EKONOMIKA

Sampai Kapan Rupiah Melayang?

Ekonomi-Bisnis | Jumat, 25 Mei 2018 - 10:03 WIB

Sampai Kapan  Rupiah Melayang?

BAGIKAN



BACA JUGA


Oleh: Dr Irvandi Gustari, Dirut Bank Riau Kepri

Terlihat masih belum mantap, begitulah posisi rupiah terhadap mata dolar AS. Walau Bank Indonesia telah menaikan tingkat suku bunga acuan BI 7 days reverse repo rate sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 4,50 persen dan berlaku efektif 18 Mei 2018, terlihat fundamental rupiah masih belum kokoh, sebab permasalahan utama dari kestabilan rupiah tersebut bila dikembalikan kepada aspek supply & demand akan terjawab nantinya mengapa rupiah terus bergoyang.

Kalau kita batasi saja mencermati fluktuasi rupiah sejak awal Januari 2018 atau tepatnya pada 2 Januari 2018 sebesar Rp13.610  dan bahkan di 31 Januari 2018 sempat menguat menjadi Rp13.480 dan pada 7 Mei 2018 tembus Rp14.000. Kalau mencari pembenaran, ya memang, tidak hanya rupiah yang melemah terhadap dolar AS, dan bahkan banyak lagi negara yang mata uangnya terdepresiasi jauh lebih besar dibandingkan rupiah. Namun kita saat ini bukan mencari pembenaran, namun kita harus cari tahu akar permasalahannya sehingga jangan lagi seolah-olah rupiah begitu mudah  bergoyang hanya karena ciutan dari Trumph di Twitter.

Ya memang adanya kenaikan suku bunga acuan Bank Sentral AS (The Fed) dan membaiknya perekonomian AS dari waktu ke waktu berdampak pula terhadai inflasi di AS. Sidang The Fed 21 dan 22 Maret 2018 lalu menaikkan suku bunga federal funds menjadi 1,5% hingga 1,75%. Secara teori bisa kita duga, adanya kenaikan suku bunga di AS tersebut, sudah jelas akan berdampak kepada kembalinya dolar AS dari berbagai negara dan tentunya termasuk Indonesia baik berupa saham maupun obligasi dalam mata uang dolar AS. Ini secara singkatnya dapat kita bayangkan berapa besar dampak dari supply and demand terhadap dolar AS, dan kesemuanya itu tentu berdampak kepada peningkatan yang luar biasa terhadap dolar AS. Jadi kalau hanya mengacu kepada dampak The Fed menaikkan suku bunga ini, bisalah kita maklumi, mengapa rupiah bergoyang, namun tentu yang jadi tugas itu selanjutnya adalah seberapa besar goyangannya. Ini lah masalahnya?

Lalu ada pula yang menuding bahwa rupiah ikutan anjloknya adanya kenaikan harga minyak mentah yang mulai menyentuh 1 barel  80 dolar AS. Ya, memang ada benarnya, karena Indonesia adalah salah satu negara pengimpor minyak mentah, tentunya ada pengaruhnya. Tapi rasanya terlalu dicari-cari pembenarannya kalau dikatakan bahwa melayangnya nilai tukar rupiah dikarenakan kenaikan harga minyak mentah. Sebab Indonesia toh juga masih sebagai negara produsen minyak mentah yang dikategorikan kuota produksinya relatif besar yaitu produksi harian minyak mentah Indonesia per akhir April 2018 lalu sebesar 783.695 barel per hari (BOPD), walaupun saat ini Indonesia adalah anggota OPEC yang berstatus non aktif. Jadi kurang bijak sebenarnya kalau kita menudingkan sepenuhnya depresiasi rupiahnya lebih dikarenakan oleh kenaikan harga minyak mentah dunia.

Defisit neraca perdagangan tersebut disebabkan oleh  adanya kenaikan impor migas dan nonmigas. Menurut data BPS impor pada April 2018 saja mengalami kenaikan cukup besar yaitu 11,28%. Yang ironisnya kenaikan impor tersebut justru dari barang konsumsi yang naik sebesar 25,86%. Impor barang konsumsi yang naik tersebut adalah bawang putih, beras, apel, bir, daging. Sedangkan impor yang naik juga dari kelompok bahan bakupenolong  yaitu sebesar 10,73% berasal dari adanya kenaikan impor dari kedelai dan gandum.

Jadi walau pun dengan sangat terbatas ruang bahasan pada artikel ini. Sebenarnya sudah bisa terlihat apa penyebab dari mudahnya melayang-layang nilai tukar rupiah terhadap dolar AS, yaitu neraca pedagangan kita sangat rentan dan memang impor jauh lebih besar. Ironisnya kenaikan impor tersebut, sesungguhnya pada produk-produk yang bisa kita hasilnya dari dalam negeri sendiri. Itulah pekerjaan rumah (PR) yang tidak pernah selesai semenjak puluhan tahun yang lalu mungkin ya. Kalau fundamental perekonomian Indonesia kuat maka apapun yang terjadi pada negara-negara adidaya seperti Amerika Serikat dan lainnya, tentu kita tidak perlu selalu deg-degan dengan melayang-layangnya nilai tukar rupiah.***









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook