JAKARTA (RP) - Pemerintah diminta menekan Uni Eropa dan Amerika Serikat untuk menyetujui penggunaan Rupiah sebagai patokan harga minyak kelapa sawit (crude palm oil/CPO). Hal itu bisa dilakukan saat Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Asia Pasific Economic Cooperation (APEC) di Bali.
Pengamat pertanian, Siswono Yudhohusodo menilai momentum APEC tepat untuk menekan Uni Eropa dan Amerika Serikat karena Pemerintah Indonesia telah berhasil memasukkan isu mengenai produk kelapa sawit ke dalam agenda pertemuan itu.
”Ini waktu yang pas karena Indonesia tuan rumah APEC, setidaknya mereka akan lebih mendengarkan tuan rumah,” ujarnya kemarin (28/9).
Indonesia adalah produsen minyak kelapa sawit terbesar dunia sejak lima tahun terakhir. Namun begitu, negara-negara maju yang produk minyak nabatinya tersaingi lantas membuat kampanye hitam dengan mengatakan CPO produk yang tidak ramah lingkungan dan pembukaan lahannya berpotensi merusak lingkungan.”Ini pendapat miring yang sangat tidak masuk akal,” cetusnya.
Hingga hari ini Indonesia masih mengungguli Malaysia untuk produksi minyak kelapa sawit. Tahun ini produksi CPO Indonesia mencapai 25 juta ton sementara Malaysia baru 18,9 juta ton. Sebagai pemain terbesar, sudah selayaknya kalau Indonesia lebih dominan dalam mengatur komoditas ini.
”Kalau perlu pemerintah meminta patokan harga CPO dunia adalah rupiah, bukan ringgit Malaysia,” tegasnya.
Konsumsi minyak kelapa sawit di dunia, kata Siswono, meningkat sebanyak tujuh persen setiap tahunnya. Oleh karena itu, dia pemerintah Indonesia harus bergerak lebih agresif untuk menangkap peluang ini. “Harga CPO dunia sudah melebihi dua kali lipat biaya produksinya dalam beberapa tahun terakhir, satu hal yang tidak terjadi dengan komoditi lainnya di Asia selama beberapa dekade,” lanjutnya.
Saat ini, komoditas nabati dunia di dominasi oleh tiga jenis komoditas, yakni sawit, canola, dan soyabean (Kacang Kedelai). Pasar sawit mayoritas terdapat di Asia, komoditas canola mayoritas terdapat di Eropa, dan mayoritas komoditas soyabean terdapat di Amerika Serikat.”Itu sebabnya Eropa dan Amerika Serikat tidak ingin minyak kelapa sawit berkembang pesat,” sambungnya.
Bagi Indonesia, ekspor CPO menjadi pendorong utama kinerja ekspor non-migas pada Mei 2013. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, pada Mei 2013 ekspor lemak dan minyak hewan/nabati Indonesia naik USD 311,9 juta, dari USD 1.400,4 juta pada April 2013 menjadi USD 1.712,3 juta.
”Tidak perlu malu-malu menjadi pemimpin di bidang yang didominasi oleh Indonesia. Apalagi CPO adalah penyumbang devisa ekspor,” jelasnya. (wir/jpnn)