Padang (RP) - Ketahanan pangan di Sumbar dinilai rapuh. Sejumlah kalangan menyebut data surplus pangan di daerah ini, belum berbanding lurus dengan realitas. Indikatornya, komoditas pangan rentan dimainkan spekulan di pasaran.
Karena itu, produksi pangan Sumbar yang diklaim surplus oleh pemerintah Sumbar, patut dipertanyakan. Kecukupan pangan meragukan mengingat luas lahan pertanian terus menyusut, sawah berpeta merah masih luas dan tim penyuluhan tidak berfungsi.
Demikian pendapat peneliti dan pengamat pertanian dari Fakultas Pertanian Unand, Agus Taher dan Yonariza secara terpisah kemarin, dalam merefleksi Hari Pangan Sedunia yang diperingati secara nasional di Padang, esok lusa.
Rapuhnya ketahanan pangan Sumbar itu, tambah Agus Taher, diperparah lagi dengan tidak terjaganya mutu pangan yang dihasilkan, mekanisme pasar dan lemahnya intervensi pemerintah. “Sebagai solusinya, pemda Sumbar perlu menyiapkan pelayanan publik dan penyuluhan guna mengontrol produksi, distribusi dan fluktuasi harga pangan di Sumbar,” katanya.
Agus Taher berani mengoreksi klaim ketahanan pangan oleh pemda Sumbar tidak sesuai realita. Pasalnya, pangan mudah langka dan harga tidak stabil. Indikasi lain, luas lahan pertanian di Sumbar tidak bertambah. Sebaliknya, lahan terlantar alias sawah peta merah masih luas.
“Realitas di lapangan, penggunaan bibit unggul tidak dibarengi dengan pemupukan yang seimbang, sehingga mengurangi populasi. Sementara konsumsi beras per kapita tetap tinggi, masa tanam tidak terkontrol. Jarak tanam sangat dekat, pupuk subsidi kurang sehingga petani kewalahan mendapat pupuk, ketersediaan air, fasilitas dan pengendalian hama serta beragam kondisi yang mengancam,” paparnya.
Dia mencontohkan pasar-pasar di Padang, sebagian besar diisi beras asal Palembang, Jawa Timur atau Thailand. Hanya 10 persen beras produksi Padang atau Sumbar. “Makanya, kecukupan pangan meragukan,” kata Agus Taher.
Dari fenomena itulah dia mengaku kurang percaya dengan ketahanan pangan Sumbar. Memiriskan lagi, semua kepala daerah seakan tidak menangkap realitas itu.
“Dulu ada padi sebatang, tapi kurang dioptimalkan. Hanya terpaku pada jargon pupuk organik, sehingga hasilnya tak maksimal. Gulmanya banyak sehingga produksi menurun. Jika ini tidak segera dibenahi, pangan Sumbar akan semakin terancam,” tukasnya.
Poin terpenting, menurutnya, menghidupkan kembali penyuluhan. Merujuk kepada 10 pilar pertanian di Thailand, penyuluhan ditempatkan pada poin nomor dua. “Ini yang hilang sejak lama, setelah jatuhnya Orde Baru. Segala bentuk penyuluhan hingga ke kenagarian perlu dihidupkan lagi untuk memacu produktivitas,” usulnya.
Yonariza menambahkan, data statistik ketahanan pangan kurang sedikit dari kebutuhan. Pangan Sumbar yang surplus adalah beras. Faktor ini dipicu oleh penyeragaman pangan secara nasional. Sebut saja peralihan pangan di daerah timur seperti Maluku ataupun Mentawai, dari sagu, jagung atau gandum, semua beralih pada beras.
“Pangan Sumbar yang kurang saat ini, jagung untuk pakan ternak di Payakumbuh. Kebutuhan sekitar 1 juat ton, sementara yang diproduksi baru 700 ton. Komoditi lain seperti telur ataupun daging surplus,” kata profesor yang juga Ketua Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian Unand itu.
Dia tidak menampik ketahanan pangan masih rapuh mengingat harga pangan mudah fluktuatif karena langka di pasaran. “Ini lantaran tidak adanya perencanaan tanam oleh petani. Sifatnya masih individu. Alhasil, ketika cabai mahal, petani semuanya menanam cabai. Sebaliknya, ketika harga murah, tidak ada petani yang menanam,” paparnya.
“Di sinilah peran pemerintah dalam menentukan masa tanam. Jadi petani tahu kapan memulai menanam dan berapa luas tanam. Saat mereka ke pasar, mereka mendapat informasi. Jadi petani ataupun pedagang dapat mengambil keputusan. Keberpihakan pemerintah pada pertanian itu penting,” jelasnya.
Dia juga mengkritisi mekanisme dan intervensi pasar yang diambil pemerintah sering merugikan petani. Seperti membuka peluang impor. “Memang, di satu sisi konsumen diuntungkan, namun di sisi lain pangan lokal terancam,” tegasnya.
Begitu juga program bantuan pemerintah pada petani, dinilainya sering tidak sampai pada petani. Kalaupun sampai, biaya transportasi lebih besar dari bantuan. “Bantuan Rp 1, biaya mengantarkannya Rp 3,” sindirnya.
Karena itu, kata Yonariza, meski telah surplus bukan berarti telah tercapai ketahanan pangan. “Pola konsumsi kita masih dijajah. Kita lebih memilih pangan impor ketimbang bahan yang terbuat dari ubi atau sagu. Mestinya mengarah pada ketahanan pangan dan kemandirian pangan yang harus diciptakan. Bagaimana masyarakat berdaulat dan tidak dijajah pola konsumsi pangan,” katanya.
Aktivis Koalisi Masyarakat Sipil Sumbar (KMSS), Khalid Saifullah menilai, selama ini pemerintah cenderung menempuh cara instan dalam mewujudkan kedaulatan pangan. Semakin tersingkirnya benih-benih lokal, pemaksaan penggunaan benih-benih luar, pemaksaan penggunaan obat-obatan dan pupuk kimia, semakin berkurangnya areal pertanian, lemahnya perlindungan terhadap petani, adalah ancaman ketahanan pangan di masa mendatang.
Jika pemerintah serius mewujudkan kedaulatan pangan, KMSS mengusulkan 5 agenda. Pertama, pemerintah harus melaksanakan janji performa agraria agar terjadi keadilan penguasaan ruang. Kedua, pengakuan hak-hak petani atas komponen pertanian dan menjamin keberlangsungan dan ketersediaannya. Ketiga, adanya pengakuan pengetahuan lokal petani dan melindungi keberlangsungannya sebagai metode menuju kedaulatan pangan.
Keempat, mendukung pertanian dan kebijakan-kebijakan yang berorientasi pada tercapainya kedaulatan pangan di mana petani sebagai pameran utama. Kelima, menghentikan pencemaran, pengrusakan terhadap air, kesuburan tanah dan lingkungan secara keseluruhan dan menghukum pencemar serta perusak lingkungan.
Cabai Naik 10%
Dari pantauan Padang Ekspres di pasar-pasar tradisional Padang, kemarin, stok sembako relatif stabil. Beras, tepung terigu, gula, minyak curah, dan kacang-kacangan masih stabil, baik harga maupun stoknya.
Haji Mardi, pemilik toko grosir sembako di Jalan Belakangolo, mengatakan, stok beras dan kebutuhan pokok masih stabil. Hanya gula yang sepekan ini mengalami penurunan sebesar 10 persen. “Harga gula sebelumnya Rp 12.500 ribu per kilogram, turun menjadi Rp 12 ribu per kilogram,” ujarnya.
Begitu juga beras, relatif stabil. Kebutuhan beras Sumbar masih mampu dipenuhi dari beras lokal. “Stok beras aman, kami biasanya langsung membeli ke heler. Kualitas nomor satu masih beras anak daro,” ujarnya.
Untuk stok “barang mudo” seperti bawang merah, bawang putih, cabai, dan tomat, hanya cabai yang naik 10 persen karena stok terbatas. Disinyalir karena berkurangnya hasil panen cabai di daerah produsen cabai, yakni Pulau Jawa dan Curup, Kerinci, Medan, dan Bengkulu.
Sebagian besar pedagang cabai di Padang mengandalkan pasokan cabai dari luar Sumbar.
Pemilik grosir barang mudo “Usaha Muda” Ujang, mengatakan, tren kenaikan harga cabai sudah berlangsung sejak sebulan lalu. “Stok cabai lokal terbatas, belum bisa diandalkan untuk memenuhi kebutuhan,” tuturnya. (cr1/cr6)