KEUANGAN

Kelola Dana Darurat Ideal, Bikin Hidup Lebih Tenang

Ekonomi-Bisnis | Minggu, 24 Januari 2021 - 17:16 WIB

Kelola Dana Darurat Ideal, Bikin Hidup Lebih Tenang

JAKARTA (RIAUPOS.CO) - Dana darurat sejatinya berfungsi untuk membantu kita memitigasi risiko berkurang atau hilangnya pendapatan. Namun sayangnya, hanya sedikit warga Indonesia yang memiliki dana darurat dalam jumlah ideal.

Data yang dihimpun program konsultasi keuangan Lifepal dari awal Januari 2021, hanya 9,3 persen dari 500 partisipan program ini yang memiliki dana darurat dalam jumlah ideal. Sementara itu, 90,7 persen lainnya dinyatakan tidak memenuhi standar minimum.


Financial educator dan periset Lifepal Aulia Akbar mengatakan, ada berbagai faktor mengapa seseorang sulit menabung untuk memenuhi ketersediaan dana darurat. Faktor-faktor yang dimaksud adalah, adanya kewajiban membayar cicilan utang yang melebihi batas ideal, pengeluaran bulanan yang cukup besar untuk memenuhi kebutuhan pokok maupun yang bersifat gaya hidup. Serta, pemahaman yang kurang baik mengenai pentingnya dana darurat dan jumlah idealnya

Aulia menyebut, terdapat hal-hal yang harus diketahui tentang dana darurat. Ketersediaan dana darurat mencerminkan tingkat likuiditas yang paling mendasar. Dalam perencanaan keuangan, dana darurat kerap kali disebut dengan istilah basic liquidity ratio atau rasio likuiditas.

“Adapun rumus yang digunakan untuk menghitung berapa lama dalam satuan bulan dana darurat dapat menanggung pengeluaran bulanan seseorang, total aset lancar dibagi pengeluaran perbulan,” ujarnya dalam keterangannya.

Aset lancar itu sendiri adalah aset yang dimiliki seseorang, yang mudah dicairkan dalam bentuk uang atau bisa digunakan segera dalam waktu cepat kurang dari satu tahun. Dalam keuangan pribadi, beberapa aset yang tergolong sebagai aset lancar adalah uang di tabungan Anda, baik dalam mata uang Rupiah maupun Dollar, simpanan deposito, piutang, atau investasi jangka pendek.

Berkaca pada kehidupan sehari-hari, pengeluaran bulanan bisa dikategorikan dalam beberapa kategori yaitu pengeluaran wajib seperti pajak, cicilan utang, tagihan-tagihan rumah tangga atau zakat. Lalu, pengeluaran untuk kebutuhan seperti, biaya belanja bahan makanan, internet, dan lainnya.

Kemudian, pengeluaran yang bersifat keinginan, traveling, belanja barang hobi, dan sebagainya. Sederhananya, dana darurat akan mengukur berapa lama kita sanggup mencukupi kebutuhan di atas setiap bulannya meski kita telah kehilangan pendapatan.

Anggap saja seseorang yang memiliki tabungan dengan jumlah Rp 30 juta dan simpanan deposito sebesar Rp 50 juta, maka dia memiliki aset lancar setara Rp 80 juta. Jika pengeluaran bulanannya adalah Rp 8 juta, maka dana darurat yang dimiliki saat ini cukup untuk 10 bulan.

Besaran dana darurat akan bergantung pada kondisi dan pengeluaran seseorang. Seseorang yang berusia muda, lajang, produktif, dan tidak memiliki tanggungan tentu cukup dengan dana darurat yang setara 3 kali pengeluaran bulanan.

Berbeda dengan seseorang berusia muda yang sudah berumah tangga dan memiliki satu orang anak. Idealnya, individu seperti ini menyimpan dana darurat minimal 6 kali pengeluaran bulanan.

Bagi seorang pemuda lajang, menyimpan dana darurat terlalu banyak hanya akan menambah jumlah aset tidur alias tidak produktif. Alangkah lebih baik bagi mereka yang masih muda untuk memusatkan dananya untuk berinvestasi.

“Pada intinya, semakin besar jumlah pengeluaran bulanan, semakin banyak tanggungan, dan semakin tinggi risiko pekerjaan maka makin besar pula jumlah dana darurat yang harus disediakan,” tuturnya.

Namun, mengingat pandemi mengakibatkan ketidakpastian ekonomi yang berimbas pada tingginya risiko pemutusan hubungan kerja (PHK), maka sangat disarankan bagi siapapun (termasuk lajang) untuk menambah ketersediaan dana darurat sebesar 50 persen hingga 120 persen dari persediaan awal.

Saat dana darurat tak cukup, maka seorang terpaksa berutang. Ketika seorang kehilangan pekerjaan dan hanya memiliki dana darurat untuk satu bulan saja, maka satu-satunya cara untuk bisa memenuhi kebutuhan di bulan selanjutnya adalah dengan cara berutang. Tanpa disadari dengan adanya utang, maka akan muncul pengeluaran pasif bersifat wajib yang harus dibayar.

“Mengingat kita masih berada di masa pandemi, mendapat pekerjaan baru bukanlah hal yang mudah direalisasikan. Itulah sebabnya mengapa kita wajib memiliki dana darurat. Tidak akan ada yang tahu kapan kita mengalami masalah ini,” ucapnya.

Mengumpulkan dana darurat bisa dilakukan dengan menyisihkan 10 persen dari penghasilan. Jika dana darurat dinilai kurang, alokasikan saja dana minimal 10 persen dari penghasilan bulanan untuk mengumpulkannya.

“Apabila Anda menginginkan proses pengumpulan yang cepat, maka tidaklah salah untuk mengalokasikan dana 30 persen dari penghasilan, dengan catatan proses menabung ini tidak memberatkan Anda. Bila Anda harus mengurangi pengeluaran untuk menabung dana darurat, kurangilah pengeluaran yang bersifat keinginan, bukan yang wajib atau butuh,” jelasnya.

Dimanakah kita sebaiknya menyimpan dana darurat? Tidak sedikit rekomendasi dari pakar perencanaan keuangan yang menyarankan penyimpanan dana darurat di berbagai instrumen investasi, sebut saja seperti emas atau reksa dana. Namun apakah ini tepat untuk dilakukan?

Melihat rumus dari basic liquidity ratio di atas, jumlah dana darurat ideal didapat dari hasil bagi antara aset lancar dan pengeluaran bulanan. Maka alangkah baiknya bagi kita untuk menyimpan dana darurat di instrumen keuangan yang likuid, salah satunya adalah rekening tabungan di bank.

Selain rekening tabungan, juga bisa memilih aset keuangan lain yang fluktuasi nilainya tidak tinggi atau yang bersifat pendapatan tetap. Instrumen keuangan yang dimaksud adalah, rekening tabungan biasa, simpanan deposito, dan reksa dana pasar uang (RDPU).

Mengingat deposito dan reksa dana pasar uang membutuhkan waktu lebih dari sehari untuk pencairan, maka alangkah lebih baik untuk tidak menempatkan seluruh dana darurat di instrumen tersebut. Anda bisa melakukan penyimpanan dana darurat dengan porsi 50 persen di rekening tabungan biasa dan 50 persen di deposito atau RDPU.

“Hindari menyimpan dana darurat di instrumen investasi dengan fluktuasi tinggi. Selalu ingat bahwa dana ini bukan modal investasi dan harus bisa digunakan dengan cepat di saat mendesak,” pungkasnya.

 

Sumber: Jawapos.com

Editor: E Sulaiman









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook