggu depan. Perjanjian mega regional dengan 16 anggota akan sangat signifikan dampaknya, dengan mencakup setengah dari penduduk dunia, dan 30 persen dari PDB dan perdagangan dunia.

Sebagai salah satu perekonomian terbesar di Asia dan pencetus RCEP, menurut Mari, Indonesia mempunyai peluang besar memanfaatkan kerja sama mega regional ini untuk mendorong pertumbuhan ekonominya.
Sumber: Jawapos.com
Editor: Erizal









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook