Miskinkan Koruptor dengan Bebankan Biaya Sosial

Ekonomi-Bisnis | Jumat, 27 Juli 2012 - 08:49 WIB

JAKARTA (RP) - Wacana pemiskinan koruptor menjadi salah satu agenda besar Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Lembaga antikorupsi tersebut terus mengkaji upaya-upaya untuk memiskinkan koruptor.

Baca Juga :Sampaikan Pesan Pemilu Damai ke Nelayan yang Sedang Melaut

Yang terbaru, KPK segera menerapkan hukuman finansial selain denda dan uang pengganti. Hukuman finansial tersebut berupa pembebanan biaya sosial korupsi bagi para koruptor.

‘’KPK memandang hukuman yang bersifat non badan atau penjara itu tidak sepenuhnya dapat merefleksikan dampak korupsi yang ditimbulkan koruptor. Koruptor masih banyak yang bisa nikmati hasil korupsi,’’ ujar Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto dalam konferensi pers di gedung KPK, Kamis (26/7).

Bambang memaparkan, berdasarkan perhitungan Mahkamah Agung pada periode 2001-2009, negara harus mengeluarkan biaya untuk mencegah dan menangani perkara korupsi hingga Rp73 triliun.

Namun, ironisnya biaya yang dibebankan pada koruptor hanya Rp5,33 triliun. Biaya tersebut diambil dari denda atau uang pengganti.

‘’Jadi ada loss (kerugian) sebesar Rp67,7 triliun atau sekitar 92 persen,’’ jelas Bambang.

Menurut pakar Crime Economics, Rimawan Pradiptyo jumlah Rp67,7 triliun itu akhirnya dibebankan pada para pembayar pajak. Rimawan menyebutnya subsidi rakyat pada koruptor. Padahal, nilai tersebut setara dengan empat kali lipat biaya kesehatan.

‘’Bayangkan kalau Rp67,7 triliun itu digunakan untuk Bantuan Lansung Tunai (BLT), dampaknya pasti dahsyat,’’ tegasnya.

Selama ini, lanjut pakar hukum asal Universitas Gadjah Mada (UGM) itu, aparat penegak hukum hanya sekadar menghitung biaya eksplisit yang dikeluarkan untuk menangani kasus korupsi.

‘’Belum biaya implisit yang merupakan dampak dari tindakan korupsi yang dilakukan para koruptor tersebut,’’ ujar Rimawan yang juga hadir dalam konferensi pers tersebut.

Untuk itu, katanya, biaya yang keluar akibat perbuatan para koruptor tersebut harus dibebankan pada koruptor itu sendiri. Biaya tersebut disebut biaya sosial korupsi. Rimawan melanjutkan, biaya sosial korupsi tersebut sudah diterapkan di negara-negara maju.

‘’Jadi setiap ada kejahatan, misalnya korupsi, langsung dihitung biaya sosialnya berapa,’’ katanya.

Ahli Hukum Pidana Universitas Indonesia, Gandjar Laksmana menambahkan, biaya sosial korupsi itu dapat mempertajam sifat penjeraan untuk pelaku korupsi. Menurut dia, dampak dari penerapan biaya sosial korupsi itu berdampak bagi masyarakat dan juga pelaku korupsi. ‘’Prevensi khusus bagi pelaku korupsi agar jera dan prevensi umum bagi masyarakat agar tidak meniru para koruptor,’’ ujarnya.

Bambang  juga memaparkan, gagasan tersebut sedang direalisasikan. Salah satunya dengan memasukannya ke dalam revisi UU Tipikor dan KUHP.

‘’Saat ini kita sedang meminta para ahli untuk menghitung dan mencari metode yang tepat untuk penerapan biaya sosial korupsi tersebut. Memang tidak bisa segera tapi bukan tidak mungkin, karena pada pasal 98 KUHP dinyatakan bahwa satu tindak pidana bisa digabungkan dengan perdata karena pihak yang menderita karena korupsi bukan hanya negara, tapi juga pihak ketiga, bisa dimasukkan ke kerugian yang muncul dari korupsi,’’ jelas Bambang.

65 Terpidana Korupsi Dihukum Percobaan

Sementara anggota Komisi III DPR, Aboebakar Alhabsy menilai Mahkamah Agung sudah keterlaluan karena memberikan vonis percobaan kepada 65 terpidana yang tersangkut kasus korupsi. Ia pun menegaskan ini semakin memerkuat kalau hukum itu tajam di bawah dan tumpul di atas.

‘’Bila data yang dirilis ICW benar, saya kira MA sudah keterlaluan. Masak, sampai ada 65 terpidana yang divonis voorwaardelijke (percobaan), apalagi ada yang nilainya sampai Rp14 miliar,’’ kata Aboebakar, Kamis (26/7).

Sikap yang ditunjukkan MA ini sangat berbeda dengan kasus pencurian sendal atau pun buah coklat yang dilakukan rakyat kecil.

‘’Lantas kenapa mereka sedemikian garang terhadap AAL, Nenek Rasminah, ataupun nenek Minah. Kita memang tidak bisa berbuat apa-apa atas putusan yang dibuat para hakim tersebut, seperti adagium hukum bahwa mereka adalah wakil Tuhan di muka bumi ini,’’ tambahnya.

Kecuali nanti, kata dia, kalau pada Rancangan Undang-undang MA yang sekarang dibahas ada pengaturan mengenai pertanggungjawaban hakim atas putusan yang dibuat.

Dia menegaskan, keputusan vonis percobaan tersebut telah mengkhianati rasa keadilan masyarakat. Bukankah, kata dia, sistem pidana merupakan Ultimum Remedium, yaitu jalan terakhir dan satu-satunya yang bisa digunakan untuk menghadirkan keadilan di masyarakat.(ken/boy/jpnn/ila)









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook