Industri Sawit Jadi Komoditas Strategis

Ekonomi-Bisnis | Sabtu, 28 November 2015 - 09:19 WIB

Industri Sawit Jadi Komoditas Strategis

NUSA DUA (RIAUPOS.CO) - Indonesia sebagai negara yang masih bergantung pada ekspor komoditas sudah saatnya serius menggarap potensi besar industri sawit. Langkah strategis itu dilakukan Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) untuk mendorong industri sawit sebagai komoditas potensial.

 Langkah tersebut terlihat dalam Indonesia Palm Oil Conference 2015 and 2016 Price Outlook (IPOC) di Nusa Dua, Bali, 25-27 November. Signifikansi itu dilihat dari tingginya serapan tenaga kerja dan dampak bagi perekonomian tanah air.    

Baca Juga :Sampaikan Pesan Pemilu Damai ke Nelayan yang Sedang Melaut

‘’Industri ini menyerap sekitar empat juta kepala keluarga atau menjadi tumpuan bagi 10 juta warga negara Indonesia,” kata Wakil Presiden Indonesia Jusuf Kalla saat membuka acara tahunan GAPKI tersebut.

 Pemerintah, lanjut dia, menyatakan keseriusannya dalam mendorong industri sawit. Beberapa waktu terakhir dukungan pemerintah terhadap industri sawit terlihat dari sokongan kepada Pertamina untuk meningkatkan serapan biodiesel. Mengenai biodiesel, per September 2015 permintaan Pertamina menyentuh 76.000 kiloliter.

‘’Tentunya dengan permintaan yang naik dari dalam negeri akan tercipta keseimbangan harga di pasar global,’’ kata Jusuf Kalla.

 Jika level harga yang stabil secara global terwujud, ekonomi Indonesia bisa terdongkrak. Sebab, Indonesia tidak hanya menjadi produsen sawit terbesar, tetapi juga konsumen yang signifikan.

 Ketua Umum Gapki Joko Supriono meminta pemerintah untuk menetapkan industri kelapa sawit sebagai komoditas yang strategis. Adanya keputusan pemerintah untuk menjalankan dan mengelola dana minyak sawit tentu berdampak bagi perkembangan industri pada masa depan.

 ‘’Terutama saat industri sawit menghadapi situasi sulit seperti sekarang ini,’’ jelas Joko.

Menurut dia, harga minyak sawit turun cukup tajam sejak tahun lalu. Harga rata-rata CPO periode Januari-Oktober 2015 hanya US 584 per ton atau turun 30 persen dibandingkan dengan  821 dolar AS per ton pada periode yang sama 2014.

 Faktor penyebabnya, melemahnya permintaan dari negara importer utama seperti Eropa dan Timur Tengah yang turun masing-masing 6-17 persen dalam periode Januari-Oktober 2015. Lalu, turunnya harga minyak dunia yang berhubungan erat dengan harga CPO.

 Selain itu, terjadinya oversupply minyak nabati dunia membuat selisih harga dengan minyak kedelai menjadi kecil. ‘’Program mandatory biodiesel di Indonesia dan Malaysia belum berjalan baik. Jika tidak ada penundaan, program ini tentu bisa mendorong harga CPO di pasar internasional,’’ papar Joko.(mir/c15/oki/kom)









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook