JAKARTA (RIAUPOS.CO) -- United State Trade Representative (USTR) mencoret Indonesia dari daftar negara berkembang. Menurut mereka, Indonesia sudah layak masuk dalam kelompok negara maju dalam bidang perdagangan internasional. Dua alasan utamanya, share pasar ekspornya sudah di atas 0,5 persen dan tercatat sebagai anggota G-20.
Bagi Institute for Development of Economics and Finance (Indef), dua indikator itu saja tidak cukup untuk menasbihkan Indonesia sebagai negara maju. Meskipun sekadar dibilang maju di bidang perdagangan. Sebab, untuk bisa disebut negara maju, ada indikator penting lain yang menjadi ukuran. Yakni, capaian pendapatan per kapita dan kesejahteraan sosial.
Peneliti Indef Ahmad Heri Firdaus menilai, perubahan status Indonesia menjadi negara maju dalam perdagangan internasional hanyalah akal-akalan Amerika Serikat (AS). Belakangan, tren neraca perdagangan AS defisit terus terhadap negara-negara mitra. Termasuk terhadap Indonesia. Karena itu, Indef mengusulkan agar pemerintah menolak perubahan status tersebut.
"Berdasar data Badan Pusat Statistik (BPS), neraca perdagangan Indonesia dan AS surplus USD 8,5 miliar (sekitar Rp 121,8 triliun) sepanjang 2019. Nah, mereka (AS) mau mengurangi defisitnya," beber Heri Kamis (27/2).
Jika status negara berkembang dicabut, perdagangan Indonesia akan terhambat. Sebab, sebagai negara maju, Indonesia tidak akan lagi mendapatkan fasilitas GSP (generalized system of preferences).
GSP merupakan kebijakan perdagangan yang dianut suatu negara dengan memberikan potongan bea masuk impor terhadap produk ekspor negara penerima. Kebijakan itu diaplikasikan negara maju untuk membantu perekonomian negara berkembang.
Dengan mengeluarkan Indonesia dari kelompok negara berkembang, AS berhak memberlakukan tarif bea impor terhadap produk ekspor tanah air.
Simulasi Global Trade Analysis Project (GTAP) menunjukkan bahwa pemberlakuan tarif impor akan membuat kinerja ekspor Indonesia ke AS turun sampai 2,5 persen.
Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Destry Damayanti menyatakan bahwa biasanya yang mengelompokkan negara dalam kategori berkembang atau maju adalah Bank Dunia atau IMF. Dasarnya adalah pendapatan per kapita.
"Ya sebenarnya, kurang tepat. Karena perhitungannya (oleh USTR) lain," kata Destry.
DAMPAK STATUS NEGARA MAJU
Positif:
Industri lebih kompetitif
Ekspor ke pasar nontradisional menguat
Daya saing global meningkat
Negatif:
Preferensi tarif bea masuk impor/GSP ke AS bisa dicabut
Berpotensi dikenai bea masuk antisubsidi AS/CVD
Bunga utang tinggi
Sumber: Diolah dari berbagai sumber
Sumber: Jawapos.com
Editor: Erizal