JAKARTA (RP) - Usulan kenaikan alokasi subsidi listrik 2013 tahun ini akhirnya dibeberkan dalam rapat dengan pendapat (RDP) dengan anggota DPR RI Komisi VII. Dalam hal tersebut, pemerintah memberikan tambahan dana subsidi sekitar Rp20 triliun dari alokasi sebelumnya. Besarnya kenaikan tersebut dikarenakan faktor tambahan carry over tahun lalu dan pengaruh harga internasional.
Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Jarman mengungkapkan, besaran dari total usulan subsidi listrik dari pihaknya untuk Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (RAPBN-P) mencapai Rp99,97 triliun. Usulan tersebut lebih tinggi sekitar Rp20 triliun atau naik 23 persen dibandingkan alokasi subsidi listrik di APBN 2013 senilai Rp80,9 triliun.
“Perbedaaan yang sangat mencolok itu dari beban carry over (pengalihan beban subsidi yang seharusnya dibayarkan tahun lalu, Red) tahun 2012 yang baru saja diaudit oleh BPK (Badan Pemeriksa Keuangan). Nilainya sekitar Rp13,25 triliun,” ungkapnya di Jakarta, Kamis (23/5).
Sedangkan, subsidi tahun berjalan 2013 diusulkan menjadi Rp87,23 triliun. Itu naik sekitar 10 persen dari kesepakatan subsidi tahun berjalan pada APBN sebesar Rp78,62 triliun. Sebenarnya, jika turut dijumlahkan dengan carry over subsidi tahun 2011 senilai Rp7,3 triliun, total subsidi yang diperlukan mencapai Rp107,8 triliun.
“Karena itu, kami perbesar carry over subsidi 2013 menjadi Rp7,8 triliun. Sebelumnya, carry over 2013 direncanakan seniliar Rp 5 triliun,” terangnya.
Mengenai kenaikan subsidi tahun berjalan, Jarman menyebutkan dua faktor yang eksternal yang menjadi penyebab. Yang pertama, kurs rupiah terhadap dolar AS yang terus melemah. Dalam usulan tersebut, pihak pemerintah menggunakan acuan kurs baru yakni Rp 9.600. Padahal, acuan yang dipakai pada APBN 2013 adalah Rp 9.300. “Perkiraannya, setiap kenaikan Rp 100 rupiah pada rupiah, subsidi yang diperlukan juga bertambah sekitar Rp 1 triliun,” ungkapnya.
Kemudian, faktor harga bahan bakar dunia juga naik di luar dugaan. Dia menjelaskan, harga rata-rata gas bumi yang dibeli oleh pembangkit listrik saat ini mencapai 8,51 dolar AS per MSCF (satu juta kaki kubik, Red). Itu meleset dari prediksi sebelumnya sekitar 7,96 dolar AS per MSCF. Sedangkan, harga rata-rata dari mix energi batubara dan BBM telah mencapai Rp 9.169 per liter. Itu jauh dari perkiraan sebelumnya Rp 8.223 per liter.
“Kami memakai harga ICP (Indonesian Crude Price) sebagai acuan dari rata-rata produksi kami. Harga rata-rata ICP sekarang sudah mencapai USD 108 per barel. Sedangkan, harga ICP yang ditentukan dalam APBN sekitar USD 100 per barel. Dalam kalkulasi kami, setiap kenaikan satu dollar, beban subsidi bakal bertambah Rp 500 miliar,” tambahnya.
Di sisi lain, lanjut dia, faktor internal yakni pertumbuhan konsumsi listrik di Indonesia. Menurutnya, realisasi penjualan listrik pada tahun 2012 mencapai 172,18 Triliun Watts per jam (TWh). Itu lebih tinggi dari rencana penjualan tahun 2012 sebesar 167, 23 TWh. Padahal, angka pada rencana tersebutlah yang dipakai acuan pada APBN. “Secara pekiraan pertumbuhan, kami tetap menargetkan angka yang sama yakni sembilan persen. Tapi, karena acuan yang kami gunakan adalah realisasi 2012, maka perkiraan penjualan listrik kami naik menjad 187,70 TWh,” jelasnya. Sekedar informasi, pekiraaan volume penjualan listrik pada APBN 2013 adalah 182,28 TWh.
Ketika acuan harga ICP yang menjadi acuan, Jarman menjelaskan bahwa BBM menjadi salah satu energi pembangkit listrik yang paling fleksibel bagi antisipasi pertumbuhan konsumsi.(bil/zed)