JAKARTA (RIAUPOS.CO) -- Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad menilai rencana pemerintah menurunkan harga gas industri menjadi USD 6 per Milion British Thermal Unit (MMBTU ) atau setara Rp 85.662 per MMBTU (asumsi Rp 14,277 per USD) harus diseimbangkan dengan penerimaan pajak industri.
Menurut Tauhid Ahmad penurunan harga gas akan mengurangi Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari sektor minyak bumi dan gas (migas). Untuk itu, diperlukan penambahan pajak dari industri yang menggunakan bahan bakar gas tersebut.
"Harus diseimbangkan, antara penerimaan di hulu dengan pajak industri," katanya usai diskusi yang digelar Indef, Kamis (27/2).
Lebih jauh Tauhid mengingatkan, sebelum diputuskan besaran penurunan harganya, pemerintah harus menghitung secara cermat dampaknya dan itu harus realistisi.
Sebagai negara eksportir gas, Tauhid menilai harga gas industri Indonesia tergolong mahal. Namun ia beralasan mahalnya harga gas itu salah satunya karena lokasi sumber gas yang berada di pulau-pulau yang menguras harga produksi. Sementara 70 persen harga gas hilir dipengaruhi oleh harga gas di hulu tersebut.
Ia mencontohkan di Thailand harga gas di hulu sebesar USD 7 per MMBTU dan Malaysia sebesar USD 5,5 per MMBTU. Bahkan, Cina yang notabene memiliki ekonomi kuat pun mematok harga gasnya di USD 8 per MMBTU. Belum termasuk biaya penyaluran gas melalui pipa atau non pipa. Sementara harga gas di Singapura justru di atas USD 15 per MMBTU.
Terkait dengan wacana penurunan harga gas ini, sesuai Perpres Nomor 40 tahun 2016 tentang Penetapan Harga Gas Bumi, terdapat tujuh industri yang berhak mendapatkan harga gas USD 6 per MMBTU, yaitu pupuk, petrokimia, oleochemical, industri baja, industri keramik, industri kaca, dan industri sarung tangan karet.
Sumber: Jawapos.com
Editor: Erizal