Chevron dan Medco Masih Kelola Blok Siak dan Kampar

Ekonomi-Bisnis | Kamis, 28 November 2013 - 09:21 WIB

JAKARTA (RP) - Kontrak pengelolaan ladang minyak dan gas (Migas) di Blok Siak oleh PT Chevron Pacific Indonesia (CPI) dan Central Sumatera (Lapangan Kampar) oleh PT Medco Energi Indonesia melalui PT Medco EP Indonesia resmi berakhir, Kamis (28/11) pukul 00.00 dini hari tadi.

Namun pemerintah melalui Kementerian ESDM meminta kedua operator untuk tetap bekerja seperti biasa dan memproduksi gas hingga adanya penetapan operator definitif.

Baca Juga :Sampaikan Pesan Pemilu Damai ke Nelayan yang Sedang Melaut

‘’Rencana operasinya dilanjutkan dulu. Sambil pemerintah finalisasi definitif operator dalam waktu dekat,’’ kata Wakil Menteri ESDM Susilo Siswoutomo di Jakarta, Rabu (27/11).

Namun Susilo tidak mau berkomentar lebih jauh mengenai surat keputusan dan rincian atas permintaan kepada kedua kontraktor itu untuk tetap mengelola Blok Siak dan Blok Kampar.

Sekretaris SKK Migas Gde Prayadna mengaku belum menerima putusan resmi dari pemerintah terkait keputusan itu. Namun pihaknya siapa melaksanakan kebijakan pemerintah terkait pengelolaan Blok Siak dan Central Sumatera.

‘’Kami hanya pelaksana saja dari kebijakan pemerintah. Kalau pemerintah memutuskan perpanjangan sementara, maka kami akan lanjutkan dulu pengelolaan blok tersebut dengan operator lama sampai pemerintah menetapkan operator baru yang definitif,’’ ujarnya.

Menteri ESDM Jero Wacik maupun Direktur Jenderal Migas, Edy Hermantoro saat akan dikonfirmasi terkait pengelolaan Blok Siak dan Blok Kampar oleh operator sementara, PT Medco EP, tidak bisa dihubungi.

Pengamat energi sekaligus mantan Wakil Kepala BP Migas, Abdul Muin memahami kebijakan pemerintah meminta dua perusahaan yang habis kontak menjadi operator sementara Blok Siak dan Kampar.

Dikatakan Muin, secara prinsip langkah itu harus diambil pada masa transisi sebelum ada keputusan tetap.

‘’Secara prinsip saya menilai langkah itu diambil karena ladang itu sudah tua dan tidak berhenti produksi. Karena kalau berhenti produksi bisa drop dan akan sulit diangkat lagi seperti posisi sekarang. Jadi pertimbangannya lebih pada aspek energy security saja,’’ kata Muin.

Soal regulasinya, lanjut Muin, bisa diatur kemudian, sehingga tidak ada persoalan dari langkah yang diambil pemerintah tersebut meski sebenarnya kondisi seperti ini tidak seharusnya terjadi jika pemerintah mengurus masalah kontrak Blok Siak dan Kampar ini sebelum habis kontrak.

‘’Masa transisi seperti ini pasti ada dan produksi tidak boleh berhenti sampai ada operator tetap baru. Jadi sebetulnya ini karena urgensinya saja dan lebih menguntungkan dibanding produksi dihentikan,’’ jelasnya.

Saat ditanya faktor apa yang kira-kira membuat pemerintah tidak bisa membuat keputusan hingga dua ladang minyak itu habis kontrak, Abdul Muin mengaku tidak bisa berkomentar banyak. Namun dia memastikan setiap perpanjangan ladang migas, selalu ada benturan kepentingan-kepentingan.

‘’Kepentingan itu juga bisa antara perusahaan-perusahaan kita dalam negeri. Tapi menurut saya dengan tetap beroperasi, itu langkah tepat. Kalau tidak bisa seperti ladang Bumi Siak Pusaka yang akhirnya mati saat masa transisi,’’ urainya.

Karena itu Abdul Muin mengingatkan para pengambil kebijakan lebih realistis dalam mengelola perizinan ladang minyak nasional. Sebaik mungkin harus mengutamakan ketahanan energi dan kepentingan negara.

‘’Kalau soal cost recovery bukan hal krusial menurut saya. Kara hitung-hitungan tetap bisa dirundingkan antara operator sementara dengan pemerintah,’’ tegasnya.

CPI Tetap Komitmen Operasi Migas Blok Siak

Corporate Communication Manager PT Chevron Pasifik Indonesia, Dony Indrawan yang dikonfirmasi Riau Pos, mengatakan pihaknya tidak dapat berkomentar mengenai pembicaraan seputar aspek komersial.

Namun PT CPI akan menghormati keputusan pemerintah atas permintaan pihaknya untuk perpanjangan kontrak Blok Siak.

‘’Kami tetap berkomitmen untuk menjalankan operasi migas di Blok Siak secara aman dan reliabel untuk kepentingan bangsa Indonesia. Kami menerapkan teknologi, SDM dan praktik-praktik kelas dunia untuk memastikan lapangan-lapangan tua Blok Siak tetap berproduksi secara aman, efisien dan reliabel,’’ jelas Dony.     

Tanpa Kontrak Bisa Dipidana

Belum adanya penjelasan dari pemerintah terkait payung hukum yang tetap memberikan pengelolaan Blok Siak dan Blok Kampar kepada kontraktor lama (Chevron dan Medco EP) patut dipertanyakan.

Pasalnya berdasarkan UU Nomor: 22/2001 tentang Migas disebutkan bahwa setiap orang yang melakukan kegiatan eksplorasi maupun eksploitasi tanpa mempunyai kontrak kerja sama bisa dikenakan tindak pidana bagi siapa saja.  

Hal itu diungkapkan mantan Kepala BP Migas (kini SKK-Migas), Kardaya Warnika menanggapi belum adanya landasan hukum berupa kotrak perpanjangan.

‘’Berdasarkan UU, maka polisi dapat menangkap pimpinan tertinggi KKKS (Kontraktor) tersebut selama beroperasi tanpa ada payung hukum berupa kontrak kerja sama. Ancamannya masimal 6 tahun penjara dan denda paling banyak Rp60 miliar,’’ terang mantan Direktur Jenderal Energi Baru Kementerian ESDM.

Jadi, lanjut Kardaya, meskipun pemerintah memutuskan blok migas tetap dikelola kontraktor lama hingga ditunjuknya kontraktor definitif, harus didasari payung hukum.

‘’Jadi kalau memang diminta tetap mengelola, maka mau nggak mau atau suka gak suka harus ada kontrak kerja sama meskipun hanya untuk beberapa bulan saja,’’ jelasnya.(hen/fat/yud)









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook