Bioremediasi, Kejagung Digugat Rp4,2 M

Ekonomi-Bisnis | Sabtu, 24 November 2012 - 10:22 WIB

Laporan HENNY ELYATI dan MAHYUDI, Jakarta redaksi@riaupos.com

Seperti diberitakan sebelumnya, empat karyawan PT Chevron Pacific Indonesia (CPI) yang ditahan dalam kasus dugaan korupsi proyek bioremediasi menggugat Kejaksaan Agung sebesar Rp4,2 miliar untuk kerugian materil dan immateril.

Baca Juga :Sampaikan Pesan Pemilu Damai ke Nelayan yang Sedang Melaut

Gugatan tersebut diajukan oleh kuasa hukum mereka Todung Mulya Lubis melalui sidang praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang berlangsung sejak Senin (19/11) lalu. Demikian rilis yang diterima Riau Pos, Jumat (23/11).

Dalam permohonan praperadilan, Todung menyatakan bahwa penetapan sebagai tersangka dan penahanan yang dilakukan oleh Kejaksaan Agung tidak sah.

Penetapan sebagai tersangka dan penahanan tersebut telah melanggar Pasal 2 Ayat (1) atau Pasal 3 UU No 31 tahun 1999 jo UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP di mana unsur utama dari ketentuan tersebut adalah adanya kerugian negara.

Kuasa hukum mencatat bahwa penetapan keempat karyawan CPI sebagai tersangka dilakukan sebelum penghitungan kerugian negara yang dilakukan lembaga berwenang. Selain itu, Kejaksaan Agung juga belum menentukan siapa yang diuntungkan akibat kerugian negara dalam perkara ini.

Todung menyatakan bahwa kerugian negara dalam perkara korupsi merupakan salah satu elemen pokok, tanpa adanya elemen ini maka tidak ada korupsi. Hal ini sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi No 003/PUU-IV/2006 bahwa unsur kerugian negara harus dibuktikan dan harus dapat dihitung.

Penghitungan Kerugian Negara

Todung selaku kuasa hukum empat karyawan CPI yang ditahan dalam kasus dugaan korupsi proyek bioremediasi menyatakan bahwa penghitungan kerugian negara yang digunakan Kejaksaan Agung dalam kasus tersebut dilakukan oleh badan yang tidak memiliki kewenangan.

Hal ini dinyatakan dalam permohonan praperadilan tersangka Endah Rumbiyanti, Widodo, Kukuh, dan Bachtiar Abdul Fatah yang diajukan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

Kejaksaan Agung menggunakan penghitungan kerugian negara yang dilakukan oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).

Dalam permohonan praperadilan, Todung Mulya Lubis menyatakan bahwa BPKP tidak mempunyai tugas dan kewenangan melakukan penghitungan dan menetapkan kerugian negara.

Keputusan Presiden No 31 tahun 1983 yang menyatakan bahwa BPKP memiliki kewenangan menghitung kerugian negara telah dicabut dengan Keputusan Presiden No 62 tahun 2001.

‘’Sehingga kewenangan menghitung kerugian negara sudah tidak berlaku lagi,’’ kata Todung.

Menurut Todung, yang memiliki kewenangan untuk menghitung kerugian negara adalah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sesuai dengan Undang-undang No 15 tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan.

Pasal 10 ayat (1) undang-undang tersebut menyatakan, BPK menilai dan/atau menetapkan jumlah kerugian negara yang diakibatkan oleh perbuatan melawan hukum.

Tidak sahnya penghitungan BPKP ini juga disebutkan oleh saksi ahli, ahli keuangan negara Arifin P Surya Atmadja dalam sidang praperadilan di PN Jakarta Selatan, Selasa (20/11) lalu.

‘’Audit harus dilakukan oleh lembaga yang berwenang yaitu BPK,’’ ujarnya. Karena hasil audit BPKP tidak sah, Arifin mengatakan bahwa hasil tersebut tidak bisa dijadikan alat bukti.

Protes Perpanjangan Penahanan

PT Chevron Pacific Indonesia (CPI) memprotes keras terkait perpanjangan masa penahanan oleh Kejaksaan Agung (Kejagung) terhadap enam karyawannya yang menjadi tersangka dalam kasus dugaan korupsi bioremediasi di Duri provinsi Riau selama 30 hari ke depan.

‘’Mewakili karyawan dan keluarganya, kami sangat kecewa dan memprotes keras pengumuman hari ini Jumat (23/11) bahwa Kejaksaan Agung akan memperpanjang penahanan karyawan kami  selama 30 hari ke depan,'' ujar Presiden Direktur PT CPI, A. Hamid Batubara.(hen/yud)









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook