Kejagung Tangkap 30 Buronan

Ekonomi-Bisnis | Senin, 23 Juli 2012 - 09:14 WIB

JAKARTA (RP) - Kejaksaan Agung (Kejagung) kini sedang berbahagia. Tepat di Hari Bakti Adhiyaksa ke-52, tim monitoring bentukan Kejagung yang bergerak sejak awal Juni sudah berhasil menangkap 30 buronan.

Para buronan sebagian besar adalah terpidana korupsi di daerah yang kabur setelah putusan berkekuatan hukum tetap diketok oleh majelis hakim.

Baca Juga :Sampaikan Pesan Pemilu Damai ke Nelayan yang Sedang Melaut

Para koruptor tersebut ditangkap di tempat persembunyiannya di daerah lain. Sebagian besar dari mereka sudah bersembunyi hingga dua tahun bahkan lebih. ‘’Tim monitoring sangat membantu upaya penangkapan buronan. Kalau bukan orang-orang yang kredibel, mereka pasti sudah masuk angin,’’ kata Jaksa Agung Basrief Arief di gedung Kejagung, Ahad kemarin (22/7).

Basrief menambahkan, tim telah mampu menjawab keraguan masyarakat atas tanggungan eksekusi yang

menumpuk. Eksekusi yang tak kunjung dilakukan membuat terpidana lari dari vonis hakim. ‘’Saya menyatakan terima kasih kepada anak-anak saya yang sudah punya dedikasi yang tinggi. Apa yang dulu diragukan kini sudah dibuktikan,’’ katanya.

Tim monitoring Kejagung merupakan tim yang beranggotakan beberapa jaksa. Mereka memonitor keberadaan para terpidana yang status hukumnya sudah jelas dinyatakan bersalah. Tim monitor menangkap para terpidana yang kabur atau bersembunyi agar mereka menjalani hukuman seperti yang diperintahkan majelis hakim.

Namun, jaksa asal Palembang, Sumatera Selatan, itu menuturkan bahwa prestasi tim monitoring masih sebatas penangkapan dalam negeri. Jika buronan sudah lari ke luar negeri, situasinya menjadi lain.

Sebab, itu terkait erat dengan kerjasama ekstradisi dan hubungan bilateral antara kedua negara. ‘’Kalau di luar negeri, ada proses lain yang harus kita lakukan,’’ katanya.

Basrief mengungkapkan bahwa tim monitoring Kejagung berbeda dengan tim pemburu koruptor. Tim pemburu diketuai oleh Wakil Jaksa Agung Darmono dengan anggota dari berbagai kementerian terkait. ‘’Tim monitoring kalau diperlukan juga bisa membantu mereka,’’ katanya.

Jaksa berkumis lebat itu menambahkan, para kader-kader penangkap buronan akan terus dikuatkan kemampuannya. Baik melalui pendidikan dan latihan. ‘’Kami akan melakukan kerjasama untuk meningkatkan lagi bagaimana cara melakukan monitor tersangka dan terpidana. Yang juga tidak kalah penting adalah masalah asset recovery,’’ katanya.

Kejar Pengacara Djoko Tjandra

Selain itu, di antara buronan yang belum ditangkap itu ada nama besar terpidana Djoko Tjandra. Kejagung serius mendalami peran pengacara Djoko Tjandra dalam upaya membantu buronan kasus hak tagih (cessie) Bank Bali itu mendapat kewarganegaraan Papua Nugini (PNG).

Korps Adhyaksa kini sudah mengantongi nama pengacara yang diduga kuat memberi data palsu kepada pemerintah PNG.

‘’Kami sedang dalami. Nama sudah ada pada kami, tapi tak bisa saya sampaikan karena salinan penunjukan kuasa hukumnya belum saya terima. Yang jelas bukan OC (Kaligis, red),’’ kata Wakil Jaksa Agung Darmono di gedung Kejagung, Ahad kemarin (22/7).

Darmono mengungkapkan, ada informasi bahwa pengacara tersebut menyatakan kepada pemerintah PNG bahwa Djoko tidak memiliki masalah hukum di negara asal. Bahkan, pengacara tersebut juga menjaminkan dirinya untuk menegaskan status Djoko bersih dari persoalan hukum.

‘’Kami akan panggil untuk dimintai keterangan kebenaran informasi tersebut. Dia masih ada di Indonesia kok,’’ katanya.

Mantan Kapusdiklat Kejagung itu menuturkan, Sabtu (21/7) lalu dia menelpon Duta Besar Indonesia di PNG Peter Elau. Peter menyampaikan bahwa pembicaraan dengan pemerintah setempat terus dilakukan. Peter juga sudah berkoordinasi dengan Menteri Luar Negeri Marti Natalegawa untuk mengurus lobi-lobi guna pemulangan pengusaha papan atas yang divonis Mahkamah Agung (MA) dua tahun penjara dan denda Rp15 juta.

Darmono menuturkan, pemerintah PNG benar-benar tidak tahu bahwa Djoko memiliki kasus pidana di Indonesia. Mereka percaya saja saat kuasa hukum Djoko menyatakan bahwa kasus Djoko di Indonesia hanya persoalan perdata. Apalagi dia memiliki banyak investasi yang membuka banyak lahan pekerjaan di negeri sisi timur Papua itu.

Menteri Hukum dan HAM Amir Syamsuddin menambahkan, ekstradisi adalah hal yang paling mustahil untuk dilakukan. Sebab, Indonesia dan PNG tak memiliki kerjasama untuk saling memulangkan warga negara yang bermasalah hukum. Karena itu, proses formal yang bisa dilakukan adalah dengan mutual legal assistance (MLA). Amir yakin pemerintah PNG mau berbesar hati untuk mengetahui persoalan Djoko secara utuh.

Seperti diwartakan, status kewarganegaraan Djoko sebagai warga PNG membuat proses pemulangan buronan itu bakal semakin ruwet. Sebab, Djoko kini sudah berada dalam perlindungan hukum negara lain.

Sehari sebelum divonis bersalah dalam putusan peninjauan kembali (PK), Djoko kabur dari Bandara Halim Perdanakusuma pada 9 Juni 2009 dengan pesawat carteran.

Dalami Keterlibatan Jamwas

Tak hanya buronan, di internal Kejagung sendiri juga tak luput dari sasaran. Kejagung membuktikan dengan terus mendalami dugaan keterlibatan Jaksa Agung Muda Pengawasan (Jamwas) Marwan Effendy dalam kasus korupsi Bank BRI.

Wakil Jaksa Agung Darmono mengaku sudah memeriksa Fajriska Mirza, pengacara yang menuding Marwan terlibat dalam kasus tersebut.

‘’Tim sudah memeriksa beberapa orang. Di antaranya jaksa penuntut umum, Boy (panggilan akrab Fajriska, red), dan Hartono,’’ imbuh Darmono di gedung Kejagung, Ahad kemarin (22/7).

Darmono mengungkapkan, tim verifikasi yang beranggotakan Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (JAM Pidsus) Andhi Nirwanto dan Jaksa Agung Muda Intelejen (JAM Intel) Edwin Situmorang akan memeriksa beberapa orang dari BRI.    

‘’Sudah diagendakan. Semua pihak akan kami mintai keterangan agar kasus ini jelas duduk persoalannya. Kita beri waktu tim untuk menyelesaikan pekerjaannya sampai ada hasilnya nanti,’’ kata mantan Kapusdiklat Kejagung itu.

Kasus tersebut bermula ketika Fajriska di situs microblogging Twitter menuding Marwan menggelapkan uang yang merupakan barang bukti kasus korupsi Bank BRI senilai Rp500 miliar. Marwan saat itu menjabat Asisten Pidana Khusus (Aspidsus) Kejaksaan Tinggi DKI.

Mantan Kepala Kejati Jawa Timur itu lantas melaporkan Fajriska ke Bareskrim Polri. Kejagung lantas menindaklanjuti dengan membentuk tim verifikasi. (aga/jpnn/ila)









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook