JAKARTA (RP) - Pemerintah dan DPR akan terlibat aktif dalam mengawasi rencana merger provider telekomunikasi PT XL Axiata Tbk (XL) dan Axis Telekom Indonesia (Axis), terutama berkaitan dengan kemungkinan peralihan frekuensi yang berpotensi melanggar peraturan perundang-undangan.
Anggota Komisi I DPR Syaifullah Tamliha mengatakan, Komisi-nya akan memanggil Menteri Komunikasi dan Informatika, Tifatul Sembiring dan pihak terkait lainnya untuk meminta penjelasan tentang persoalan peralihan spektrum frekuensi tersebut. Pemanggilan Tifatul akan dilakukan sebelum reses.
"Frekuensi tidak diperkenankan untuk dijual bebas. Oleh karena itu kita minta Menkominfo tegas mengenai penggabungan XL dan Axis, terutama soal frekuensinya," kata Syaifullah saat dihubungi wartawan Kamis (27/6).
Penggabungan XL-Axis berpotensi menjadikan frekuensi yang menurut PP 53 Tahun 2000 merupakan sumber daya yang terbatas beralih ke pihak perusahaan Malaysia dan Arab Saudi. Pemegang saham pengendali XL adalah Axiata Investments (66,5%). Axiata Group Berhard dipimpin Dato' Sri Jamaludin Ibrahim adalah perusahaan di Malaysia. Sedangkan Saudi Telecom Company (STC) perusahaan Arab Saudi tercatat sebagai pemegang saham terbesar Axis dengan kepemilikan 80,1 persen saham, pemegang saham lain adalah perusahan asal Malaysia, Maxis Communication, sebanyak 14,9%, dan PT Hamersha Investindo 5% saham.
Saat ini XL menguasai frekuensi seluler di rentang spektrum 900 MHz, 2.100 MHz, dan 1.800 MHz baik untuk 2G maupun 3G. Sedangkan Axis memiliki dua kanal frekuensi di rentang spektrum 1800 MHz dan 2100 MHz.
Politisi PPP itu juga mengatakan. Komisi I meminta Menkominfo transparan kepada DPR, apakah ada pelanggaran-pelanggaran hukum dari merger tersebut. Ia juga khawatir merger XL-Axis ini berisiko merugikan negara, akibat terjadinya peralihan frekuensi kepada perusahaan Malaysia dan Arab Saudi itu.
Ketua Umum Asosiasi Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI) dan juga Direktur Utama Telkomsel Alex J Sinaga secara terpisah mengatakan aksi akuisisi yang diikuti dengan merger oleh dua operator telekomunikasi tak bisa melibatkan frekuensi dan blok nomor yang dimiliki salah satunya.
"Kalau mengacu pada Undang-undang Telekomunikasi dan aturan turunannya tidak bisa frekuensi dan blok nomor itu ditransfer ke pihak yang melakukan akuisisi. Jadi, walau secara aturan akuisisi itu diijinkan, tetapi tidak logis dijalankan karena yang didapat hanya aset dan pelanggan tanpa nomornya," katanya.
Dikatakannya, akuisisi bisa terjadi secara alami atau didorong oleh regulator. "Hal yang harus diperhatikan itu dalam akuisisi jika mau yang ideal tentu ada insentif dari regulator. Namun, kalau regulator ingin memberikan insentif harus diperhatikan juga apa yang mau diberikan. Jangan malah menciptakan distorsi di industri karena tidak memperhatikan asas manfaat," katanya.
Diungkapkannya, saat ini terjadi ketidakoptimalan dalam pemanfaatan frekuensi. Misalnya, Telkomsel karena memiliki frekuensi yang terbatas harus membangun hingga 61 ribu BTS kalau spektrumnya ditambahkan.
"Kondisi sekarang ada pemain yang frekuensinya kelebihan tetapi tidak teroptimalkan. Ini semua bisa optimum jika ada konsolidasi. Jika keduanya digabungkan, jalan keluar adalah insentif dan industri di atur ulang untuk menemukan titik optimum dengan cara yang adil dan ada kepastian hukum," tegasnya
Rencana merger XL-Axis, telah dikonfirmasi oleh Direktur Jenderal (Dirjen) Sumber Daya Perangkat Pos dan Informatika (SDPPI) Kemkominfo, Muhammad Budi Setiawan. Dia mengatakan PT XL Axiata Tbk (XL) dan Axis Telekom Indonesia (Axis) telah melaporkan rencana penggabungan bisnis sejak Mei 2013. Namun, kata dia, pihak XL dan Asing berkukuh tidak mau mengembalikan frekuensi dan blok radio yang dimiliki masing-masing kepada negara, padahal itu diwajibkan oleh PP Nomor 53/2000 tentang Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio dan Orbit Satelit. (rsn/rmol)